Search This Blog

Sunday, August 31, 2014

Review Hotel : Double One Villas, Amed. Spot terbaik untuk menikmati Terbitnya mentari pagi dengan Sempurna

Pemandangan Kamar saya dari tepi pantai
Pertengahan Mei lalu, saya beserta sahabat IDC berlayar dari Gili Trawangan ke Amed dengan menggunakan kapal cepat. Rencananya, kami memang mau ngadem setelah lima hari bertualang mengelilingi Kepulauan Lombok. Seperti yang pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya, Amed adalah sebuah tempat di wilayah kecamatan Karang Asem Bali, yang menawarkan ketenangan juga pemandangan menawan Pulau Dewata. Sebagai akomodasi, kami memilih resort. Alasannya supaya bisa menikmati pulau dewata dengan nyaman, tentram dan sejahtera. Gitu deh bahasa kami.

Setelah melakukan survei ke berbagai resort yang bertebaran di Amed, pilihan kami jatuh pada Double One Villas yang letaknya tak jauh dari pelabuhan speedboat Amed. Hanya sekitar 5 menit perjalanan dengan menggunakan mobil. 

Pertama yang terasa begitu masuk ke kawasan Double One Villas adalah rasa nyaman serta nuansa Bali yang sangat khas berpadu dengan keindahan panorama dan keramahan para petugas Villa. Kami bahkan disambut langsung oleh Bli Rai, sang pemilik Resort yang super ramah dan helpful.

Bli Rai sendiri yang memandu kami untuk melihat kamar-kamar yang tersedia. Kalau front desknya berada tepat di areal paling tinggi villa ini, atau dekat dengan jalan raya, kamar-kamarnya justru terletak terpisah di tanah berundak. Kami harus menuruni banyak anak tangga. Kalau menurut saya, kamar-kamar di tempat ini seperti cottage yang terdiri atas bangunan-bangunan kamar yang tidak terhubung satu sama lain. Hal ini tentunya membuat privasi penghuni kamar sangatlah terjaga.

Tak perlu jauh melangkah, seketika terlihatlah Amed Beach yang membentang di bawah sana. Kamar saya kebetulan yang menghadap ke pantai dan kolam renang. Dalam cuaca panas begitu, tentulah sangat menggoda kami untuk menceburkan diri ke dalamnya.

Kondisi dalam Kamar
Sampai di kamar, kondisinya sesuai dengan ekspektasi kami. Sangat Cozy dan bersih. Ada balkon yang luas di masing-masing kamar, sehingga kalaupun kita malas berpanas-panas di tepi pantai, kita tetap bisa menikmati keindahannya dari balkon ini. Untuk kondisi dalam kamar, saya menempati kamar yang bisa dihuni tiga orang. Terdapat 1 tempat tidur double king size,  dan satu tempat tidur ukuran single. Saya menebak, mungkin karenanya resort ini dinamakan Double One (*Ngarang).

Foto diambil dari expedia.co.nz
Selain itu, terdapat pula meja nakas, meja rias, dan lemari dua pintu. Tersedia juga Kursi Panjang dan satu meja untuk sekedar bersantai. Disini tidak dilengkapi dengan televisi. Tapi saya malah justru menyukainya. Kita bisa lebih dekat dengan alam, mendengarkan merdunya suara deburan ombak, sehingga kita merasakan seperti sedang berada di belahan surga dunia.

Double One Villas Amed, Bathroom
Selanjutnya, fasilitas kamar mandi dalam kamar yang terdiri dari bathub jacuzzi, dan satu ruang shower. Kamar mandinya luas, jadi kita bisa nyaman kalaupun mau berendam lama-lama menikmati lembutnya tekanan air di jacuzzi. Soal kebersihan, juara deh. Saya kasih nilai 5 dari skala 5.

Urusan kamar sudah oke, giliran urusan perut. Double One Villas Amed dilengkapi dengan fasilitas restaurant yang menawarkan menu masakan Bali dan Western Food. Jangan takut kemahalan, harga yang ditawarkan sangat terjangkau, nggak seperti hotel/resort yang biasa saya singgahi sebelumnya. Rasa masakannya juga oke, apalagi buat anda pecinta masakan pedas. Sambil makan, kita juga bisa menikmati panorama Amed Beach di depan mata.

Suasana Restaurant
Buat anda yang suka snorkeling, resort juga menyediakan tempat penyewaan alat-alat snorkeling. Tarifnya berkisar antara IDR 15ribu sampai IDR 25ribu saja. Masih sangat reasonable lah ya...

