Search This Blog

Sunday, September 13, 2015

Sweet Corn and Mushroom Cream Soup Recipee


Setelah kurang lebih lima tahun lamanya, saya baru masak Cream Soup lagi. Nggak tahu kenapa males banget masaknya. Sampai-sampai keluarga saya juga beberapa kali menanyakan keberadaan Sup ini. Saya malas masaknya mungkin karena cerita di balik sup ini kali ya...

Cream Soup biasanya dikonsumsi saat musim dingin atau musim hujan, karena berfungsi menghangatkan tubuh. Rasanya yang lezat juga memberikan kesan hangat dan rasa cinta juga nuansa kekeluargaan yang kental. Deuh...filosofis pisan ya?

Tapi karena hal itulah, Cream Soup harus dinikmati bersama-sama keluarga, teman, sahabat, atau orang-orang yang dicintai. Kenapa? Ya itu tadi, efeknya yang kasih kehangatan buat yang menikmatinya harus dibagi bersama dong...

Anyway, sekarang lagi musim panas, sekalipun itu di Bandung. Tapi karena sohib saya, baca : Fitriani Tobing lagi pengen banget nyoba masakan yang satu ini, saya pun membuatnya. Meskipun nggak dengan bumbu yang lengkap. Seadanya saja ala anak kost.


Bahan :
250 gram jagung manis
200 gram jamur (bebas menggunakan jamur apa saja selain jamur kuping). Saya sendiri menggunakan jamur merang. Cincang halus.
1 sdm terigu.
1 sdm margarin untuk menumis (biasanya saya menggunakan Blue Band/Filma)
800 ml air


Bumbu :
5 siung bawang putih
1/2 sdm merica (Saya menggunakan Lada putih dari Belitung yang rasanya lebih pedas daripada lada biasa) jadi kalau mau, bisa ditambahkan sesuai selera.
1/2 sdm kaldu bubuk (Saya pakai Royco rasa sapi). Seharusnya sih menggunakan kaldu asli, tapi berhubung persediaan terbatas, pakai saja apa yang ada.
1 siung bawang bombay.
1/2 sdm garam.


Cara memasak :
Haluskan bawang putih, merica, dan garam.
Cincang halus bawang bombay.
Panaskan margarin, lalu masukkan bawang bombay dan bumbu yang sudah dihaluskan.
Tumis hingga bawang bombay layu dan harum.Kecilkan api.
Masukkan tepung terigu, aduk hingga rata.
Masukkan air, lalu aduk hingga terigu tercampur rata dan tidak menggumpal.
Masukkan Jagung manis dan Jamur, aduk terus hingga air mendidih dan sup mengental. Baru kemudian masukkan kaldu bubuk. Aduk hingga rata, kemudian angkat.

Sweet Corn and Mushroom Cream Soup by Arum's Kitchen
Sajikan panas.
*Untuk 4 Porsi

Kalau mau, anda bisa melengkapinya dengan Bruschetta. Berbahan Kue Perancis kering yang diiris, diolesi selai bawang putih dan peterseli cincang, lalu dipanggang sebentar dalam oven toaster.

Selamat Mencoba kehangatan Sweet Corn and Mushroom Cream Soup from Arum's Kitchen. Hope you enjoy it.
 




Saturday, September 12, 2015

Kuliah Umum bersama SBY dan Taman Keanekaragaman Hayati Kiara Payung



Jumat, 11 September 2015 saya menghadiri kuliah umum dalam rangka Dies Natalis Universitas Padjadjaran ke – 58. Pematerinya adalah Presiden Republik Indonesia ke-6, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, dengan Judul “Trilogi Pembangunan Abad 21”. Dalam kuliah umum yang berlangsung kurang lebih satu jam tersebut, Pak SBY menekankan berkali-kali pada pelestarian lingkungan, demi kehidupan lebih baik. Kalimat yang tak lagi asing di telinga kita, tentu saja. Saking nggak asingnya, seringkali kalimat tersebut masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Alias, bosen. Namun kali ini berbeda. Saya, yang gampang bosen ini justru bisa meresapi betul apa arti kata-kata Pak SBY. 

