Search This Blog

Monday, December 20, 2010

Sepenggal Doa Buat Seno

Kutatap gundukan tanah merah di depanku. Masih basah. Airmataku jatuh satu persatu, lalu mengalir dengan derasnya ketika kutaburi bunga diatas pusaranya. Sungguh hati ini paham dan mengerti akan takdirNya. Aku berusaha rela dia pergi, aku juga berusaha ridha ketika yang maha kuasa memanggilnya…tapi entah kenapa, airmataku terus membuncah dan tak bisa kuhentikan. 

Seno…lu kok ngga bilang-bilang ke gue kalo lu mau pergi jauh?
Mungkin lu skarang udah ketemu sama Allah ya? Yang tenang ya robot, gue darisini request ke Allah, supaya elo dikasih tempat yang mulia disisi Allah, bersama para shalihin. Tempat yang enak, yang nggak bikin lu cape kaya disini. Disana nggak ada yang namanya macet, nggak ada polusi, dan yang pasti, nggak panas kayak di Jakarta…

“Mbak, udah mau ujan nih. Pulang yuk.” Ajak Rihan, adikku yang mengantarkanku ke pusara Seno. Sungguh hati ini enggan meninggalkanmu sahabatku. Aku ingin selalu berada di sisimu. Aku ingin kau tahu betapa aku menyayangimu. Kalimat santun yang tak pernah terucapkan semasa kau masih ada.
“Mbak, kalau mbak Arini kayak gitu terus, nanti Mas Senonya sedih.”
Aku terhenyak mendengar kata-kata Rihan. Ya. Rihan benar. Tangisanku hanya akan menghambat perjalanan Seno ke haribaanNya.
“Seno, gue pulang dulu yah. Baik-baik lu disini. InsyaAllah gue bakal sering-sering kesini. “Assalamu `alaikum ahlad diyaar minal mukminiina wal muslimiin. Wa innaa insyaa Allah bikum laahiquun. Nas’alullaha lanaa wa lakumul `aafiyah”[1] bisikku pelan sambil mengusap dengan lembut nisan yang terbingkai nama Arif Senoaji. 
***

Pendopo Agung Politeknik Negeri Bandung, 2004
ORION 04

“Lu anak teknik informatika ya?”
“Yup.”
“Rasanya gue sering liat elo. Tapi ngga kenal. Kita satu angkatan kan?”
Dia mengangguk, lalu balik bertanya, “Lu anak marketing kan?”
“Kok lu tau?”
“Ya sama. Gue sering liat elo, tapi ngga kenal.”
“Oooo gitu. Kenalin, gue Arini Ranggadhia. Panggil aja Arin.” Kataku sambil mengulurkan tangan.
“Gue Arif Senoaji. Biasa dipanggil Seno.”

Perkenalan awalku dengan Seno. Entah apa yang membuatku bisa langsung akrab dengannya saat itu. Tapi rasanya kami punya chemistry yang sama antara satu dengan lainnya. Orang bilang, setiap manusia itu punya aura. Dan setiap aura dominan yang dimiliki masing-masing orang punya frekuensi. Jika frekuensinya positif dengan positif, maka akan tolak menolak. Namun jika frekuensi tersebut positif dengan negatif, maka akan tarik menarik. Aku tidak terlalu mengerti akan hal itu, tapi nampaknya yang kedualah yang terjadi antara aku dan Seno.

Beberapa minggu perkenalan kami, kuketahui Seno adalah sosok yang sangat bersahaja. Dia sederhana, meskipun berasal dari keluarga yang mampu. Seno juga tidak banyak bicara, malah dapat digolongkan sebagai orang-orang non verbal. Antisosial, Introvert. Dia tidak bisa leluasa bicara kepada orang lain. Namun anehnya, di depanku dia bisa mengungkapkan isi hatinya. Kami berdua bisa ngobrol selama berjam-jam. Obrolan yang tak pernah ada habisnya. Kalau saja tidak ingat besok mau kuliah, atau banyak tugas yang belum dikerjakan, bisa-bisa aku dan Seno ngobrol sampai pagi.

Sebaliknya, aku adalah orang yang sangat ekstrovert. Aku selalu mengungkapkan isi hatiku secara gamblang. Aku ekspresif, cerewet, dan hobby ngobrol. Berbeda 180 derajat dengan kepribadian Seno. Namun itulah seninya sebuah persahabatan. Aku dan Seno saling mengisi. Dia bisa menerimaku apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Begitupula denganku. Aku bisa menerima kelebihan dan kekurangan Seno. Oh iya, dia selalu memanggilku rumpi karena kebawelanku. Dan aku selalu memanggilnya robot, karena dia adalah pribadi yang sangat kaku.
“Woi, ngapain lu ngelamun gitu?”
Tanya Seno yang tiba-tiba sudah nongol di depan kamar kostku.
“Eh robot, sejak kapan lu disitu?”
“Sejak gue liat tampanglu yang kebingungan di depan komputer.” Katanya cuek.
“Sialan lu. Orang bingung malah menikmati.” Sungutku sebal.
“Hehehe…bingung kenape emangnye?” Tanya Seno lalu duduk di posisi vavoritnya. Sebelah Rice cooker.
“Kayaknya kompi gue kena virus deh. Daritadi ngehang mulu.” Jawabku dengan kening berkerut.
“Kayak yang punya dong.”
“Sotoy lu. Bantuin kek.”
Tanpa diperintah dua kali Seno mengutak-atik komputerku. Dan…setengah jam kemudian, semuanya beres. Komputerku langsung ok.
“Wah Seno…elu emang temen yang baik…” kataku dengan senyum berseri-seri. Seno memang selalu dapat diandalkan.
“Manis bicara kalo ada maunya aja.” Sungut Seno sambil mencomot gorengan.
“Mau makan kagak lu?” tanyanya.
“Gue udah makan. Lu makan aja.”
“Jangan kepengen yah.” Katanya sambil mulai memakan nasi bungkus. Sementara aku mulai mengetik tugasku.
“Heh, lu ngetik cepet amat?”
“Iya dunk. Sepuluh tangan gue kan punya mata. Sepuluh-sepuluhnya punya rumah. Dan mereka udah hapal sama rumahnya masing-masing.”
“Kalo sambil merem?”
“Meskipun sambil merem. Hasil ketikan gue tetep oke.”