Namun berhubung nyali saya ciut kalau berenang di laut, saya dan beberapa teman memeilih untuk nyebur ke kolam renang. Setelahnya, saya ditawari massage oleh ibu-ibu setempat. Saya coba massage tradisional, ternyata lumayan banget. Hanya dengan IDR 70 ribu rupiah, anda akan dimassage selama satu jam.

Sayangnya, sore hari hujan mengguyur Amed, sehingga mentari pun bersembunyi dibalik tabirnya. Tak patah semangat, setelah shubuh kami keluar kamar, lalu berjalan menuju pantai. Disitulah Mentari memamerkan keindahannya. Untuk pertama kalinya, saya menikmati sunrise sempurna bulat. Dia muncul perlahan-lahan seperti telur yang hendak menetas. Mungkin ini ya salah satu rahasia Tuhan kenapa kita diperintahkan bangun pagi.

Menikmati Keajaiban Sunrise di tepi pantai Amed
Sunrise di Amed
Over all, menginap di Double One Villas Amed sungguh berkesan dan melengkapi liburan saya bersama sahabat IDC. Kamarnya nyaman, suasananya bikin betah, udaranya segar bebas polusi, dan pemilik juga petugas resort memperlakukan kami laiknya family. Ketika saya cek, ternyata resort ini sudah masuk dalam rekomendasi lonely planet lho...jadi memang sudah terbukti bagusnya secara internasional. 

Sebagai informasi, kamar di Double One Villas ini hanya 10 unit, dengan harga sewa kamar bervariasi antara 350 ribu hingga 700 ribu rupiah. Tergantung view kamarnya. Biasanya yang garden view villa akan jauh lebih murah daripada ocean view villa.

Double One Villas Amed, Highly Recommended!