Tepat seminggu sebelum saya menghadiri kuliah umum Pak SBY tersebut, Jumat 5 September 2015, Allah mengizinkan saya untuk melihat dari dekat bagaimana usaha pelestarian lingkungan itu. Tim kami dikasih kesempatan untuk mengunjungi Blok 5 Taman Keanekaragaman Hayati di Desa Cikeyeup, Kiara Payung – Jatinangor. Taman kehati tersebut adalah hasil kerjasama Pertamina Bandung Group dengan BPLHD Jabar (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah). Dari situ, kami berkenalan dengan Pak Didin, seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang merupakan aktifis LSM Peduli Citarum. Beliau inilah yang tanpa lelah mengurus program reboisasi hutan gundul. 

Taman Keanekaragaman Hayati Kiara Payung sendiri mulai dirintis tahun 2010. Saat itu Pertamina menanam kurang lebih 800 pohon di Blok 5. Setelah 5 tahun, kurang lebih tampilannya jadi seperti ini:
Taman Keanekaragaman Hayati Kiara Payung, Jatinangor
Pasokan Oksigen yang baik membuat langit pun membiru (no edit)
“Dulunya, tempat ini merupakan lahan gundul bekas perkebunan Teh di jaman penjajahan Jepang.” Tutur Pak Udin, sang ketua kelompok pemeliharaan Taman Kehati Kiara Payung. Selanjutnya beliau juga menyatakan, "Setelah ditanami, lingkungan mulai teduh. Debit air meningkat, langit membiru, dan satwa mulai datang. Mulai dari burung-burung unik, Elang Jawa, juga spesies lainnya."

Namun seiring datangnya satwa dan lebatnya hutan tersebut, pemburu dan pembalak liar juga mulai berdatangan. Tak sedikit pula warga yang mengambil daun-daun pohon tersebut untuk dijadikan pakan ternak. Pak Udin bahkan pernah diikat di pohon gara-gara melindungi hutan agar tanamannya tidak ditebangi sembarangan dan satwanya tidak diburu. 


Pohon Sonokeling, Kayunya dijadikan bahan baku untuk membuat Gitar
Proses Pelabelan pun tidak mudah. Butuh keahlian dan konsistensi tersendiri
Sudah seperti cerita di sinetron ya? Tapi itulah kejahatan manusia. Nggak usahlah kita mikir jauh-jauh para “pembakar” hutan di belantara Sumatera. Di Jatinangor saja kelakuan manusia sudah anarkis begitu. Padahal kalau hutan lebat, cadangan air pun meningkat. Udara lebih segar, suhu juga menurun. Nggak terlalu panas. Karena apa? alam sudah menyediakan oksigen sedemikian banyak, air sedemikian melimpah, persediaan kayu yang cukup, asalkan kita sebagai manusia nggak serakah. Ambil seperlunya, di saat yang tepat, dan jangan lupa, tanam kembali. Satu pohon butuh waktu bertahun-tahun buat dia tumbuh. Bahkan ada yang hingga puluhan tahun. Tapi menebangnya hanya butuh sepersekian menit. Alam jadi nggak seimbang karenanya.

Contoh saja, Pak Udin bukanlah seorang akademisi. Bukan juga orang yang memiliki latar belakang pendidikan formal bidang lingkungan maupun Biologi. Pak Udin adalah orang desa yang sejak kecil akrab dengan alam. Beliau memahami alam dan segala perilakunya melalui pengalaman. Melalui pengamatan langsung serta berbekal kearifan manusia.