Seno menatap layar komputerku dengan serius. Sejenak kulihat dia berpikir, lalu meneruskan makannya.
“Eh Rin, gue bakal bikin software yang bisa ngalahin elu ngetik sepuluh jari. Lu tinggal ngomong, komputernya ngetik sendiri.”
“Ah lu jangan ngaco Seno. Angan-anganlu ketinggian.” Kataku dengan pandangan fokus ke computer.
“Bahkan, gue mau lebih dari itu rin. Lu tinggal kedip-kedip mata, ngga perlu pake mouse lagi.”
Aku tidak mendengarkan ocehan Seno. Bagiku, dia sudah aneh dari orok. Pikiran-pikirannya suka janggal. Daripada ikutan gila, lebih baik aku konsentrasi mengerjakan tugasku.
“Ye…lu belum tau si. Ntar ya, lu tunggu. Gue bikin algoritmanya dulu.” Katanya karena melihat tingkahku yang acuh tak acuh.
“Boleh. Gue tungguin deh.” Kataku meskipun tiga perempat hati tidak percaya Seno dapat menyelesaikan software itu.


Enam bulan kemudian, Seno mengajakku ke tempat kostnya. Dia menyalakan computer kesayangannya, lalu menyuruhku duduk di depan computer itu.
“Lu punya film baru ya?”
“Kaga.”
“Lah terus ngapain lu ngajakin gue kesini?” tanyaku bingung. Males banget kan kalau nanti ketemu si Roni aneh itu. Ntar dia loncat-loncat nggak jelas lagi kayak waktu itu.
“Ini lebih dari sekedar film.” Kata Seno sambil memberikan headset kepadaku. “Nih pake, terus ngomong.”
“Ini kan Microsoft Word. Buat apaan gue mantengin ginian?” tanyaku tambah bingung, tapi tak urung aku menurutinya memakai headset, kemudian bicara sesukaku. Dan…ow ow…I don’t believe it…it run! The software was run!



Di layar tertulis, “Gue suka banget sama Nicholas Saputra…” dan seterusnya ocehanku yang tidak bermakna.
Ketika aku melongo karena takjub, Seno tersenyum lebar. Terlihat sekali kalau dia puas. Seminggu kemudian, Seno masuk televisi mempresentasikan hasil penelitiannya. Dia dapat penghargaan dari Menristek saat itu.

Januari 2006
“Gue udah jadian.”
“Jadian sama siapa lu? Si Roni aneh itu?” ledekku.
“Gue punya cewek dudul!” kata Seno serius.
Aku melongo tak percaya.
“Menghina banget sih tampang lu?” Sungutnya saat itu.
“Emang ada cewek yang mau sama elo Seno?” tanyaku bingung, yang sukses membuat kepalaku dipentung kertas karton oleh Seno.
“Wadow…” aku meringis kesakitan.
“Sialan lu. Emang lu kata lu doang yang bisa punya pacar?” katanya sewot.
“Abisan perangai lu kan aneh. Terus, lu dapet cewek darimana lagi. Perasaan kaga ada cewek yang deket sama lo akhir-akhir ini. Cewek beneran bukan?” tanyaku sambil mengusap-usap kepalaku yang sakit.
“Beneran lah. Dia kuliah di Semarang.”
“What? Jauh amat? Lu melet ya?”
“Terserah elu deh. Pokoknya gue sama dia udah jadian sekarang.”
“Mana, lu ada fotonya ngga?”
Seno memberikan handphonenya padaku. Kulihat seorang gadis manis di layarnya.
“Edun…manis Seno. Nih beneran cewek lu? Kaga ngarang kan?”
“Geser scrollnya.”
Ketika aku menggeser scrollnya, benar. Seno dan gadis manis itu berfoto berdua. Aku senang sekali melihatnya. Feelingku mengatakan, kalau gadis pilihan Seno adalah gadis yang baik.
“Wha…beneran. Lu udah jadian Seno. Selamet yah..akhirnya robot gue punya pacar juga. Manusia pula. Kirain lu bakalan dapet alien.”
“Sialan lu!”
“Ayo Seno, kita keluar.”
“Ngapain?”
“Gue mau minta makan lahh…”


Sedikit cerita tentang Roni. Aku menyebutnya Roni aneh karena dia memang aneh. Waktu itu aku sedang berada di kamar Seno, karena ada beberapa cd software yang hendak kupinjam. Yang punya kamar sedang asyik mandi. Nah, tiba-tiba si Roni ini masuk ke kamar, dan langsung loncat-loncat nggak jelas di kasur Seno. Kayaknya sih dia nyanyi, tapi….sumpah, aku belum pernah berhadapan dengan mahasiswa sejorok itu. Liriknya…Seno…kita pacaran yuukk…
OMG! Kebayang nggak gilanya???? Aku yang berada di sudut ruangan melongo keheranan. Pada waktu yang bersamaan, Seno muncul di depan pintu. Secara otomatis si Roni menghentikan aksi gilanya. Dia menatap Seno yang berkerudung handuk, lalu menatapku. Dan tanpa ba bi bu lagi, Roni terbirit-birit keluar, masuk kamarnya seraya berteriak…ada cewekkkkk!!!!!!!!!
Seno menatap Roni dengan pandangan heran. Sementara aku, terhenyak beberapa saat. Jadi dari tadi dia tidak menyadari keberadaanku? Dia kira aku Seno. Ketika aku ceritakan hal itu kepada Seno, dia malah tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar airmata.
“Amit-amit Seno…gue kaga bakal mau kesini lagi deh. Apalagi ada orang ituuuu!!!!”
“Hahahaha…untung lu ngga diapa-apain rin..”
***

Dan ternyata feelingku benar. Ketika Seno membawa Putri ke hadapanku, gadis itu adalah gadis yang baik. Lembut, asik diajak ngobrol, dan sikapnya dewasa meskipun masih sering manja. Wajar lah…Putri kan 2 tahun dibawah kami. Putri kuliah di sebuah universitas negeri di Semarang, jurusan kelautan. Kerjaannya menyelam. Bertolak belakang dengan Seno. Jangankan menyelam, berenangpun Seno nggak bisa!

Anehnya, Putri lebih akrab ngobrol denganku daripada dengan Seno. Dan Seno pun seperti makhluk asing di depan Putri. Ampun deh nih bocah…masih untunggg…si Putri mau sama dia. Bukannya diubah kek sikap robotnya. Malah menyerahkan kepadaku. 

