Search This Blog

Monday, August 26, 2013

Berburu Rujak Ulek di tepi Pantai Natsepa


Saat saya berkunjung ke Ambon beberapa waktu lalu, seorang kolega mengirimkan sms yang berisi, “Jangan lupa coba rujak ulek Pantai Natsepa. Sungguh tiada duanya.” Berbekal rasa penasaran, Sore itu saya bersama rekan-rekan dan kolega langsung menuju ke Pantai Natsepa. Konon katanya, pantai ini sangatlah indah. Maka dimulailah petualangan kami.

Pantai Natsepa berjarak kurang lebih 18 km dari pusat kota Ambon, atau bisa ditempuh dengan kendaraan darat kurang lebih 30 menit. Dalam perjalanan kami banyak menemukan penduduk setempat yang menjual hasil buminya di pinggir jalan, antara lain singkong, ubi merah, pisang, jambu bol, juga aneka buah yang saya tidak tahu namanya. Kendaraan terus melaju, hingga kami sampai ke kawasan wisata Pantai Natsepa. Saat itu keadaan pantai tidak begitu ramai, mungkin karena bulan puasa, dan sudah terlalu sore. Bau laut yang khas seketika menyergap hidung saya, membuat saya ingin menghirup nafas dalam-dalam, menikmati sensasi kesegaran udara sembari menatap riak air laut yang membiru, memantulkan biru langit Ambon yang bersih. Pegunungan hijau di seberang laut menambah anggunnya pantai ini.

Berpose di Gerbang Pantai Natsepa
Penjual rujak di Pantai Natsepa
Membuat Bumbu Rujak
Sepanjang pantai, banyak kios yang berjajar. Hampir semua berjualan rujak. Makanan khas Pantai Natsepa yang tersohor karena keunikan dan kelezatannya itu. Kios pedagang rujak disini tertata rapi, dan semua pedagangnya ibu-ibu! Mereka biasa dipanggil Mama. Saya menghampiri satu kios Mama yang paling ramah, memesan satu porsi rujak. Dengan cekatan Mama meracik bumbu rujak untuk saya. Awalnya, saya merasa rujak ini sama saja dengan rujak di daerah lain. Terdiri dari potongan buah mangga, jambu, nanas, dan timun yang dicampur dengan bumbu kacang. Tapi tunggu dulu...ada satu bumbu rahasia. Mama memasukkan tomi-tomi, atau anggur Ambon pada bumbunya. Uniknya lagi, bumbu kacang ini tidak diulek halus. Potongan kacang yang masih kasar justru memberikan sensasi sendiri saat mengunyah Rujak Natsepa. Saat saya mencobanya...hmm...pantaslah orang bilang, “Belum ke Natsepa jika belum makan rujaknya.” Dan saya harus mengakui, rujak ini memiliki citarasa yang luar biasa lezat, dan sungguh tiada duanya.


Tahu Gejrot, Si pedas manis dari Cirebon

Kota Cirebon tidak hanya terkenal dengan empal gentong dan batik mega mendungnya. Kuliner yang satu ini juga tak kalah populer, bahkan sampai keluar kota Cirebon. Apalagi kalau bukan Tahu Gejrot. Berbahan utama tahu pong, yaitu jenis tahu yang dalamnya kosong dan rasanya cenderung tawar, juga mudah menyerap kuah. Hal ini yang membedakan tahu gejrot dengan tahu sumedang, tahu petis, atau jenis tahu yang lainnya. 

Tahu Gejrot Cirebon
Penyajiannya tak lepas dari kuah gula merah yang dibubuhi rendosan cabe rawit dan bawang merah, juga sedikit garam. Dinamakan “Gejrot” karena berasal dari istilah bahasa Sunda ketika kuah terciprat saat tahu diulek dalam cobek. Rasanya khas. Perpaduan antara rasa manis, asin, pedas, dan gurih kuahnya yang menyerap ke dalam tahu.