Bersama Para Volunteer Pelestari Lingkungan
Usaha pemerintah sudah oke kok. Buktinya sekarang perusahaan sudah menggiatkan usaha pelestarian keanekaragaman hayati karena hal tersebut menjadi wajib, dengan adanya Undang-undang yang mengatur. Tinggal kita saja sebagai masyarakat turut membantu program tersebut. Kalau nggak bantu pun nggak apa-apa. Tapi, jangan rusak lingkungan kita. Minimal, jangan buang sampah sembarangan. Nggak usah juga selalu mencibir pemerintah. Nanti percuma mulut monyong tapi nggak ngefek apa-apa tanpa disertai partisipasi. Ayo mulai dari diri kita sendiri. Mulai dari yang kecil. 

Karena hukum alam itu pasti. Ketika kita bersahabat dengannya, Ia pun akan bersikap jauh lebih bersahabat dengan kita. Siapa menebar benih, dia yang akan menuainya.

Monday, September 7, 2015

Karena selalu ada alasan, untuk kembali ke Yogyakarta



Sabtu, 15 Agustus 2015
 
“Mau kemana kita hari ini?”

Tanya Graf pagi itu.

“Tamansari!” 

Jawab kami serentak.

Maka pada jam 09.00 WIB, Saya, Dian, Grafitte dan Husni memulai hari dengan berkendara motor menuju Stadion Mandala Krida. Grafitti, Sahabat baru yang memberikan kami tumpangan untuk menginap di malam sebelumnya, pagi ini menjadi guide kami. Gadis berperawakan tinggi langsing dan mengenakan jilbab itu terampil sekali mengendarai motor dan meliuk-liuk di jalanan Yogyakarta. Hingga akhirnya, tak sampai lima belas menit kemudian, kami berempat sudah duduk di Warung Tenda yang berjajar di depan Stadion Mandala Krida. Banyak pilihan makanan di tempat ini, namun kami memilih menu Soto Banjar dan Lontong Sayur.


Satu porsinya dibanderol tak lebih dari Rp. 13.000, dengan harga minuman yang berkisar antara dua hingga lima ribu rupiah saja. Ditemani dengan semangkuk Soto Banjar yang meskipun rasanya terlalu asin, tapi masih bisa termaafkan. Apalagi kalau bukan karena suasana Jogja yang enak dinikmati dan melenakan?

Perjalanan kami lanjutkan ke Tamansari Water Castle yang terletak di kawasan Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Dengan dipandu oleh Graf, jam sepuluh kami sudah memasuki Gapura Taman Kraton Ngayogyakarta. Kami membayar parkir sebesar Rp. 3000/motor, dan tiket masuk 5 ribu rupiah/orang. Dengan tiket tersebut, kami sudah dapat menikmati Tamansari Watercastle yang juga tersambung dengan masjid bawah tanah. 
Gerbang Utama Tamansari Water Castle
Kesan pertama lihat Tamansari, nuansa Jawa dengan kegagahan bangunan Eropa berpadu dengan manisnya. Kita bisa melihat dinding tebal nan kokoh sekaligus ukiran Jawa yang rumit. Setelah ketemu dinding raksasa, begitu masuk kami disuguhi pemandangan pot raksasa. Barulah setelah pintu ketiga, kami bisa melihat keindahan tempat pemandian Tamansari. Orang sekarang menyebutnya sebagai, Tamansari Water Castle. Cerita lengkapnya bisa lihat tulisan saya di WEB www.inindonesiaku.com yaa...:D


Bisa dibaca judul artikelnya : Tamansari Water Castle dan Sebuah Cerita dari Sang Abdi Dalem