“Putri kayak ngomong sama tembok mbak…” kata Putri di suatu saat. Aku terbahak mendengarnya.
“Sorry put. Sahabatku emang gitu orangnya. Bawaan orok kaga bisa ngomong. Kata mamanya, waktu Seno lahir juga kaga nangis.” Kataku dengan tampang sungguh-sungguh.
“Oh…gitu ya mbak? Tapi kok bayi ngga nangis sih?”
“Iya…bener. Dia Cuma nyengir.”
Putri tertawa mendengar ocehanku.
“Terus Putri harus gimana mbak?”
“Putri bersikap kayak biasanya aja…satu yang perlu Putri tau, meskipun sikap Seno kayak gitu, dia cowok paling baik yang pernah aku kenal. Kalaupun semua laki-laki di dunia ini punya hasrat selingkuh, Seno adalah laki-laki terakhir yang berpikir dia bakal selingkuhin pasangannya.” Kataku dengan haqqul yaqin…
Putri tersenyum sumringah menatapku. Dimatanya kutangkap ada pancaran kelegaan hati. Sejak saat itu, kuanggap Putri seperti adikku sendiri. 

***

“Woi playgirl, lagi smsan sama siapa lagi lo? Cengar-cengir ngga jelas.” Tegur Seno waktu kami pulang kuliah.
“Huuuuh...Mau Tau Ajah!” Sungutku.
“Insap kek. Kalo bukan temen gue, udah gue laporin lu ke komisi perlindungan pria.”
“Behhh…lebay lu. Terus kenapa lu masih mau temenan sama gue?”
“Mana gue tau.” Sahut Seno sambil mengangkat bahunya.
“Emang sih, gue kan temen yang ngangenin. Iya kan Senoo??” Kataku sambil menyikut lengannya.
Seno meringis menatapku. “Ada juga elu nyebelin dudul!”
Kumonyongkan bibirku.
“Eh, gue serius Rumpi. Sampe kapan lu mau berhenti bertualang? Apa elo ngga bisa berkomitmen lebih lama? Coba buat jadi cewek setia?”
“Setiap tikungan ada maksudlo?” candaku. Tapi Seno tidak tertawa. Dia malah menatap lurus ke depan. Seolah aku tidak berdiri disampingnya. Kaga asik banget dicuekin sama robot.
“Seno…gue setia kok. Tapi setiap gue mencoba setia, justru cowok itu yang nggak setia. Lu tau kan?”
“Rin, hidup ini cuma sebentar. Mendingan lu pikirin, gimana supaya bisa bermanfaat buat orang lain. Bukan balas dendam.” Kata Seno pelan.
Degg…Seno itu jarang sekali bicara. Namun kali ini, kata-katanya merasuk ke relung hatiku yang paling dalam. Aku terdiam sampai kami tiba di depan tempat kostku. Biasanya, Seno mampir dulu. Kami ngerumpi sebentar dengan adik kelasku Nuri dan Mbak Ria. Tapi hari ini Seno ngeloyor pergi. Langsung pulang ke tempat kosnya.
***

Untungnya, Seno tidak terlalu lama marahnya. 3 hari sudah lebih dari cukup untukku. Seno kembali memanggilku dari luar kamar, mengajak berangkat kuliah sama-sama.
“3 hari cukup bagi seorang muslim mengintrospeksi dirinya.” Kata Seno dengan santai. Aku memonyongkan bibirku. Sebenarnya karena merasa tersindir dengan kata-katanya.
“Lu maafin gue Seno?” tanyaku.
“Apa yang harus dimaafin? Udah bawaan orok lu kaya gitu. Tapi gue harap, paling ngga lu ngurangin jumlah pacar lah. Satu aja kaga abis-abis.”
“Ye…segitunya. Kesannya gue playgirl banget.”
“Ngerasa nggak?”
“Ya iya sih, tapi kan pacar gue ngga sebanyak yang lu kira kali.”
“Tapi lebih banyak.” Kata Seno.
“Sialan.” Lalu kami berdua tertawa.
***

Waktu terus bergulir, tak terasa kami sudah akan memasuki sidang akhir. Aku benar-benar bekerja keras untuk itu. Mulai dari browsing di internet, nongkrong di perpustakaan setiap hari, bimbingan, survey lapangan, dan kesibukanku yang seabrek lainnya. Begitupula dengan Seno yang bolak-balik menguji alatnya. Sepertinya dia menghadapi masalah. Tapi karena bidang kami berbeda, aku juga tidak dapat membantu apa-apa. Dalam seminggu, paling banter kami hanya sekali bertemu. Itupun hanya sebentar. Cuma sekedar menanyakan kabar dan kemajuan tugas akhir. Selebihnya, kami berkutat dengan kesibukan masing-masing. Sampai akhirnya…hari sidang itu tiba…aku belum bertemu dengan Seno. Sahabat kentalku, tempatku berbagi keluh kesah. Seminggu setelah sidang, aku masih belum bertemu Seno. Entah kemana dia…dihubungi ke handphonenya tidak pernah aktif. Ym juga tidak online. Seno kemana yaaa??? Padahal kan sekarang saatnya kita benar-benar bisa bebas refreshing. Setelah berbulan-bulan disiksa dengan sebuah laporan yang bernama Tugas Akhir.
Aku bahkan tidak sempat berkonsultasi dengannya soal pekerjaan. Ya. Aku mendapatkan tawaran pekerjaan yang bagus di Bandung. Akhirnya, atas dukungan teman-temanku, kuterima tawaran itu. Padahal aku ingin sekali membagi kebahagiaan ini dengan Seno…


Pendaftaran Wisuda
Sudah berjam-jam aku menunggu di depan loket ini. Tapi Seno tak kunjung datang. Ini kan hari terakhir pendaftaran wisuda. Kok Seno belum nongol juga yaa?? Kemana dia? Perasaanku mulai tidak enak. Beberapa teman Seno menyapaku. Ah ya…lebih baik kutanyakan ke mereka kemana sahabatku itu.
“Rel, liat Seno nggak? Kok dia belum daftar wisuda juga yaa?”
Arel menghampiriku. “Loh elo belum tau Rin? Seno kan pending.”
“Apaaaaaaaa?”
Sungguh, aku tidak menyangka Seno pending. Mungkin di kampus lain, tidak lulus di semester 6 adalah hal biasa. Tapi di kampus kami, hal itu tabuuu sekali. Seperti orang yang tidak naik kelas. Pending adalah setengah DO.
“Iya. Dosen pembimbingnya nggak mau approve. Seno telat pendaftaran sidang.”


