Search This Blog

Sunday, May 26, 2013

Langkah pertama di Banjarbaru

Kalau tulisan sebelumnya membahas tentang Indonesia Timur, kali ini saya akan menorehkan catatan perjalanan saya mengelilingi Kalimantan Selatan. Ya. Kalimantan Selatan, Provinsi penghasil emas hitam, Emas, Intan, Permata, dan batu-batu berharga lainnya.

Berawal dari sebuah pekerjaan mengenai Listrik Pedesaan dari PT. Surveyor Indonesia yang bekerjasama dengan PT. PLN Persero Wilayah Kalselteng, maka saya menginjakkan kaki kemari. Kalau perjalanan sebelumnya saya selalu "ala Koper" kali ini semua perjalanan saya adalah "ala Ransel". Kalau biasanya saya selalu menikmati fasilitas serba ada dan terbaik, kali ini saya full dengan keterbatasan. Saya benar-benar merasakan harus turun ke hutan, mengarungi sungai Barito, bahkan bertarung dengan maut di pedalaman Kalimantan Selatan.

Baiklah, awal mula perjalanan saya adalah ke Banjarbaru. Sebuah Kota di Kalimantan Selatan, yang sebentar lagi akan menggantikan Banjarmasin sebagai ibukota Kalimantan Selatan. Di Banjarbaru ini suasananya hampir mirip dengan di Bandung. Suasana lho ya, bukan iklim. Kenapa? Karena disini banyak sekali orang Sunda. Jajaran pedagang Siomay, Batagor, Bakso, Mie Ayam, sampai yang punya laundry dan tukang pulsa, semuanya orang Sunda. Rata-rata berasal dari Garut, Tasikmalaya, Bandung, Lembang, Cianjur, Purwakarta, dan tanah Sunda lainnya. Seru kan? Jauh-jauh saya ke Kalimantan, saya masih bisa menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi. 

Saya menggunakan penerbangan langsung dari Bandung ke Banjarmasin dengan Lion Air. Pesawatnya baru, sehingga masih sangat nyaman. Meskipun tidak mendapatkan pelayanan sekelas Garuda Indonesia, tapi menurut saya pesawat ini memenuhi standar pelayanan minimal. Kabinnya nyaman, dengan interior yang menawan dan jarak antar kursi yang luas. Cukup leluasa untuk saya selonjoran. Kursinya juga empuk, jadi berasa di pesawat. Berbeda dengan pesawat Lion Air yang pernah saya naiki sebelumnya. Kursinya keras banget. Jadi seperti naik metromini jurusan Blok-M Tanah Abang :D

Pesawat mendarat jam 19.30 WITA di Bandara Syamsudin Noor. Sedikit terlambat dari jadwal semula gara-gara ada penumpang yang salah naik pesawat. Harusnya ke Banjarmasin, dia malah nangkring di pesawat tujuan Surabaya. Maklum sih...di Bandara Husein Sastranegara nggak jelas gitu petunjuknya. Nggak ada plang yang jelas kayak di Soekarno Hatta. Jam penerbangan pesawat berdekatan, tapi gate cuma satu. Kebayang kan, penuhnya kayak apa? Baru dua bulan nggak terbang lewat Bandung, eh...tau-tau boarding roomnya sudah kayak ikan sarden.  Satu-satunya yang harus kita dengarkan adalah Mas dan Mbak pengarah jalan. Dia akan berteriak, "Banjarmasin!" "Surabaya!" Tapi namanya orang teriak di landasan tanpa pengeras suara, sekeras apapun dia berteriak kan hilang terbawa angin suaranya. Pokoknya saya sampai kasihan sama mas-mas dan mbaknya. Mana penumpangnya bandel-bandel lagi. 