Lorong Pintu Masuk Tamansari Water Castle
Langsung deh pengen foto-foto disitu. Setiap orang punya kesempatan narsis, dan selfie. Pas kami pengen welfie, tapi nggak ada tripod dan kelupaan bawa tongsis, eeh...ada turis mancanegara baik hati banget motretin kami berempat. Kayaknya si mbak bule sudah lama jalan-jalan di Jogja. Kulitnya sudah memerah karena terbakar, dan sikapnya pun mulai ketularan orang Jogja yang pengertian. Hehehe...
Tempat Pemandian Selir Raja Yogyakarta
Kompleks Tamansari ini terhubung dengan Masjid Sumur Gumuling, atau orang menyebutnya sebagai Masjid Bawah Tanah. Kita harus melewati sebuah perkampungan yang tertata rapi dulu sebelum mencapai tempat tersebut. Perkampungan ini bernama Kampung Cyber. Karena melihat ada dinding yang dipenuhi grafitti menarik (yang ini grafitti gambar ya...bukan Mbak Graffitte), kami pun foto-foto. Gantian setiap orang. 
Di Sekitar Tamansari
Habis foto-foto, baru deh bingung. “Arah kita kemana, ya?”

Melihat ada dua mbak-mbak berkerudung yang sedang berjalan menyusuri jalan kampung, kami pun mengikuti mereka. Kami kira mereka tahu jalan, ternyata mereka juga lagi nanya ke penduduk. Sama-sama nyasar dong....

Tapi kami nyasar nggak lama-lama kok. Malah ketemu sama kakek berusia kurang lebih 80 tahun, dan beliau memperkenalkan dirinya. Ngawe-awe kami, nanya kami darimana, dan mau kemana. Kami jawab Mau ke Masjid Bawah Tanah. Kami jelaskan juga kalau kami berempat berasal dari daerah yang berbeda, tapi keempatnya masih mahasiswa. Makanya kakek tersebut tertarik ngobrol sama kami. Uniknya, beliau hanya mau menerangkan pakai bahasa Inggris atau bahasa Belanda. 

Tanpa kami duga, kami berempat malah diajak ke rumah kakek tersebut. Dari situ barulah kami tahu kalau beliau adalah seorang abdi dalem, yang ditugaskan Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk memandu para wisatawan dan menerangkan sejarah serta budaya Kraton Yogyakarta. 

Bersama Kakek Soedarmadji
Dari cerita Kakek Soedarmadji juga kami mengetahui bahwa tidak sembarang orang bisa menginap atau bermalam di kawasan Tamansari. Warganegara asing bahkan dilarang keras menginap di kawasan Tamansari Water Castle. Hal tersebut karena, tempat ini merupakan tempat pemandian para selir Raja Yogyakarta. Sehingga keberadaan warga asing dikhawatirkan dapat mengganggu ketenangan atau bahkan menimbulkan fitnah yang dapat menimpa para selir tersebut. Kan nggak lucu juga kalo Rajanya diduain karena selirnya terkesima sama Mister Mister.

Oleh Kakek Soedarmadji, kami ditunjukkan sticker yang berisi larangan keras warga asing menginap di kawasan Tamansari. Sticker tersebut masih tertempel dengan rapi di pintu rumah beliau. Namun saat ini, kita warganegara Indonesia boleh kok menginap di kawasan Tamansari. Menurut Sang Abdi Dalem, banyak mahasiswa yang sedang melakukan penelitian tentang budaya maupun pariwisata Tamansari Water Castle, tinggal atau ngekost di kawasan ini. Asalkan alasan dan keperluannya jelas, warga Tamansari terbuka buat pendatang.

Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Kita harus menghormati adat dan budaya setempat.Sang Abdi dalem memberikan pencerahan pada kami, membuat kami jadi tambah cinta sama Indonesia.

Perjalanan selanjutnya adalah Masjid Sumur Gumuling yang akan saya tulis di postingan berikutnya.

Thursday, September 3, 2015

Gili Trawangan in my opinion



Seperti halnya teman, namanya tempat ngetrip memang cocok-cocokan, beda-beda setiap orangnya. Mungkin saya bilang tempat “A” bagus, tapi buat orang lain ternyata biasa saja. Atau tempat yang saya bilang jelek, tapi buat orang lain bisa saja seindah surga. 

Begitulah yang saya alami saat saya datang ke Gili Trawangan. Ekspektasi saya yang tinggi sama sekali nggak terpenuhi di tempat yang “katanya” menarik, tenang, dan ramah ini. Sehingga no offense buat yang jatuh cinta dengan tempat ini.