Saat itu juga aku langsung mencari Seno kemana-mana. Pertama ke laboratorium jurusannya, tidak ada. Ke tempat kosnya, tidak ada. Ke tempat nongkrongnya, tidak ada. Ke kosan teman-teman dekatnya, tidak ada juga. Akhirnya, karena sudah lelah mencari aku berjalan dengan lunglai ke tempat kosku. MasyaAllah…Seno…setiap gue susah elo selalu ada disamping gue. Bantuin gue, hibur gue….tapi giliran elo yang susah, elo malah pergi. Kenapa sih Seno?

“Duggg!!!” aku menabrak orang sampai aku jatuh.
“Sory.”
Suara itu sangat kukenal. Ya ampun…itu Seno!
“Sialan lu Robot! Dasar Jahat! Nggak sopan! Jahaattt!” kataku sambil memukul bahunya. Dia hanya terdiam dan tersenyum kecut.
“Kenapa sih elo ngumpetin semuanya dari gue? Kenapa gue harus tau dari orang lain?” kataku kesal. Karena kemarahanku sudah di ubun-ubun.
Seno tetap dengan diamnya. “Kenapa lu diem? Terus apa artinya kita berjuang sama-sama? Kalau seneng lu selalu bagi-bagi ke gue. Giliran susah, lu kabur. Emang lu anggap gue temen apaan Senoo???”
“Gue Cuma nggak mau ngerusak kebahagiaan lu Rin.”
Mataku menyipit menatap Seno. “Ngerusak kebahagiaan gue?? Gue nggak ngerti!” kataku penuh emosi.
“Elu lulus sidang dengan nilai bagus, terus mau diwisuda. Masa harus gue rusak dengan kabar gue pending? Kan ngga asik.” Kata Seno pelan.
Jawaban yang benar-benar tidak kusangka. Saat itu, aku benar-benar menangis mendengarnya. Aku tidak peduli ketika beberapa pasang mata menatap kearah kami. Tenggorokanku tercekat dan hatiku sakit. Sahabatku…sungguh agung budimu. Yang tak kusangka, Putri tiba-tiba sudah ada di depanku, lalu memelukku.
“Sabar Mbak…semua pasti bisa dilalui kok…” kata Putri dengan suara lembutnya.
“Aku nggak habis pikir sama Robot gila yang satu ini Put. Kok dia bisa kayak gitu.”
Putri tersenyum. “Kalau nggak gitu kan bukan robot namanya Mbak.”
“Dasar rumpi aneh. Yang nggak lulus kan gue. Kok malah elu yang nangis.” Celetuk Seno tiba-tiba.
“Gue nangis bukan karena lu nggak lulus dudul!”
“Terus kenapa?”
“Pegel gue keliling Ciwaruga seharian!” sungutku. Putri tertawa mendengarnya.

***


“Mbak…Aa kemana yaa? Kok Putri hubungin ngga diangkat-angkat…” Suara Putri terdengar memelas di seberang sana.
Aku mengerutkan keningku. “Kenapa Put?”
“Putri Cuma mau ngasih tau, kalau Putri udah lulus sidang mbak…Putri dapet A. Tapi Aa nggak ngerespon sms Putri. Ditelpon mailbox terus….”
Aku trenyuh mendengar suara Putri. Kasihan dia…
“Ya udah, nanti aku coba hubungi Seno yaa…Putri tenang aja, ntar aku kabarin. Paling si Seno keasyikan ngegame Put, makanya nggak denger suara handphone…”
“Iya kali ya mbak..tapi dari siang gitu terus…”
“Sabar ya…nih langsung aku telpon deh Senonya. Putri tunggu ya..”
“Iya mbak, makasih banyak..”
“OKE.”
……
“tuuttt…tuttt….tuttt..telepon yang anda tuju, sedang sibuk.”
Yee..kok si mbak-mbak ini lagi yang nerima. Beberapa saat kemudian, kucoba lagi. Masih si mbak itu yang nerima. Dasar si mbak, ngga bosen-bosen nerima telpon orang. Untuk keempat kalinya aku menelepon, baru Seno mengangkatnya.
“Assalamualaikum Rin..”
“Waalaikumsalam…”
“Robot, lu kmana aja? Gue telponin dari tadi kaga diangkat.”
“Hehehe..hape gue keselip di Jas hujan. Makanya baru kedengeran.” Sahutnya dengan santai.
“Ya ampunnn…kok bisaa???”
“Bisa lah. Elu aja pikun, gue juga boleh dong.” Jawab Seno lalu tertawa lepas.
“Widih..yang jelek ditiru. Anyway…dari tadi siang Putri nelpon elu, tapi nggak lu angkat, sms ngga lu bales. Kenapa sih Seno??”
“Nggak apa-apa.” Sahut Seno datar.
“Ngga apa-apa gimana? Putri tuh butuh support elu. Dia sidang hari ini. Dan tadi, dia ngabarin kalo dia udah lulus.”
“Ooohh..”
Cuma itu reaksi Seno?? Nggak biasa-biasanya. Sungguh, kenapa dia jadi aneh seperti ini?
“Seno??”
“Ya?”
“Kok lu kesannya cuek banget si sama Putri? Jangan gitu dong, kan kasian Putrinya…”
“Rin…Putri udah gede, harus belajar mandiri. Supaya dia siap kalo jauh dari gue.”
“Lah kan selama ini juga kalian jauhan. Putri juga mandiri. Kenapa sekarang….”
“Rin…sekarang mungkin lu ngga ngerti. Tapi ntar juga lu tau kenapa gue begini sama Putri.” Potong Seno. Kutangkap nada dingin dari suaranya. Waduhh…jangan-jangan Seno punya cewek lagi…aduhh…ngga boleh nih. Ngga boleh banget. Gimana Putri nantinya?
“Tapi…”
“Udah Rin…gimana thesis lu? Beres?” tanya Seno mengalihkan pembicaraan. Sementara ini kututup kecurigaanku.
“Baru bab 2.” Jawabku.
“Eh inget ye..lu punya utang sama gue. Cariin bahan buat thesis gue.”
“Iye…gue inget. Tentang pencitraan kan?”
“Yups. Tolong lu tanyain sama cowok lu ye. Dia kan ahlinya…”
“Iya iya. Ntar gue tanyain. Tapi lu telpon Putri yah. Dia nungguin tuh…”
“Beres…udah yaa...Bosen gue denger suara lu yang bawel. Daaah rumpi…assalamualaikum…”
“Sialan lo…ya udah. Waalaikumsalam warahmatullah.”