Saya dijemput Mas Ote dan Zhed (Seorang pria narsis, iconnya PT. Surveyor Indonesia Banjarbaru). Aduh kalau sudah ngobrol sama Zhed, nggak nahan deh. Adaaa aja celetukannya yang bikin kita ngakak. Kami makan malam di Rumah Makan Padang Sederhana. Karena rasanya itu yang masih buka dan menunya masih lengkap. Setelah itu kami diantar ke Riyadh Guesthouse yang beralamat di Komp. Citra Megah Raya blok B 34-35. Kalau ke Banjarbaru, gampang kok menemukan alamat Riyadh. Guesthouse ini nyaman banget. Meskipun pemiliknya mengatakan Riyadh adalah sebuah Guesthouse, Tapi fasilitas kamarnya kayak hotel bintang 3. Lebih rapi malah. Pelayanannya bagus, Bersih, dan desain interiornya keren. Usut punya usut, ternyata adiknya yang punya adalah seorang arsitek. Hmm...pantesan...untuk ukuran sebuah Guesthouse desainnya jauh berbeda dari Guesthouse yang pernah saya singgahi di Solo dulu. Sayang saya lupa nggak ngambil gambar Guesthouse ini. Oh iya, rate per malamnya saya kena IDR 320 ribu.
Simpang 4 Banjarbaru

Setelah istirahat satu malam di Riyadh, pagi hari saya dan tim menuju ke kantor pusat PT. PLN (Persero) Wilayah Kalselteng. Hanya berjarak tak kurang dari 1 km dari Riyadh Guesthouse. Waah..Enaknya di Banjarbaru tuh nggak ada macet. Hal itu yang selalu saya rindukan. Tata kotanya teratur, bersih, dan udaranya juga belum kena polusi seperti di Banjarmasin. Menurut saya, Banjarbaru adalah Kota yang nyaman untuk tempat tinggal. 

Di kantor PLN saya berkenalan dengan anggota tim lainnya, dan diputuskan bahwa saya akan terjun langsung untuk melihat keadaan di lapangan. Khususnya desa belum berlistrik, dan desa yang rasio elektrifikasinya masih kecil. Saya nggak kaget, karena sebelumnya saya pernah ke Cianjur Selatan untuk pekerjaan yang tak jauh berbeda. Medan yang berat sudah terbayangkan oleh saya. Paling berat lainnya adalah saya nggak ngerti apa-apa soal listrik. Padahal saya harus berkutat dengan jaringan. Hahaha...parah ya? 
Tapi saya dilatih langsung sama Pak Nesyandri Kahar. Biasanya beliau yang kasih pelatihan buat orang-orang PLN. Dan saya, dikasih penataran singkat soal Single Line Diagram, Grid and isolated system, tiang Tegangan Rendah, Tegangan Menengah, Tegangan Tinggi, Trafo, dan lain sebagainya. Lumayan, bikin saya pede kalau saya lagi ngobrol sama orang PLN :D (Padahal belajarnya juga baru-san).

Selesai meeting dengan tim PLN, Pak Nes nyariin saya tempat Kost. Karena saya akan bertugas selama kurang lebih satu bulan full. Dan...ketemulah satu tempat kost yang nyaman. Fasilitas lengkap, dan bapak dan ibunya baikkk banget. Pak Lazuardi namanya. Nah, ini penampakan kosan saya :

Dengan harga sewa kamar IDR 1,250 juta/bulan, saya dapat fasilitas lumayan lengkap. Ada kamar mandi dalam, AC, kasur spring bed, lemari, meja belajar, washtafel dan lobby (Bahasa keren buat ruang tamu). Jadi berasa kayak di rumah sendiri. Asyik lah buat istirahat. Cari makan juga gampang. Banyak penjual makanan di dekat tempat kost. Minimarket juga tinggal jalan sedikit ke depan. Tempat kost saya berada di Jalan Taruna Praja No. 11 (Kalau nggak salah) lupa-lupa inget soalnya. Tau nyampe aja :D. Salah satu makanan favorit saya di sekitar Taruna Praja: PENTOL. Namanya unik, ya? Sebenarnya Pentol adalah makanan khas Malang, Jawa Timur. Dibawa ke Kalsel juga sama orang Jatim. Saking banyak penggemarnya, akhirnya jadi makanan khas daerah Kalsel dehh...

Pentol

Pentol ini amat digemari di daerah Banjarbaru, Banjarmasin, bahkan sampai ke Marabahan. Kayaknya seluruh Kalsel kenal deh makanan ini. Kepopulerannya layak disamakan dengan Cilok di Bandung. Pentol sebenarnya adalah bakso. Namun orang Kalsel biasanya makan pentol dengan dicocol saus sambal dan sambal cabe. Kalau saya, memilih dikasih kuah. Harga satu porsi pentol ini IDR 7 ribu saja. Dijamin kenyang deh. Penampakan gambar di atas adalah versi sudah dimakan sama saya :D Saking seringnya saya beli pentol disini, Masnya sampai hafal sama saya. Dan kami biasanya ngomong pake bahasa Jawa. Menurut saya yang sudah mencoba pentol di Kalsel, saya menobatkan kalau Pentol Taruna Praja paling enak se-Kalsel. Hehehe...