Tahu Gejrot nikmat dikonsumsi sebagai makanan pembuka, camilan, atau sekedar teman jalan-jalan sore. Anda tidak usah khawatir jika sulit menemukan penjual kuliner ini. Tahu Gejrot sangat mudah dibuat sendiri di rumah. Siapkan saja tahu pong, goreng hingga kering, lalu potong melintang sehingga membentuk segitiga. Setelah itu panaskan air, masukkan gula merah dan garam secukupnya. Sementara menunggu kuahnya mendidih, siapkan bawang merah dan cabe rawit, lalu ulek kasar. Setelah kuah siap, siramkan ke dalam tahu, lalu taburkan bawang merah dan cabe rawit yang telah diulek tadi ke atasnya. Mudah, bukan?

Saturday, August 17, 2013

Berkibarlah Merah Putihku





Masih ingat lagu itu?

Lagu yang membakar semangat, terutama buat kita para generasi muda Indonesia. Lagu ini diciptakan oleh Gombloh, dan pertama kali dinyanyikan oleh artis-artis musica pada tahun 1995. Tepat pada peringatan 50 tahun Kemerdekaan Indonesia. Saat itu saya masih kecil. Masih senang mainan petak umpet, petak jongkok, galahsin, egrang, dan muter-muter nyari sawah di Jakarta. Tapi setiap RCTI memutarkan video klip lagu itu, saya bakalan meninggalkan teman-teman sepermainan saya, dan cepat pulang kerumah. Saya tak peduli ketika seluruh teman SD mengolok-olok saya “sok cinta Indonesia”. Sungguh saya tak peduli. Karena saya sungguh-sungguh mencintai negeri ini.



Saking merasuknya lagu itu dalam hati, saya sampai berpedoman kalau sudah besar nanti, saya harus bisa mengamalkan isi syairnya. Demi merah putih, mari kita berusaha keras dalam bekerja. Karena menurut saya, satu generasi muda yang bekerja keras, jauh lebih baik daripada sepuluh senior yang pemalas dan suka mengeluh. Satu Guru tamatan SD di pedalaman jauh lebih berguna daripada SARJANA cumlaude yang pengangguran di kota Besar. Mari berusaha agar Jiwa dan Raga ini selaras dengan keanggunan khas Bangsa Indonesia. Bukan keanggunan dalam hal kecantikan diri, namun keanggunan dalam bersikap.



Kesantunan dan keramahan yang dibalut kejujuran dan integritas tentunya akan membuat bangsa lain segan pada kita.



Mari selalu berusaha agar jemari ini senantiasa menuliskan kharisma Indonesia tercinta dalam setiap kesempatan. Jika tak mampu melakukan sesuatu yang besar, minimal dengan tulisan kita bisa memberitahukan pada dunia tentang sisi Indonesia yang indah, yang unik budayanya, yang ramah masyarakatnya, yang eksotis alamnya, yang mengagumkan lautnya, yang memesona gunungnya, dan lepas dari segala sesuatu berbau politik di luar sana. Tak lupa, kita tampik segala pengaruh buruk dengan perisai IDEOLOGI PANCASILA.



Saya tak peduli dengan golongan yang mengecam buruknya pemerintahan negeri ini. Bukan karena saat ini saya bekerja untuk pemerintah, bukan sama sekali. Melainkan karena kebencian saya dengan TONG KOSONG NYARING BUNYINYA! Berkoar namun tak berbuat. Mencaci tapi ungkang-ungkang kaki. Mari kita konsisten agar kepal tangan ini menunaikan kewajiban sebagai putra dan putri bangsa. Kita lakukan apa yang bisa kita lakukan. Kita lakukan yang terbaik. Kita bantu apa yang bisa kita bantu. Kita permudah urusan yang bisa kita mudahkan. Kita sebarkan ilmu yang kita punya. Walaupun ilmu ini tak banyak, namun demi Tuhan, saya yakin ilmu tersebut akan dapat memberikan sesuatu yang berarti kelak. Tidak hanya untuk kita, tapi demi persatuan dan kesatuan Indonesia. Seperti filosofi pasir. Jika mereka sendiri, maka tak berarti. Jika mereka bersatu, maka pondasi yang kokoh pun akan berdiri.



Selamat ulang tahun negeriku. Usiamu memang belum setua negara-negara adidaya. Namun hingga saat ini kau selalu kubanggakan. Karena aku tahu, dengan luasnya wilayahmu, maka butuh waktu untuk menjadikanmu terintegrasi satu sama lain. Terperhatikan satu sama lain.