***

Begitu kami memasuki dunia kerja, kami berdua sama-sama sibuk. Sungguh, setiap kali kami berniat untuk bertemu, tapi setiap kali juga kami membatalkannya. Kalau Seno libur, aku yang sibuk. Kalau aku senggang, Seno yang sibuk luar biasa. Padahal, kalau mau ditilik, jarak kantor kami di Jakarta tak lebih dari 3 km saja. Bahkan dari jendela kantorku di lantai 18, gedung kantor Seno bisa terlihat. Namun berhubung Seno tidak tahu jalan, dia enggan untuk mampir ke kantorku. Seringkali aku kangen sekali padanya. Akhirnya, kami hanya dapat bertukar cerita lewat yahoo messenger, sms, atau telepon. Rutinitas di waktu senggang. Ngerumpi sama Seno. Bang Raka, cowok yang sedang dekat dengankupun mengerti akan hal ini. Dia tahu, peran Seno sebagai sahabat tidak dapat digantikan olehnya. 

Tidak hanya waktu senggang saja yang kumanfaatkan untuk berbagi cerita dengan Seno. Setiap aku dalam perjalanan ke kantor, ke bandara, ke kampus, atau ke mall, aku pasti chatting dengan sahabatku yang satu itu. Lha wong dia itu kalong. Jam berapapun, pasti online. Kami bercerita tentang banyak hal, tentang cita-cita, harapan, dan masa depan kami. 

“Rin, gue pengen pindah.” Kata Seno di suatu saat, dalam perjalananku keluar kota. Mungkin dia sudah terlalu stress menghadapi pekerjaannya yang luarbiasa banyak. Aku mendukung 100% keputusan sahabatku itu.
“Iya tuh Seno…lu cari deh tempat kerja yang lebih manusiawi.”
“Iya. Gue pengen pindah ke tempat yang ngga bikin gue cape. Yang ngga ada polusi, dan ngga panas kayak Jakarta.”
“Mmm…dimana yaa?? Bandung?”
“Pokoknye gue mau pindah.”
“Iye…ya udah buruan lu pindah deh.” Kataku.
“Yups, gue bakal pindah kalo urusan disini udah selesai. Banyak program yang belom jadi nih. Terus gue kan mau bikinin warung buat nyokap.”
“Warung?”
“Iya. Semacem minimarket gitu deh. Ntar gue bikin kaya Alfamart. Biar kaga ada orang ngutang. Lu bantuin cari mesin kasirnya ya.”
“Ya ampun…niat banget si lu Seno. Katanya sekarang lagi sibuk..”
“Kayanya Cuma itu yang bisa gue lakuin buat nyokap Rin. Selama ini kan gue ngerepotin nyokap mulu. Sekolah D3 pending, IPK jeblok, apa coba yang bisa bikin nyokap gue bangga?”
Dalam hati aku berpikir…orang tua lu sudah cukup bangga dengan memiliki anak berbudi kayak elu Seno. Aku yakin, mereka tidak butuh apa-apa. Seno juga anak yang membanggakan kok. Meskipun IPK nya Wiro Sableng, tapi otaknya tidak sedangkal itu. Di kantornya, Seno termasuk staf andalan. Dan satu yang Seno tidak tahu. Dosen pembimbing yang dulu enggan mengaprove tugas akhirnya, sekarang malah begitu bangga pernah punya mahasiswa bimbingan seperti Seno. Penelitian Seno disimposiumkan dimana-mana. Namanya mewarnai dunia informatika di Indonesia. Hanya saja, Seno yang terlanjur merasa produknya gagal, tidak mau turut serta dalam pengembangannya. 

***


“Seno…sekarang kan lu udah kerja. Posisi udah mapan, duit banyak, Putri juga udah lulus. Tunggu apa lagi? Lu lamar lah si Putri.” Celetukku suatu waktu.
Seno tersenyum, lalu menggeleng.
“Kenapa?”
“Gue kagak bakal kawin sebelum lu jadi manten.”
Sahutnya enteng. Aku meringis karenanya.
“Eh, gue sama Bang Raka belom pengen nikah. Masih banyak cita-cita. Banyak lah yang harus dipertimbangkan.”
“Sama.”
“Pokoknya, gue mau dateng ke rumahlu sama Putri. Gue pengen liat lu jadi manten. Cantik, apa masih beringas.”
“Enak aja lu. Jelas cantik lahh…janji ya..lu bakal dateng ke mantenan gue. yang….entah kapan gue ngga tau….”
“Iye…InsyaAllah. Nih…gue udah minta izin ke Allah dari sekarang supaya gue bisa liat lu jadi manten. Baik kan gue??”
“Ngomong apa sih Seno. Garing ahhh!”
Lalu kami berdua tertawa. Sungguh, aku tidak menyadari kata-katanya…
“Tapi…jadinya lu sama Putri kapan dong? Kan gue juga pengen liat elo jadi manten.” Kataku.
“Mmm…kapan yaa….Gue liat Putri masih banyak cita-cita Rin. Dia itu mirip-mirip sama elu, pengen lihat dunia. Dan gue nggak mau ngekang dia. Gue seneng kalo dia cerita tentang kehidupan di bawah laut. Menakjubkan katanya. Gue juga pengen liat sih sebenernya…tapi…”
“Tapi elu ngga bisa berenang.”
“Pinter lu dul. Hehehe…tau aja. Ya pokoknya gitu deh. Di satu sisi gue pengen Putri tinggal di Jakarta aja. Tapi disisi lain gue pengen dia bahagia, melihat keindahan ciptaan Allah supaya dia lebih dekat kepadaNya.”
“Weisss tumben lu melankolis. Kali ini 100% gue setuju sama elo. Gue doain…mudah-mudahan Allah kasih jalan yang terbaik buat kalian berdua.”
“Amin…” Seno mengamini. Kulihat matanya menerawang jauh. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Yang kutahu, dia sangat mencintai Putri ayunya.
“Rin, gue yakin, seumur hidup lu kaga bakal bisa ngelupain gue.” Kata Seno tiba-tiba.
“Halah…sotoy lu. Kata siape?”
“Ya kata gue lahh.” Ujar Seno dengan penuh percaya diri. Lengkap dengan senyumnya yang khas.
“Liat aja ntar. Lu kaga bakal bisa lupain gue. Hehehe…”
“Ya terserah elu deh robot.”
“Ye…nadanya ngga percaya gitu. Yakin deh Rin.” Kata Seno lagi dengan cengiran menyebalkannya.
“Oh iya…kalo lu apes, ntar suami lu bakal punya sifat yang mirip gue. Robot. Hahahaha…” Sebelum kupukul, Seno sudah berlari menghindar dariku.
“Enak ajaaaaa!” teriakku sambil mengejar Seno.
Kalau saja saat itu aku menangkap maksud kata-katanya…
Iya Seno…gue percaya sama kata-kata lu. Seumur hidup, gue nggak akan pernah bisa lupa sama lu. Nggak akan pernah. Karena lu selalu ada di hati gue. 