Hari berikutnya, masih dalam rangka wisata kuliner (Kerjaan belum dimulai), saya bertiga dengan Pak Nes dan Mas Ote ke Banjarmasin. Saya lupa nama restaurantnya, tapi rasanya berada di Jalan Gatot Subroto. Menunya seafood dan beberapa makanan khas Banjar. Kami memesan 2 Es jeruk, juice alpukat, cah kangkung, dan 3 porsi ikan baronang bakar. Plus nasi putih tentu saja. Total harga makanan IDR 170 ribu saja.
Baronang Bakar
Cah Kangkung
Juice Alpukat

Soal rasa, dari skala 1-10, saya kasih nilai 7. Satu yang nyebelin, pesennya lamaaa...padahal perut sudah lapar berat. Mungkin karena kami pesannya bakar-bakar.

To be Continue, "Banjarmasin Second" with my team.







Friday, May 24, 2013

Menikmati Keindahan Benteng Tolukko dan Bella International Hotel Ternate

Benteng Tolukko


Sebelum masuk ke Benteng Tolukko, saya sempat ngobrol sama Zul tentang asal mula Benteng ini. Dia malah bilang, "Ini lho mbak, yang buat syuting sama Bambang Pamungkas waktu iklan K**u B**a E*e*g*. Hehe...saya juga baru "ngeh". Wajar sih, Benteng ini berdiri di atas bukit batuan beku yang memanjang ke arah barat laut tenggara. Letaknya menjorok ke laut dalam. Biru tua laut berpadu dengan birunya langit Ternate yang bersih. Hmm...nggak heran kenapa dulu Portugis bikin Benteng disini. Letaknya sangat strategis.
Benteng Tolukko dulunya bernama Benteng Santo Lucas. Benteng ini merupakan Benteng yang pertama dibuat di Ternate pada tahun 1512 oleh Fransisco Serraow, sebagai Benteng pertahanan oleh bangsa Portugis. Mereka datang menawarkan janji persahabatan dan perdagangan antarnegara. Lama-lama ngelunjak, ingin menguasai rempah-rempah milik masyarakat Ternate. Mereka membuat perjanjian monopoli terhadap perdagangan rempah-rempah tersebut. Tentu saja, perjanjian ini merugikan masyarakat Ternate yang harus menjual hasil buminya ke bangsa Portugis, dengan harga yang rendah. Hal ini menyulut kemarahan rakyat Ternate. 

Singkat cerita, Pada tahun 1661 Sultan Ternate Mandar Syah diberi ijin menempati Benteng Tolukko dengan personil sekitar 160 orang. Penyebutan Benteng Tolukko sendiri diberikan berdasarkan nama penguasa Ternate yang memerintah pada tahun 1692 (TOLUKKO).

Saat saya berkunjung ke tempat ini, keadaan sudah sepi. Mungkin karena sudah sore. Gerbang sudah ditutup dan dikunci. 


Masuk ke tempat ini gratis. Nggak tau tuh kalau misalkan kita boleh masuk ke dalam Benteng. Nggak ada tulisannya kita harus bayar berapa. Tapi yang pasti, tempat ini bersiiiih banget. Selesai berpose di Benteng Tolukko, saya memutuskan pulang ke Hotel. Shalat ashar, dzuhur, terus shalat maghrib. Jam 7 malam saya dijemput Zul buat makan malam. Kami memilih makan di pinggir laut, di kawasan Masjid Raya Ternate. Menunya, Coto Makassar. Sebenernya banyak sih makanan disitu, cuma rasanya Coto Makassar yang paling bisa diterima di lidah saya. Selesai makan, mampir ke pasar (Apa ya namanya? lupa). Saya beli perhiasan dari besi putih. Oleh-oleh khas Ternate. Saya kenal besi putih ini waktu saya berkunjung ke Ambon. Bentuk perhiasannya simpel, tapi berkesan elegan. Awet pula. Meskipun sering saya pakai waktu mandi, perhiasan dari besi putih ini nggak luntur warnanya.