Tak peduli bagaimana orang mencacimu, kau tetap Indonesiaku. Yang senantiasa akan kujaga, kulindungi, dan kupromosikan sekuat aku mampu. Aku percaya kharismamu akan kembali menyatukan seluruh rakyat dalam naungan Merah Putih.



Dirgayahu Republik Indonesia,
MERDEKA!

Friday, August 16, 2013

Gadget's Block


Istilah ini saya bikin sendiri. Biasanya kan orang kena writer’s block tuh, suatu keadaan dimana seorang penulis kehilangan inspirasi, dan nggak bisa nulis apa-apa. Kalau saya jarang banget mengalami writer’s block. Saya bukan tipically orang yang bingung harus menuliskan apa. Karena setiap kejadian yang saya alami bisa jadi tulisan. Seperti halnya ngobrol yang bisa dilakukan dimana saja, saya pun bisa nulis dengan asyik di rumah, di jalan, di kantor, di mall, di emperan jalan, di kereta, di pesawat, di mobil, asalkan nggak lagi nyetir. Nah, kalau Gadget’s block, sering banget!!! sebagai orang yang bekerja dengan mengandalkan koneksi internet, keadaan ini memang tidak bagus. Namun seringkali, kita perlu “mengistirahatkan” gadget kita supaya kita punya waktu buat diri sendiri, dan buat keluarga tentunya. Setiap menit, bahkan setiap detik, selalu saja ada notifikasi email masuk. WhatsApp, Line, Instagram, Path, Facebook, Goodsreads, dan beberapa forum yang saya ikuti mengantarkan saya ke titik jenuh. Sehingga berujung pada keputusan blocking the gadget’s. Baik itu Tablet PC, maupun handphone. Ditambah lagi, komputer. Sebagai gantinya, saya menikmati menulis di atas kertas. Mengasah kemampuan menulis indah (banyak orang yang tulisannya jadi tambah jelek akibat keseringan ngetik di komputer, tab, atau HP). Membaca buku, menikmati setiap lembarnya, dan untuk memperoleh berita, saya baca majalah, surat kabar, dan tabloid dalam bentuk cetak. Saya sungguh-sungguh menikmatinya.

Saya sadar perbuatan saya merugikan orang lain. Bahkan bisa merugikan bisnis saya atau kerjaan saya. Tapi jika saya tidak melakukan blocking tersebut, saya seringkali terlena. Kejenuhan terus bertumpuk hingga mencapai titik kulminasi. Imbasnya, jadi wasting time dan produktivitas menurun. Bahayanya, kalau sampai kena writer’s block. Ya. Disadari maupun tidak, saking terbukanya komunikasi dan informasi justru bisa bikin kita nggak bisa nulis apa-apa. Nggak bisa mengeluarkan ide kreatif, dan nggak bisa beranjak dari depan meja komputer. Kita terpenjara dalam terali yang kita ciptakan sendiri. Bahkan jangan-jangan, saking seringnya berkomunikasi dengan media internet dan telepon, lama-lama kita kehilangan kepekaan terhadap bahasa tubuh seseorang. Semakin autis, nggak pedulian, dan nggak ambil pusing. Toh teman bisa dicari dari seluruh dunia, lewat media sosial tentunya. Padahal sejatinya, kita hidup dalam dunia Nyata. Kalau misalkan *amit-amit, anda sakit, tapi nggak ada orang selain komputer. Anda hanya bisa ngetik di whatsApp, line, atau pasang status di facebook dan twiter “Tolong, Gue sakit.”

Percayalah. Jawaban teman-teman anda pastilah, “Sakit apa?” --> Anda : lah malah balik nanya. Ngetik aja susah, suruh jawab pertanyaan lagi.
Atau kata-kata simpatik seperti, “Cepet sembuh yaa...” 
“Get well Soon..” 
atau yang parah, “Kenapa lo? Tumben bisa sakit.”

Iya kalau salah satu dari mereka datang dan langsung menolong. Kalau nggak? Kemanakah anda akan pergi?