***


Lagi-lagi Putri meneleponku soal Seno. Beberapa minggu ini dia diacuhkan oleh sahabatku yang edan itu. Aduhh Seno…kenapa sih elo bersikap gini sama gadis sebaik dan setulus Putri?? Kenapa…dan kenapa pula…elo berubah akhir-akhir ini? 

“Aa selingkuh mbak…” kata Putri dengan suara serak. Sepertinya dia menangis di seberang sana.
“MasyaAllah Put…aku kenal banget sama Seno. Dia nggak bakalan melakukan itu ke Putri. Sungguh…” kataku berusaha meyakinkan Putri. Betapapun, masih terngiang dengan jelas kata-kata Seno dulu…

Buat gue, jatuh cinta dan mencintai seorang gadis itu hanya sekali Rin. Kalau cinta udah gue kasih ke Putri, InsyaAllah…sampai mati ya cuma Putri.

“Tapi kenyataannya lain Mbak…Aa ngaku, kalau dia selingkuh. Dia suka sama temen kuliahnya….” Kata Putri sedih. Aku menggeleng. Tidak mungkin! Ini sungguh tidak mungkin!
“Putri tenang dulu ya…nanti aku coba konfirmasi ke Seno. Sungguh pasti kejadiannya nggak seperti itu Put. Aku tahu Seno…dia nggak mungkin…”
“Tiap orang bisa berubah mbak…” Potong Putri.
“Tapi ini soal prinsip Put…InsyaAllah nggak begini kenyataannya…”
Putri sudah menangis di seberang sana. Ya Allah…sungguh aku tidak tega mendengar adikku menangis. Aku yakin…ada sesuatu di balik ini. Tapi apa…hanya Allah dan Seno yang tahu.

***


Kukonfirmasi ke Seno…tapi dia hanya terdiam saat kutelepon. Oh salah. Dia yang meneleponku karena berkali-kali aku meneleponnya, handphonenya mailbox.
“Seno…please..ngomong aja sama gue. Lu selingkuh?”
“Semua nggak seperti yang lu kira Rin. Suatu saat nanti…lu pasti ngerti. Lu pasti ngerti…”
“Gimana gue bisa ngerti kalo elu nya nggak ngomong?”
Seno tertawa. Dasar edan. Orang lagi serius malah tertawa tidak jelas.
“Selama lu jadi sahabat gue…seringkali gue nggak perlu ngomong untuk bisa bikin lu ngerti Rin. Gue yakin…nanti juga lu pasti akan ngerti…meskipun gue nggak ngasih penjelasan apa-apa.”
“Aduhhh gue makin ngga ngerti Seno…nggak ngerti!” kataku geregetan.
“Karena belum saatnya lu ngerti Rin. Belum saatnya…”
Kami berdua terdiam beberapa saat.
“Rin…elu mau kan jadi kasir di warung gue? sehari..aja.”
“Duh malah makin aneh nih orang. Kok malah mengalihkan pembicaraan sih?”
“Mau kan Rin?”
“Iye..gue mau Robot! Pake nanya lagi. Ntar deh kalo gue udah sempet. Sekalian gue mau nyobain masakan nyokap lu yang katanya enak itu.”
“Hehehe…iya. Masakan nyokap gue emang enak. Oh iya, lu juga bisa ngobrol sama bokap gue. orangnya baik kaya gue.”
“Behhh narsis. Jadi gimana nihh urusan lu sama Putri?”
“Ntar gue aja yang ngomong ke Putri. Lu tenang aja…”
“Oh iya Rin…tau ngga, gue prihatin liat janda-janda yang terlantar.”
“Loh kok ujug-ujug ngomongin janda, emang elu liat dimana?”
“Di banyak tempat…banyak orang yang inget ke anak yatim…tapi nggak banyak yang inget sama janda.”
“Ya kan agama kita memerintahkan supaya kita menyayangi anak yatim…”
“Emang bener…tapi lu perhatiin deh. Janda-janda tua banyak yang terlantar. Mereka udah sepuh, nggak bisa nyari. Iya kalau yang punya anak dan anaknya bisa bantu. Kalau yang nggak? Mereka sering kelaparan Rin…agama kita juga kan menyuruh kita untuk mengasihi orang yang ngga mampu.”
Aku tercenung mendengar kata-kata Seno. Hampir tidak terpikir olehku soal janda-janda tua itu…
“Rin…kalau elu punya rizki lebih…sisihkan buat anak-anak sama janda-janda itu yaa..”
Aku tercekat. Suara Seno begitu menyayat hatiku. Dia yang selalu kupanggil Robot…justru lebih peka dari orang-orang yang mengaku dirinya gaul.
“Iya…InsyaAllah. Tapi dimana gue bisa ketemu janda-janda kayak yang elu sebutin Seno?”
“Kalau elu sering pulang malem, coba sesekali tengok keadaan sekitar. Banyak Rin…”
“Gitu ya…ok deh robot…InsyaAllah.”
“Hehehe…udah dulu ye…pulsa gue bisa abis ngga kerasa kalo gue ngobrol sama elu.”
“huuu garing lu.”
“bye arin…..assalamualaikum.”
“waalaikumsalam...”
***

seno471 : Assalamualaikum Presdir!
seno471 : ngumpet mulu
a_ranggadhia : waalaikumsalam. lu juga
a_ranggadhia : lg dimana lu?
seno471 : dikantor
a_ranggadhia : hidihhh…hari gini. Jam 1 malem Seno….
a_ranggadhia : wkwkwkwk
seno471 : jangan cerewet deh...
a_ranggadhia : cerewet? baru tau skarang??
a_ranggadhia : udah dari dulu kaleee
seno471 : hahaahahah
seno471 : lah elu lagi ngapain hari gini online?
a_ranggadhia : pengen aja. Daripada ngga bisa tidur
seno471 : awas aja lu kalo mulai ngelaba lagi! Masih Raka kan?
a_ranggadhia : yee nuduh. Masih lahhh!
seno471 : bagus. Udah ah lu tidur sana. Gue mau ngobrol sama Putri.
a_ranggadhia : Iye. Gue ngga mau ganggu orang kencan kok.
a_ranggadhia : assalamualaikum..
seno471 : waalaikumsalam…bye bye…