Friday, August 15, 2014

Sekelumit Kisah Perjalanan



Hampir satu tahun saya merencanakan perjalanan ini. Perjalanan panjang yang tak diselingi agenda pekerjaan. Meskipun agak ragu di awalnya, namun pada saat tiba masanya, saya pun mendapatkan hal ajaib itu. Saya bisa “menyingkirkan diri” dari kesibukan saya yang super padat, selama satu minggu penuh. Di bulan Mei, dimana bulan tersebut selalu menjadi bulan-bulan tersibuk dalam kehidupan karir saya selama 8 tahun belakangan.
Anywaaay...perjalanan dimulai dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju Praya International Airport, Lombok. Boleh dibilang, ini perjalanan paling menantang, paling penuh cobaan, dan paling bikin hati deg-degan. Betapa tidak, di Hari-1 penerbangan saya, tiba-tiba saya dapat telepon dari Garuda Indonesia kalau jam penerbangan saya dimajukan. Dari yang semula jam 20.00 menjadi jam 17.30. Padahal saya harus bertugas di daerah Jagakarsa hingga jam 15.00. Kebayang kan bingungnya saya?
Saya siasati dengan menyelesaikan seluruh tugas saya malam itu juga. Nggak boleh ada yang terlewat supaya saya bisa cepat kabur dari lokasi penugasan ke Bandara. Dari Bandung berangkat jam 5 subuh, sudah packing segala macem. Siap berangkat. Bahkan saya juga sudah mengenakan sepatu kets demi kenyamanan liburan :D
Sampai di Jakarta jam 09.00, dan ternyata pertemuannya diundur jadi jam 10.00. Waaa...mau selesai jam berapa? Pikir saya saat itu. Akhirnya saya “memaksa” untuk cepat selesai. Dokumen yang saya buat digarap lebih dulu, dikoreksi, dan dilengkapi sehingga jam 12.30 saya bisa keluar dari kantor tersebut dan siap cuss ke stasiun kereta di Universitas Pancasila. Itupun saya masih harus bawa sebundel kertas hasil ujian mahasiswa untuk dikoreksi. Niat saya ke BSD dulu adalah...saya mau naruh laptop dirumah karena nggak mungkin saya bawa-bawa laptop saat liburan. Daaan...disinilah saya mulai diuji. Tiba-tiba Commuter line Tujuan Depok-Tanah Abang telat 1,5 jam. Padahal biasanya lancar jaya. Saat itu, saya bilang sama diri saya sendiri, kalau saya salah ambil keputusan. Maksud hati naik kereta dari UP ke BSD biar nggak kena macet, malah jadi kacau begini. Satu-satunya commuter line yang lewat sudah berjejal penumpang. Untung saja ada satpam kereta yang bantuin saya. Akhirnya saya bisa masuk tuh ke kereta, dapet tempat duduk pula (Biasanya saya masuk gerbong khusus wanita, tapi kali ini tidak. Hampir semua penumpangnya cowok, dan akhirnya salah satu dari mereka berbaik hati untuk memberikan tempat duduk buat saya). Sebenernya agak nggak enak juga, cuma kalau menolak tawaran orang itu lebih nggak enak lagi.
Sampai di Tanah Abang 40 menit kemudian, dan langsung dapat berita buruk. Kereta dari Serpong ke Tanah Abang telat lagi satu jam. Dari yang semula jam 13.50 jadi jam 14.50. Akibatnya, penumpang sudah tumplek blek di stasiun Tanah Abang. Aishhh...rasanya udah pengen menendang sesuatu. Kesel banget. Apalagi kalau ingat penerbangan saya adalah jam 17.30, dan saya sudah pesan shuttle travel ke Bandara jam 15.00. Sudah nggak mungkin lagi mengejar shuttle. Di otak saya saat itu, kalaulah selamat sampai BSD jam 15.45, naik taksi pun teramat sangat riskan. Mengingat hari itu adalah hari Jumat, dan jam 16.00 adalah jam pulang kantor. Pastinya macet total!
Ah, saya sudah pasrah. Saya bahkan sudah mulai ngecek penerbangan berikutnya ke Lombok. In case of emergency kalau saya nggak berhasil ngejar penerbangan saya.
Namun saat itu, seorang ibu bertubuh gempal, berwajah tulus dan menyenangkan menghampiri saya. Sepertinya beliau mengerti kegundahan saya. Beliau mengajak saya duduk di sebelahnya, kemudian bertanya saya mau kemana. Saya pun menjelaskan kalau saya mau ke BSD karena harus mengejar pesawat jam 17.30. ibu itu berkata pada saya penuh simpati. “Tenang, masih ada waktu. Kalau memang rejekinya neng, nggak akan kemana.”
Degg...
Seketika saya merasa tertohok.
Iya juga ya...kalau memang rejeki saya nggak akan kemana. Kalau Tuhan mengizinkan saya pergi pasti semua akan dimudahkan. Waktu yang dihitung nggak mungkin bagi manusia, bisa memungkinkan buat Tuhan. Astaghfirullah...