Sunday, August 11, 2013

Sasando, Dawai Cinta dari Nusa Bunga

Replika Sasando di Lobby Hotel Sasando Kupang
Pertama kali saya ke Kupang tahun 2010, saya sudah mengagumi alat musik tradisional yang satu ini. Bentuknya unik, dan suara yang dihasilkan pun unik. Sasando adalah sebuah alat instrumen musik yang dimainkan dengan cara dipetik. Instrumen ini berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur atau dijuluki sebagai Nusa Bunga. Dalam bahasa Rote, Sasando disebut Sasandu. Artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Bentuk Sasando mirip dengan gitar, biola, dan kecapi. Saya pribadi lebih setuju jika alat musik ini mirip harpa. Bagian utama Sasando berbentuk tabung yang terbuat dari bambu. Pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi penyangga atau dalam bahasa Rote disebut Senda, yang berfungsi untuk merentangkan dawai-dawai. Senda ini menghasilkan nada yang berbeda-beda pada setiap petikan dawai.

Setelah “tabung berdawai” jadi, selanjutnya diberikan wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar atau siwalan yang dibuat menyerupai kipas. Wadah inilah yang berfungsi sebagai resonansi alat musik Sasando. Saat dimainkan, Sasando mengeluarkan bunyi mirip seperti gitar, namun lebih khas dan lebih bening.

Saat ini Sasando justru populer sebagai alat musik khas Kupang. Pada Sail Komodo yang berlangsung pada Juli 2013, Sasando turut diperkenalkan pada dunia. Salah satu desa pembuat alat musik Sasando terletak di Desa Oebelo, Kupang. Desa ini hanya berjarak kurang lebih 10 km dari pusat Kota Kupang. Jadi, jika sahabat pecinta Indonesia berkunjung ke Kupang, anda bisa mendatangi tempat ini untuk sekedar melihat pembuatan alat musik Sasando, atau membelinya sebagai buah tangan. Jika anda menginginkan untuk dapat memainkan alat musik ini, maka anda pun dapat mengikuti kursus singkat yang diberikan oleh para pembuat Sasando. Menarik bukan?
 

“Maimo Kumolintang”, Alunan Merdu Tong Ting Tang dari Minahasa

Kolintang Minahasa
Pada episode sebelumnya saya menuliskan keindahan Minahasa dan Tomohon dalam balutan panoramanya, kali ini saya ingin bercerita tentang keindahan alunan musiknya. Sebut Saja Kolintang. Alat musik tradisional yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Jangan keliru menyebutkannya sebagai Kulintang. Karena beda sebutan, beda alat musiknya. Berdasarkan sejarah tentang alat musik Kolintang yang saya peroleh dari berbagai sumber, Kolintang Minahasa terbuat dari kayu yang jika dipukul dapat mengeluarkan bunyi yang cukup panjang dan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah. Jenis kayu yang dipilih adalah kayu yang agak ringan, namun padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar. Antara lain kayu kakinik, kayu telur, wenang, bandaran, atau sejenisnya. 

Kata Kolintang sendiri berasal dari bunyi : Tong (Nada Rendah), Ting (Nada Tinggi) dan Tang (Nada Tengah). Orang Minahasa biasa bilang “Maimo Kumolintang” yang artinya mengajak orang lain bermain Kolintang. Jika dimainkan satu nada, bunyinya bening, hampir mirip piano. Namun jika dimainkan satu set secara lengkap, harmonisasi Kolintang ini mirip-mirip Angklung. Bahkan kini, Kolintang sudah banyak dikolaborasikan dengan alat musik modern dan mengiringi lagu-lagu hits kontemporer. Percayalah, musik Indonesia memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Karena bahasa musik adalah universal, maka tentunya tidak salah jika kita berbangga, musik tradisional Indonesia, memang juaranya.