Anyway...saya suka sama Ternate, cuma nggak suka sama biaya hidupnya yang super tinggi. Maklum sih, pulau ini kan terletak jauh dari gugusan pulau-pulau besar di Indonesia. Saya suka pemandangannya, saya suka pantainya, danaunya, Lautnya juga. Bersiih..perpaduan warna hijau dan biru tua. Kalau langit sih jangan ditanya. Keren banget. Beberapa foto saya ambil dari Balkon hotel yang menghadap ke Pulau Tidore dan Maitara:


Kalau yang di atas persis ini, fotonya diambil dari kamar saya, jam 7 pagi. Masih berkabut. Sedangkan dua foto di atasnya saya ambil dari balkon hotel, di lantai 2. Balkon ini memang diperuntukkan bagi pengunjung hotel yang hendak berfoto dengan pulau Tidore dan Maitara sebagai latar belakangnya. Saya sendiri puas ya dengan fasilitas hotel Bella International (*ini pendapat konsumen yang puas ya). Tapi...tetep aja ada tapinya :D Pelayanan hotel ini terkesan lambaaat banget. Semestinya, kalau sudah kelas internasional ya layanan dipercepat gitu. Stafnya nanya ke saya berulang-ulang. Padahal saya nggak suka jika sekali saya kasih tahu, orang itu nggak ngerti. Pada saat check in awal, saya ditangani staf hotel yang rada maaf, onyon kayanya. Setelah dijelaskan berkali-kali, Dia sudah oke. Bilang kamar sedang dibersihkan. Nah, pas saya pulang jalan-jalan dan mau ambil kamar, ganti lagi tuh orangnya. Prosedurnya diulang dari awal. Haduuh cape deeh...ternyata staf yang tadi nggak ngasih tahu ke temennya dooong...

Ya sudahlah. Toh fasilitas hotel ini dan staf yang lain lumayan oke. Kamarnya luas, bersih, perabotnya bagus, dan balkonnya bisa lihat pemandangan keren. Pantes lah kalau dia menyandang bintang 5. Ini tampilan kamarnya :






Oh iya, di hotel ini juga ada counter Garuda Indonesia. Jadi memudahkan saya. Tinggal city check-in, beres deh. Nggak usah ngantri lagi di Bandara Sultan Baabullah yang sempit itu :D. Sebagai penutup, saya kasih foto hasil jepretan saya dari tangga di Hotel Bella. 


Dann...marilah pulaang...


Thursday, May 23, 2013

Batu Hangus, Lava indah dari Gamalama

Tulisan ini merupakan lanjutan dari perjalanan saya ke Ternate. Kalau pada tulisan sebelumnya saya membahas tentang Danau Tolire dan misterinya, kali ini saya akan mengajak anda untuk menyusuri Batu Hangus. Satu lokasi di batas kota Ternate yang dipenuhi bongkahan indah bebatuan berwarna hitam. Batu Hangus sebenarnya merupakan bekas muntahan lava Gunung Gamalama ratusan tahun lalu. Lava tersebut mengeras, menjadi batu, dan berwarna hitam pekat. Sehingga oleh masyarakat setempat disebut sebagai Batu Hangus. Namun lokasi Batu Hangus yang saya susuri adalah bekas letusan Gunung Gamalama tahun 1980an. Karena lokasi tersebut berada di pinggir jalan, dan gampang parkirnya.

Pada saat saya kesana, Gunung Gamalama baru saja meletus. Bekas-bekas letusan masih terlihat jelas. Jalanan berpasir, pepohonan yang terbakar, bebatuan yang memenuhi jalan, jembatan yang hancur (padahal saat itu baru saja jadi), dan rumah-rumah penduduk yang terbawa arus lahar panas Gunung Gamalama. Dahsyat sekali letusannya. 


Gambar di atas ini tadinya adalah bekas rumah-rumah penduduk. Namun letusan Gunung Gamalama memporak-porandakan semuanya. Kini hanya tinggal pepohonan dan bebatuan yang berserakan. Menyisakan kesan gersang dan miris. Mengingat musibah tersebut banyak memakan korban.