***

a_ranggadhia : assalamu'alaikum robottt
a_ranggadhia : lagi ngapainn lo?
seno471 : waalaikumsalam rumpi..lagi kerja..
a_ranggadhia : mau gangguin seno robot ahhhhhh
seno471 : ga boleh..
a_ranggadhia : wkwkwkwkwk…sok iye luuu
a_ranggadhia : buzz buzz
seno471 : oooiiiiiii....berisikkkk
a_ranggadhia : eh robot ...blm kelar juga kerjaannya???
seno471 : udah..
a_ranggadhia : lah trus lu skarang lg dimana?
seno471 : di kantor
a_ranggadhia : ih amit2
a_ranggadhia : betah banget sii di kantor
seno471 : hehehe…betah dong. Kan biar cepet pindah
a_ranggadhia: dasar aneh. apa c yg dicari senoo...
a_ranggadhia : ngantor bae..
seno471 : apa sih yang dicari Arinn?
seno471 : hari libur masih kerja?
a_ranggadhia : rese luu. ya itu krn tanggung jawab gue
seno471 : nah lw sendiri juga
a_ranggadhia : hari biasa kan gw suka libur seno...
a_ranggadhia : lah elu..tiap hari kaga ada bosennya
seno471 : jadi, kapan mau ke rumah gw?
seno471 : warung buat nyokap gue udah jadi tuh. Elu wajib jadi kasir. Minimal sehari.
a_ranggadhia : ah elu aja minggu kerja
a_ranggadhia : wkwkwkwk
a_ranggadhia : gw krumahlu bisa2 melongo doank
seno471 : hahahaha…jadi, elu dateng pagi2, trus jagain warung nyokap gue sambil nunggu gue pulang
a_ranggadhia : tega banget lu…
seno471 : iya dong. Kapan lagi coba presdir jagain warung. Naik level dikit lah warung gue..
a_ranggadhia : dasar edan. Ya udah, ntar aja gue ke warung lu. Kalo elu libur ya. Ngga apa2 deh gw jadi kasir.
Seno471 : mudah-mudahan sempet yee..
***

Malam itu….10 Agustus 2010, selepas maghrib aku menerima sms dari Putri. Sms yang berisikan kalau Seno sudah meninggal. Aku mendengus. Dasar Seno kurang kerjaan. Nggak bosan-bosannya dia meledekku seperti ini. Mmm..ini hari Selasa. Lusa sudah puasa. Orang-orang mengirimkan sms permohonan maaf, ehhh ini malah bikin lelucon. Pake acara meninggal segala. Nyuruh Putri lagi. Entah apalagi keisengannya besok. Kayaknya smsnya ganti deh. Bangkit dari liang kubur?

Bodo amat ah. Kuacuhkan sms itu, lalu kulanjutkan pekerjaanku. Aku memang sedang dikejar deadline sebelum puasa. Aku ingin cepat-cepat menyelesaikannya karena hari ketiga bulan Ramadhan ini, Bang Raka kembali ke Indonesia. Aku ingin menjemputnya di Bandara tanpa terbebani dengan rutinitas kantor.

Malamnya….aku baru selesai bekerja jam 1 malam. Ufff…ngantuk sekali rasanya. Setelah shalat tahajud, aku bersiap tidur. Terpikir lagi sms dari Putri tadi. Aku bales apa yaa?? Tanganku sudah gatal ingin membalas kejahilan Seno. Ah tapi besok aja deh. Kan masih banyak waktu.

Namun malam itu aku tidak tenang. Aku bermimpi…Seno pergi naik kereta kencana.
“Seno…lu mau kemana???”
Kataku lalu berlari mengejarnya.
Dia hanya tersenyum, lalu melambaikan tangannya padaku.
“Seno tunggu…gue ikutttt!!!!” teriakku. Sampai lelah aku mengejarnya, tidak juga bisa kuraih tangan Seno. Sementara itu, berkali-kali Seno mengisyaratkan agar aku tidak mengejarnya. Seno menggeleng, lalu menyunggingkan senyum tulusnya. Bukan senyum “ngece” seperti yang biasanya dia tunjukkan kepadaku.
“Seno…kalo elu pergi…gue sama siapa???” teriakku.
Tapi Seno hanya membalasnya dengan senyum, dan (lagi-lagi) dengan isyarat menyuruhku untuk tetap tinggal ditempat.

Paginya…aku terbangun dengan berlinang airmata. Astaghfirullahaladzim…aku mimpi. Nyata sekali tadi…Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari keburukan mimpi tersebut. Naudzubillahi min dzalik.
Seno ngapain sih? Kok pake acara pergi segala. Mana aku ditinggalin lagi. Jahat banget…aduh…ulu hatiku tiba-tiba nyerii sekali. Astaghfirullah…sakittt…ini pasti karena semalam aku minum kopi. 

Dua hari kemudian….Kutelepon Seno. Tidak aktif. Kunyalakan yahoo messengerku. Seno tidak online..aduh…Seno kemana sih? Kan ini udah masuk bulan puasa…masa dia nggak minta maaf ke aku? Biasanya kan kita maaf-maafan, ngucapin met puasa, janjian buka bersama. Tapi ini kok ngga ada yaa?? Jangan-jangan…Ulu hatiku kembali nyeri.