Saung Angklung Udjo, Melodi Indah dari Ranah Sunda

Konser Pembukaan


Kalau bicara soal alat musik tradisional, Indonesia juaranya. Meskipun belum ada yang menyatakan secara pasti berapa jumlah alat musik tradisional di bumi Merah Putih, namun kita pantaslah bangga dengan keragaman musikalitas negeri sendiri. Salah satunya Angklung, alat musik tradisional dari Jawa Barat yang mendunia. Pada tahun 2010, UNESCO mengukuhkan Angklung sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia. Salah satu tempat yang menjadi pusat pengembangan dan pelestarian Angklung adalah Saung Angklung Udjo, yang terletak di Jl. Padasuka No. 118 Bandung. Tempatnya sangat khas dengan ornamen serba bambu, juga hutan bambu yang sangat terawat. Sejuk. Itu kesan pertama yang saya tangkap dari Saung ini. Deretan Angklung tertata rapi, bahkan ada toko souvenir khusus yang menjual cenderamata khas Jawa Barat.

Angklung adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dapat mengeluarkan suara dan irama yang khas. Angklung merupakan gabungan dari beberapa instrumen yang terdiri dari pipa bambu dengan ukuran yang berbeda-beda dan ditempatkan di suatu bingkai yang kecil. Untuk memainkannya, cukup Angklung tersebut diguncangkan hingga mengeluarkan bunyi. Di Saung Angklung Udjo, sahabat pecinta Indonesia dapat menyaksikan pertunjukan Angklung yang tak biasa. Disini Angklung disajikan secara modern, meskipun tetap menonjolkan sisi tradisionalnya. Salah satu contohnya adalah menggabungkan Angklung dengan musik Jazz. Awalnya saya sempat ragu apakah akan tercipta melodi yang bagus. Namun ternyata, setelah dipentaskan oleh para “musisi”, terciptalah harmonisasi yang menakjubkan. Uniknya, hal itu tercipta dari batang bambu!

Pementasan anak-anak binaan Saung Angklung Udjo

Setelah menikmati suguhan musik Angklung modern, saya dikejutkan dengan puluhan anak kecil yang memasuki panggung pementasan. Saya kira mereka hanya ingin menyambut kedatangan kami, mengingat usia mereka berkisar antara empat sampai sepuluh tahun. Namun ternyata, tangan-tangan mungil itu mahir memainkan angklung tersebut, bahkan sambil melenggak-lenggokkan badannya. Saat MC menjelaskan, barulah saya ketahui bahwa anak-anak di depan saya adalah penduduk setempat binaan Saung Angklung Udjo untuk melestarikan budaya Angklung. Selain pertunjukan Angklung, pengunjung juga disuguhi wayang golek singkat, tari topeng, dan praktik memainkan Angklung. Hal ini yang paling seru. Masing-masing pengunjung diberikan satu buah Angklung yang ditandai dengan nomor. Nomor ini adalah tangga nada. Kebetulan saya pegang nomor 4. Sehingga jika MC memberikan tanda angka 4, maka saya dan semua pemegang Angklung nomor 4 harus membunyikan Angklung tersebut. Sungguh bangga rasanya, ketika sekitar dua ratus orang pengunjung yang memainkan Angklung secara bersamaan, dapat membentuk harmonisasi sehingga terdengar lagu Bunda, ciptaan Melly Goeslow. Meskipun harmonisasi kami masih belepotan, tapi kami bahagia. Saya jadi menghubungkan Angklung dengan perjuangan bangsa Indonesia demi mencapai kemerdekaan. Dulu, para penjuang kita pun bersatu sehingga bisa berpadu menjadi kekuatan yang tak terkalahkan. Sama seperti Angklung. Jika dibunyikan sendiri akan terasa biasa saja. Namun jika dibunyikan bersama-sama, maka yang tercipta adalah melodi indah dari ranah Sunda.

Tips :
  1. Jangan lupa booking terlebih dahulu untuk dapat menyaksikan pementasan Angklung Udjo. Anda dapat menghubungi Nomor Telepon : +62 22 727 1714, +62 22 710 1736.
  2. Jika anda ingin mencapai Saung Angklung Udjo dari Arah Jakarta, Setelah Tol Pasteur anda bisa lurus ke Jalan Surapati. Sebelum terminal Cicaheum perhatikan sebelah kiri jalan dan petunjuk masuk Jalan Padasuka. Dari Jalan utama menuju Saung Angklung Udjo kurang lebih 500 meter, sebelah kanan jalan.
  3. Jangan lupa request ke MC untuk menyampaikan penjelasan dalam Bahasa Inggris jika anda datang bersama turis asing.