Setelah itu saya melayangkan pandangan ke sekitar. Betapa makin membuat saya malu. Di sekitar saya ada ibu-ibu penjaja nasi bungkus yang bakul dagangannya masih setengah penuh, mungkin kurang laku hari ini, justru sedang sibuk membantu orang lain. Kemudian ibu berwajah tulus disamping saya, dia bercerita kalau dia tinggal di Parung Panjang. Tempat yang sangat jauh dari Stasiun Tanah Abang. Dia berjualan baju. Menjualkan dagangan orang lain tepatnya. Setiap hari dia harus berangkat dari Parung Panjang menuju Manggarai untuk berjualan baju. Hasilnya tidak seberapa tentunya, tapi menurutnya, paling tidak Ia tetap bisa membuat dapur ngebul. Dan wajahnya masih ceria, seolah tanpa beban. Padahal kalau mau ditilik, melambungnya harga sembako dan kebutuhan pokok saat ini pasti menyulitkannya. Apalagi dia punya banyak anak yang harus dinafkahi.
Kembali lagi ke penjaja nasi bungkus. Saya lihat dia sedang menghitung uang hasil dagangannya. Lembar demi lembar uang dua ribu rupiah dia hitung dengan sangat hati-hati. Wajahnya agak berkerut ketika ia selesai menghitung uangnya. Namun itu hanya sejenak. Selanjutnya Ia kembali ceria dan berceloteh dengan teman-temannya, sesama pedagang nasi bungkus.
Maafkan saya Tuhan...
Di dompet saya saat itu, satu lembar uang saya bahkan bernilai lebih besar daripada seluruh lembaran uang dua ribuan milik ibu pedagang nasi bungkus. Tapi apa yang saya lakukan? Saya justru bermuram durja, dan memikirkan diri sendiri. Mereka hendak pulang kerumah, tentunya harus berpikir untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan untuk modal dagang esok hari. Sedangkan saya, tidak harus berpikir besok mau makan apa. Bahkan saya terburu-buru karena saya akan mengejar pesawat, untuk kemudian liburan. Mereka? Jangankan untuk liburan, untuk makan pun sulit.
Tapi mereka menghadapinya dengan senyum, sedangkan saya menghadapinya dengan cemberut. Sungguh mengingkari nikmat Tuhan yang sudah diberikan pada saya.
Tertohok. Malu. Itu yang saya rasakan. Rasa malu yang sungguh besar, hingga saya pun tak sanggup menatap mereka. Sepertinya ibu di sebelah saya memperhatikan saya, karena kemudian dia berkata, “Kita udah biasa hidup susah neng...jadi pasrah aja. Toh sampai sekarang kita masih bisa makan. Syukur alhamdulillah.”
Saya pun hanya bisa mengangguk. Mengiyakan.
Tak terasa, satu jam berlalu. Ibu itu mengajak saya untuk menunggu di peron paling ujung, karena gerbong wanita nanti sampai disitu. Saya menurut saja. Mengikuti ibu itu. Dia yang sedang kerepotan dengan barang bawaannya, masih saja menawarkan diri untuk membantu barang bawaan saya. Tentu saja saya menolaknya.
Ternyata kami satu gerbong dengan ibu-ibu pedagang nasi bungkus tadi. Mereka hendak pulang ke Parung Panjang. Mereka tak segan menginformasikan pada penumpang yang membawa barang banyak dan hendak turun di stasiun kebayoran, untuk segera pindah ke gerbong depan. Karena peron di stasiun tersebut pendek dan tidak menjangkau kereta commuter line jenis ini (Kereta yang saya naiki saat itu adalah kereta yang baru saja dibeli dari Pemerintah Jepang. Ukuran keretanya sedikit lebih besar dengan jumlah gerbong lebih banyak dari kereta biasanya). Ibu pedagang nasi bungkus itu juga membantu salah seorang ibu keturunan Tionghoa berpenampilan necis yang kesulitan membawa barang dagangannya. Ia membantu mengikatkan dengan tali rafia, lalu mengangkutnya ke tempat di ujung kereta untuk memudahkan saat menurunkan barang. Sang ibu keturunan Tionghoa itu tersenyum lebar, dan dengan senyum lebar dia berterima kasih pada sang pedagang nasi bungkus. “Semoga Tuhan membalas kebaikan ibu.” Ujarnya tulus. Sudah tidak lagi terasa perbedaan disini. Yang terasa hanya perasaan sesama manusia, saudara setanah air yang sudah semestinya saling membantu, saling menolong. Mungkin karena kecapekan, ibu-ibu pedagang nasi tadi duduk di lantai commuter line.
Hingga mencapai stasiun Palmerah, ada seorang wanita masuk, dan menginjak kaki ibu pedagang nasi dengan sepatu high heelsnya. Namun yang mengejutkan, bukannya minta maaf, wanita itu malah marah-marah!
Yang lebih mengejutkan lagi, dia malah seolah sengaja menginjak kaki ibu-ibu pedagang yang tak mengenakan alas kaki tersebut. Si ibu pedagang nasi pun mengaduh kesakitan.
“Kenapa? Masalah buat lo? Kaki-kaki gue, sepatu-sepatu gue, bebas dong mau apa aja!”
Saya pun melongo melihat cara wanita itu memaki.
“Kalo ngga mau diinjek, jangan naik kereta!” Maki wanita itu lagi.
Akhirnya si pedagang membalas, “Iya saya tahu ibu orang kaya. Saya orang miskin.” Katanya penuh sindiran.