Setelah menyusuri jalanan berpasir, kami kembali melewati jalan mulus. Bersih. Dengan latar Gunung Gamalama dan lautan yang membiru. Bentangan pulau Halmahera terlihat dari sini. Menjadi perpaduan yang sempurna untuk menikmati sore. Untuk mencapai ke lokasi ini, kita bisa menempuhnya dengan kendaraan bermotor. Jangan khawatir, kecuali lokasi bekas bencana, kondisi jalan menuju Bongkahan Batu Hangus sangatlah mulus. Kayak gini nih:

Dan....Inilah dia! Si Cantik Batu Hangus dari Gunung Gamalama :
Kami menghentikan mobil beberapa saat untuk berfoto. Nggak menyia-nyiakan kesempatan berpose tentunya. Lagi-lagi, Zul jadi fotografer dadakan :D
 

Setelah puas menikmati suasana di Batu Hangus, tujuan berikutnya adalah Benteng Tolukko! Sebuah situs peninggalan sejarah yang menjadi saksi bisu penjajahan Bangsa Portugis. 



Monday, May 20, 2013

Misteri Danau Tolire


Dari hotel, saya hendak keliling Pulau Ternate. Demi menjaga stamina, maka saya putuskan untuk makan siang terlebih dulu. Saya minta tolong Zul untuk memilih restaurant yang makanannya enak dan pemandangannya bagus. Kami melaju kurang lebih lima belas menit, akhirnya sampai ke restaurant Floridas. Dari namanya, kukira restaurant ini menyajikan menu western. Tapi kata Zul, disini isinya masakan Indonesia. Waktu saya tanya kenapa tidak ke restaurant yang menyajikan masakan Ternate saja? Zul bilang disini masakannya diadaptasi dari masakan Sulawesi. Jadi paling adanya ikan bakar, gulai, dan menu umum lainnya. Baiklah...nggak masalah. 

Begitu saya masuk, langsung terlihat kalau restaurant ini besar. Meja dan kursi makannya banyak. Meskipun saat saya kesitu, restaurant dalam kondisi sepi. Baru bubaran makan siang. Padahal jam baru menunjukkan pukul 11.30 WIB. Hei...saya lupa sesuatu. Ternate masuk kawasan Waktu Indonesia Timur. Berarti beda dua jam. Dan sekarang jam 13.30. Pantesan sepi.

Sungguh saya kagum ketika waitress mengantarkan saya ke balkon restaurant. Kami menghadap langsung ke Pulau Tidore dan Murotai. Selama ini hanya kudengar dan kubaca dari liputan wisata. Hari ini, kulihat ciptaanNya yang indah dengan mata kepalaku sendiri.

 Keindahan Pulau Tidore dan Maitara

Ngeliat indahnya kayak gitu, nggak disia-siakan dong momentnya...apalagi kalau bukan buat berpose :D


Itu saya lagi pilih-pilih menu. Pilihan dijatuhkan pada gulai ikan baronang, cah kangkung udang, dan sayur pahit (bunga pepaya), dan nasi putih. Minumnya Juice alpukat untuk Zul, dan Es kelapa muda gula merah untuk saya. Total makanan dan minumannya IDR 72ribu. Soal rasa, biasa saja. Kalau dalam skala 1 sampai 5, nilainya 2,5 lah. Ini penampakan minuman saya :


Nah, kalau minumannya, enak banget. Es kelapa muda gula merah yang saya pesan rasanya nikmat dan menyegarkan. Dari skala 1-5, saya kasih nilai 5. Makanya saya abadikan dengan kamera saya. Lihat tuh, eksotis kan fotonya? Kayak lagi menyemburkan uap, dan uap dari gelas saya sampai ke gunung. Maksa :D

Selesai makan kami melanjutkan perjalanan. Saya kasih uang parkir ke Zul. Malah diketawain. "Disini nggak ada yang mau jadi tukang parkir, mbak." gitu katanya. Hehe...beda budaya. Baiklah...lanjutt...

Kekagumanku kembali mencuat ketika mobil kami melewati perkebunan pala dan cengkih. Sebuah harta karun yang dimiliki pulau Ternate, yang justru membawa malapetaka buat masyarakatnya di masa lalu. Bangsa portugis yang semula membeli bijinya, kemudian membeli buahnya, daunnya, hingga seterusnya justru menginginkan pulau Ternate dan Tidore untuk mereka kuasai. Memang manusia yang serakah. Keramahan masyarakat Indonesia timur disalahgunakan. Pohon cengkih dibabat habis, sehingga hanya satu pohon yang tersisa saat itu. Hingga saat ini, pohon tersebut masih berdiri tegak, meskipun usianya sudah tiga setengah abad. Sayangnya saya nggak sempat melihat pohon yang menurut Zul, besarnya bisa sepuluh kali pelukan orang dewasa. Kebayang kan, besarnya?