Pada saat menepi di pelabuhan Gili Trawangan, saya melihat bahwa sebagian besar yang berkunjung adalah wisatawan mancanegara, sedangkan wisatawan domestik jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Jadi nggak heran kalau Gili Trawangan disebut sebagai surganya wisatawan mancanegara.

Cafe dan diskotik berjajar menjual aneka minuman keras, juga menawarkan aneka jenis hiburan malam. Musik berdentam-dentam memekakkan telinga.

Itu nggak sesuai dengan pribadi saya tentu saja. Nggak gue banget, si pecinta ketenangan.

Kedua, Kondisi jalan kotor dengan kotoran kuda. Seolah hal tersebut dianggap wajar. Padahal banyak cara untuk menaggulangi hal tersebut.

Ketiga, mungkin saya dan teman-teman salah datang yaitu pada musim hujan, dan...banjir! Yups, jalan yang penuh kotoran kuda itu kalau hujan turun jadi banjir, kurang lebih airnya di atas mata kaki.

So...you know what I mean, right? I’m coming here to holiday, but I feel nightmare! 

Hasil Jepretan Kak Ina Susanty
Pelayanan restaurantnya juga payah. Mungkin saya dan teman-teman kebagian apes kali salah milih restaurant. Padahal kami pilih restaurant bintang 5, dengan harga makanan dan pajak yang juga setara dengan restaurant di hotel berbintang 5.

Para pelayannya orang Indonesia. Tapi sikapnya jauh berbeda dengan sikapnya saat menghadapi turis mancanegara. Padahal kami kan sama-sama bayar. Dan sama-sama customer lho. Kebetulan salah satu teman saya adalah manajer sebuah restaurant, tahu banget dong standar pelayanan restaurant bagus kayak apa. Apalagi restaurant mahal. Tadinya saya mau nulis review ini berikut nama restaurantnya. Tapi dipikir-pikir, saya juga nggak mau balik lagi kesana. Males juga. Hehe...

Anyway...terlepas dari semua itu, yang saya suka dari tempat ini adalah setiap penginapan punya sepeda sendiri yang bisa dipakai oleh tamunya secara gratis. Bersepeda pagi mengelilingi pulau bersama sahabat-sahabat tercinta memberikan hiburan yang tak terlupakan. Karena berbeda dengan kehidupan malamnya yang gemerlap, kehidupan pagi di pulau ini justru sangat tenang. Tidak ada musik keras yang berdentam, atau aktifitas yang bikin hati nggak sreg. 

Waiting for Sunrise in Gili Trawangan
Selain itu, kita juga bisa ketemu dengan warga sekitar yang sudah melakukan aktifitasnya di pagi hari. Ada yang baru pulang dari surau, ada yang hendak memancing, dan ada yang sedang menepikan perahu sambil membawa hasil tangkapannya. Beneran kerasa deh Indonesianya. 

Dengan bersepeda, panorama sisi lain Gili Trawangan pun bisa dieksplore maksimal. Bahkan ada suatu tempat yang menurut teman-teman saya sih mirip di setting drama Secret Garden. Daun-daun kering berguguran, dengan cahaya mentari mengintip dari balik pepohonan. Syahdu banget deh pokoknya.

The Secret Garden
Setelah berkeliling, kami pun jadi tahu ternyata ada spot untuk menunggu sunset dan sunrise disini. Nggak perlu nunggu di Cafe yang nyetel musik keras-keras sehingga nggak terasa kesyahduan terbit dan tenggelamnya sang mentari.

By the way, sekali lagi saya jelaskan bahwa tulisan saya hanyalah opini pribadi. Kesan setiap orang tentu berbeda terhadap suatu tempat. Gili Trawangan indah kok, tapi buat saya cukuplah dikunjungi sekali dalam hidup. Demi mengusir rasa penasaran.