“buzz…”
Tiba-tiba Putri nongol di Ymku.
“Mbak…udah tau kabar tentang Seno?”
“Kabar apa Put?”
“Mbak udah nerima sms Putri?”
“Oooh sms yang itu. Udah. Emangnya Putri diapain sama Seno kok sampe segitunya? Seno yang nyuruh ya?”
“Nggak. Ya udah…nggak apa-apa…”
Kok Putri aneh yaa…akhirnya kutelepon dia.
“Seno udah nggak ada Mbak…”
“Putri jangan bercanda deh. Aku nggak suka.”
Tapi kudengar Putri terisak diseberang sana.
“Put, maksudnya apa sih kalian berdua? Bikin aku deg-degan aja.” Tegurku.
“Mbak…Aa udah ngga ada…dua hari yang lalu Aa pergi ninggalin kita…”
aku hanya bisa tertegun, mencerna kata-kata Putri. Hingga akhirnya aku bisa kembali ke dunia nyata.
“Nggak mungkin! Ini nggak mungkin!” kataku lalu menangis sejadi-jadinya. 
Aku hampir melupakan, kalau aku bersikap seperti ini, Putri akan makin terguncang. 
Tapi aku juga tidak bisa terima kalau tiba-tiba sahabatku pergi. Ini nggak mungkin…baru kemarin dia ngobrol denganku…

seno471 : hahahaha…jadi, elu dateng pagi2, trus jagain warung nyokap gue sambil nunggu gue pulang
a_ranggadhia : tega banget lu…
seno471 : iya dong. Kapan lagi coba presdir jagain warung. Naik level dikit lah warung gue..
a_ranggadhia : dasar edan. Ya udah, ntar aja gue ke warung lu. Kalo elu libur ya. Ngga apa2 deh gw jadi kasir.
Seno471 : mudah-mudahan sempet yee..


Sungguh aku tidak menyangka….itulah kenangan terakhirku bersama Seno. Dua hari sebelum kepergiannya…
 
“Yang sabar ya Mbak…Aa udah pergi…”
“Seno masih ada Put. Masih ada…” sangkalku. 
Tapi teringat mimpi itu…
di malam kepergiannya.
Apakah itu bentuk pamitnya padaku?
 
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun…
Ya Allah…kenapa kau panggil dia begitu cepat? Kenapa Ya Allah, orang sebaik dia harus pergi mendahului kami.
“Istighfar Mbak…istighfar…”
“Put, Seno Cuma pindah. Dia nggak pernah pergi. Dia nggak boleh pergi. Kemarin dia bilang ke aku kalau dia mau pindah.”
“Iya Mbak, Aa pindah, ke tempat yang lebih nyaman. InsyaAllah…”
Amin Put…


Ya Allah, di bulan Ramadhan ini aku kehilangan sahabatku. Sahabat yang paling kusayangi. Sahabat yang paling dekat dan mengerti aku. Engkau mengambilnya dariku Ya Allah…engkau mengambilnya…

Tapi aku yakin…engkau mengambil, pasti engkau akan memberi hikmah dibalik semua ini. Hikmah yang sungguh indah. Seperti kepergian Seno yang juga indah dan tidak menyusahkan... 
Sikap-sikap anehnya beberapa bulan terakhir ini…ternyata adalah refleksi dari hatinya yang gundah. Dia tidak memberitahu siapapun tentang penyakitnya. Pendarahan otak. Itu yang merenggutnya dariku. Putri bilang Seno sudah lama mengidap penyakit di kepalanya. Tapi dia tidak ingin membuat orang lain sedih dengan sakitnya. Aku, sebagai salah satu orang terdekatnya pun tidak peka. Kalau sebenarnya, dalam setiap obrolan kami beberapa bulan terakhir ini Seno memberikan isyarat kalau dia akan pergi. Soal dia yang kurang memperhatikan Putri…karena dia bilang aku akan mengerti tanpa dia bicara. Aku memang akhirnya mengerti. Tapi aku terlambat untuk mengerti. Soal warung itu…Soal anak-anak dan janda-janda itu…Ya Allah…sungguh dia telah memberikan isyarat. Karena dia merasa, sudah dekat waktu Kau memanggilnya.

Kau sahabat, Kau teman
Telah tiba saat waktu kau tinggalkan kami
Kerana takdir yang Maha Esa telah menetapkan
Sedih rasanya hati ini bila mengenangkan
Kau sahabatku kau teman sejati

Tulus ikhlasmu luhur budimu bagai tiada pengganti
Senyum tawamu juga katamu menghiburkan kami
Memori indah kita bersama terus bersemadi
Kau sahabatku kau teman sejati

Sudah ditakdirkan kau pergi dulu
Di saat kau masih diperlukan
Tuhan lebih menyayangi dirimu
Ku pasrah diatas kehendak yang Esa

Ya Allah,tempatkannya di tempat yang mulia
Tempat yang kau janjikan nikmat untuk hamba Mu
Sahabatku akan ku teruskan perjuangan ini
Walau ku tahu kau tiada di sisi
Perjuangan kita masih jauh beribu batu
Selagi roh masih di jasad hidup diteruskan
Sedih rasa hati ini mengenangkan dikau
Bagai semalam kau bersama kami

Moga amanlah dan bahagia dikau di sana
Setangkai doa juga Fatehah terus kukirimkan
Moga di sana kau bersama para solehin
Ku sahabatku kau teman sejati

Seno mengajarkanku banyak hal. Kesabaran, ketulusan, dan arti kata ikhlas sebenarnya. Seno tidak perlu mengenyam bangku pesantren untuk menguasai ketiga ilmu itu. Dia berlaku dan bertindak seperti namanya…Arif. Bagiku, Seno adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya. Dan sampai kapanpun, posisi Seno takkan terganti di hatiku. Tidak akan pernah. Terima kasih Seno…melalui engkau, Allah menyampaikan padaku arti sebuah kesetiaan, kerendahan hati, dan makna kehidupan yang bermanfaat buat sesama. InsyaAllah akan kuteruskan perjuangan ini…Selamat jalan sahabatku, kenangan tentangmu akan terus melekat dalam hatiku seumur hidup. Maafkan aku yang tak ada disisimu dikala kau susah…maafkan aku. Sekarang kau telah tenang disana…sesuai dengan keinginanmu…datang dalam diam, pergipun dalam diam.

Bandung, Agustus 2010
Arum Silviani



[1] Semoga kesejahteraan tercurah atas kalian wahai para penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan kaum muslimin. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah keselamatan untuk kami dan untuk kalian(HR. Muslim)