Kami menuju Danau Tolire. Sebuah danau yang terletak di kaki Gunung Gamalama. Danau ini jauh berada di bawah lereng, airnya berwarna hijau tua. Konon katanya, danau tersebut sangat dalam, berkilo-kilometer dalamnya dan berakhir di lautan. Meskipun hingga saat ini tak seorangpun pernah mengukur kedalaman Danau Tolire. Konon juga, danau ini banyak ikannya. Tapi tidak pernah ada yang berani turun ke danau selain juru kunci, karena masyarakat yakin kalau di bawah danau sana banyak buaya silumannya.



Waktu baru sampai sini, Zul bilang danau ini mistis. Setiap kita melempar sesuatu ke danau, bagaimanapun kuatnya lemparan kita dengan menggunakan batu atau benda apapun, maka tidak akan pernah menyentuh air danau. Benda yang kita lemparkan akan menghilang, sebelum menyentuh permukaan air danau. Saya nggak percaya sebelumnya. Terus Zul ngambil satu batu, dan melemparnya ke danau itu. Wusss!!!

Tiba-tiba hilang! Batunya hilang!

Wahh...amazing! Setengah hati saya bilang amazing, setengah sisanya bilang nonsense. Masa iya, sih? Saya coba deh melempar batu. Saya lempar sekeras-kerasnya. Eehhh hilang! Batunya hilang tak berbekas sebelum menyentuh permukaan air. Saya melongo beberapa saat. Saya jalan ke tubir tebing, hendak melihat apa yang terjadi. Tapi Zul keburu memperingatkan saya, jangan sampai terlalu dekat dengan tebing karena tebing itu rapuh. Kalau terperosok nggak ada yang mau nolongin, selorohnya. Zul cerita, waktu itu pernah ada turis asing penasaran, mencoba membidik air danau dengan senapan. Dan hasilnya, peluru itu juga tidak sampai menyentuh permukaan air Danau Tolire.

Melempar batu ini nggak gratis lho...satu batunya dihargai IDR 2 ribu. Karena melempar 3 batu, maka kami harusnya bayar IDR 6 ribu. Tapi Zul korupsi, jadinya kita suruh bayar IDR 4 ribu saja ke bapak-bapak yang di bawah ini :

Para penunggu batu :D

Usut punya usut, Danau Tolire ada dua lho...Danau Tolire Besar, dan Danau Tolire kecil. Nah yang saya kunjungi ini adalah Danau Tolire Besar. Menurut sumber yang saya baca dari Wikipedia, ceritanya begini : 

Danau Tolire Besar dan Tolire Kecil, menurut cerita masyarakat setempat, dulunya adalah sebuah kampung yang masyarakatnya hidup sejahtera. Kampung ini kemudian dikutuk menjadi danau oleh penguasa alam semesta, karena salah seorang ayah di kampung itu menghamili anak gadisnya sendiri.

Saat ayah dan anak gadisnya yang dihamilinya itu akan melarikan diri ke luar kampung, tiba-tiba tanah tempat mereka berdiri anjlok dan berubah menjadi danau. Danau Tolire Besar dipercaya sebagai tempat si ayah. Sedangkan Danau Tolire Kecil diyakini sebagai tempat si gadis. 

Dihubungkan dengan cerita saat ini, begitu banyak ayah yang tega menghamili anak gadisnya. Kalau mereka dikutuk seperti cerita Danau Tolire, berapa danau yang akan terbentuk di Indonesia ini? Hiyyyy nggak kebayang deh. Nggak dikutuk saja sering banjir. Terlepas dari misteri Danau Tolire, tentu saja saya lebih menikmati suasana sejuk dan asri di sekeliling danau. Zul membantu saya mengabadikan moment tersebut. *Makasih Zul...


Karena saya berdiri dengan dilatarbelakangi Gunung Gamalama, maka saya namai foto ini sebagai "Arum Gamalama" :D jangan dikaitkan sama Dorce Gamalama, ya. Jelas-jelas nggak sodaraan. Di sekitar danau Tolire besar, ada pepohonan yang rimbun. Setelah saya perhatikan, pohon itu adalah pohon cermai. Buah kecil-kecil khas Indonesia. Rasanya manis kalau sudah merah, namun kalau masih hijau rasanya asam dan sepet. Begini nih pohonnya :



Lanjut perjalanan lagi. Kami keluar dari lokasi Danau Tolire besar. Hanya bayar IDR 5 ribu untuk biaya parkir. Sayangnya disini nggak ada pedagang yang berjualan es kelapa muda atau apa gitu, supaya bisa betah duduk sambil menikmati pemandangan lereng Gunung Gamalama dan hijaunya air danau yang eksotis. Satu-satunya tempat duduk ya seperti foto bapak penunggu batu tadi. 

Zul membawa saya menyusuri jalanan sepi. Di sepanjang perjalanan mengitari pulau, saya melihat banyak motor terparkir di pinggir jalan. Okelah kalau jalanan yang ramai, saya bisa mengerti. Tapi di jalan menuju hutan? Saat saya tanya Zul, dia hanya tersenyum. Akhirnya cerita deh...kalau yang punya motor itu biasanya adalah pemuda-pemudi yang lagi pacaran. Masuk ke dalam hutan. Ckckck...aneh-aneh saja. Ngapain coba? Mau sowan sama sodaranya kali ya? Hehe...

Zul nanya ke saya, "Mbak kok percaya sama saya sih? Kita kan belum kenal betul. Di daerah yang nggak dikenal, sepi, kok berani hanya jalan berdua dengan supir?"
Saya jawab, "Saya berani karena selalu ada yang jaga saya. Di pundak kanan, pundak kiri, depan, dan belakang. Selain penjagaan itu, masih ada kekuatan Maha besar yang menjaga saya. Saya sudah minta izin sama si pemilik kekuatan besar itu, kalau saya mau menginjakkan kaki ke belahan bumiNya yang lain. Jadi, apa yang harus saya takutkan?"

"Tapi kenapa mbak percaya sama saya? Kalau saya bukan orang baik bagaimana?" tanya Zul lagi. Saya sampai ketawa lihat mimiknya Zul. Wajah baik hati yang selalu menebarkan senyum. Halus tutur katanya, dan menganggap saya sebagai teman barunya yang perlu dia antarkan kemana-mana. Siapa yang bakal bilang kalau dia orang nggak bener? Tapi saya jawab,

"Feeling saya yang bilang kalau kamu orang baik. Lain halnya kalau feeling ini bilang kamu orang nggak bener. Mana mau saya minta kamu nganterin saya keliling Ternate?"

Zul menyeringai. Nyeletuk. "Kirain mbak jago silat. Jadi berani. Tadi aja pas di Bandara, tampangnya pede banget. Mana barengan rombongan polisi. Ternyata orang nyasar lagi jaga gengsi." 

Hahahaha...si Zul kurang ajar juga. Dia sejak awal sudah lihat saya mendarat, tapi nggak berani menawarkan taksi karena dikiranya saya ini anggota Brimob. Tepuk jidat deh. Nggak ketampangan kali...

Tak jauh dari Danau Tolire, kami melewati pantai Sulamadaha. Kata Zul itu pantai berpasir putih. Tapi saya lagi nggak berminat. Kondisinya ramai begitu. Saya lebih suka pantai yang sepi, tapi eksotis. Daan...saya menemukan ini:


Masyarakat Ternate bisa menikmati hiburan gratis di pantai tersebut. Saya hanya berhenti sebentar untuk mengambil gambar. Lanjut perjalanan lagi, melewati hutan-hutan, dan ketemu lagi pantai tersembunyi.



Di pantai tersembunyi ini nampak beberapa bapak-bapak sedang berkumpul. Bersembunyi kali yaa...segelintir dari mereka punya kebiasaan buruk mengkonsumsi minuman beralkohol yang mereka sebut sebagai minuman cap tikus. Yaitu sebuah minuman yang dihasilkan dari nira kelapa yang dimasak sebelum menjadi gula merah. Uap nira inilah yang mengandung alkohol. Para kaum lelaki meminumnya ketika mentari bersinar terik, di tepi pantai. Aku sempat terheran-heran, bukankah orang minum alkohol untuk menghangatkan badan? Kalau suhu udara sudah terik untuk apa pula mereka minum? Ah sudahlah. Lanjut lagi perjalananku. Eh...ketemu lagi sama si Cantik Gamalama.


Di balik pepohonan itu ada Danau Tolire kecil.

Bersambung...