“Iya. Gue emang orang kaya. Terus kenapa, masalah buat lo?”
Saya tambah melongo karenanya. Kayak adegan di Sinetron. Dalam hati saya berpikir, ini yang nggak berpendidikan siapa coba? Apa salahnya sih minta maaf, lalu menyingkirkan kakinya dari kaki ibu pedagang tadi. Toh sama-sama penumpang, sama-sama bayar.
Dia mengibaskan rambutnya dengan angkuh. Astaga! Baru kali ini saya ketemu dengan orang seperti ini. Sepanjang hidup, saya tak pernah punya teman seperti dia. Dan takkan pernah mau punya teman seperti itu. Meskipun tak sedikit latar belakang teman-teman saya adalah kalangan orang berada, nggak ada tuh yang sikapnya suka melecehkan orang lain.
Selanjutnya, dia pun tak berhenti memaki. Menuduh ibu-ibu pedagang tadi sedang berjualan di kereta. Ibu pedagang pun menjelaskan, kalau Ia hendak pulang ke Parung Panjang. Bukan hendak berdagang di kereta. Tapi si wanita angkuh ini tak peduli. Ia kembali mengibaskan rambutnya yang dicat semi blonde itu.
Saya pun akhirnya memperhatikan wanita itu. Dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sorry to say, saya yang dasarnya adalah seorang pemerhati, otomatis melakukan “analisis”. Sepatu sandal high heelsnya yang menurutnya mahal, adalah sepatu yang sudah bocel-bocel disana-sini. Belum lagi heelsnya yang juga bocel-bocel. Kebayang sakitnya ketika ibu pedagang tadi diinjak oleh sepatu bocel begitu. Selanjutnya saya lihat kuku kakinya. Seperti sepatunya, Cat kukunya pun sudah mengelupas disana-sini. Begitu pula cat kuku tangannya yang sudah banyak mengelupas dan tak terawat. Bajunya juga bukan keluaran ternama. Malah golongan baju tanah abang. Begitu pula tasnya yang tergolong bukan tas mahal. Kelihatan kan dari jenis bahan dan tampilannya. Rambutnya pun tipis dan pecah-pecah. Make-upnya tebal, tapi sudah luntur. Kalau make-up mahal, luntur pun takkan seperti itu bentuknya. Saya menggelengkan kepala berkali-kali. Hanya dengan memperhatikan seperti ini saya menyimpulkan kalau dia bukanlah orang kaya. Hanya karyawan biasa yang ngaku-ngaku orang kaya. Sekilas, saya pun melihat tanda pengenalnya. Dia bekerja di perusahaan milik negara orang. Mungkin itu yang bikin dia sombong tak terkira.
Ups...
Bukannya saya menghina tampilan, ya. Saya hanya menganalisis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Efek keranjingan nonton UK Series Sherlock Holmes. Hehe...
Sedangkan ibu pedagang nasi, meskipun penampilannya lusuh dan bicaranya kasar, namun dia tulus menolong orang. Dari mulai di stasiun Tanah abang sampai di dalam Kereta. Beberapa ibu yang hampir jatuh ditolongnya. Belum lagi orang-orang yang dia bantu bawakan barangnya. Semua dia lakukan tanpa pamrih.
Saya hanya mengamati, karena kejadian tersebut tepat di depan saya. Yang lebih mengesalkan lagi adalah ketika ada seorang wanita, mungkin seumuran saya. Sepertinya dia juga pegawai kantoran, mengernyit sinis dan dengan sengaja memotret ibu-ibu berpenampilan lusuh yang sedang memegang bakul dagangannya. Saya tahu, pastinya dia mau aplod. Dan benar ternyata. Dia aplod di sosial media. Makin membuat saya geleng-geleng kepala. Hal seperti ini nampaknya lucu dan bisa buat jadi bahan lelucon buat dia dan teman-temannya di sosial media nanti.
Ibu berwajah tulus di sebelah saya berkata pada saya, “Neng, yang kayak gini ini biasa kok. Ibu sering ngalamin. Orang miskin mah sudah kebal dibeginikan, neng.”
“Tapi kan nggak boleh begitu, bu. Kita sama-sama kok naik kereta ini. Sama-sama bayar juga. Kita punya hak yang sama.” Kata saya tak setuju.
Ibu itu hanya tersenyum. “Ini Jakarta, neng. Semua bukan masalah nggak bisa apa nggak boleh. Tapi siapa yang kaya, siapa yang miskin.”
Saya terdiam, tapi dalam hati menggeram. Bisa ya seorang manusia bersikap seperti itu pada sesamanya? Nalurinya seolah mati. Atau terpental jauh dari hatinya. Saya sangat kesal saat itu, hingga ingin menangis rasanya.
Ibu itu mengusap bahu saya. “Semoga neng nanti jadi orang berhasil, bisa belain kita-kita yang miskin.” Kata ibu itu.
Saya memang tak pandai menyembunyikan perasaan marah dan tak suka. Pastinya tergambar jelas di wajah saya sehingga saya tak heran tidak hanya ibu itu yang bisa membaca pikiran saya. Duh kok jadi emosional begini, ya?
Sampai di Stasiun Rawa Buntu BSD, saya mengucapkan salam perpisahan pada teman-teman seperjalanan. Mereka tersenyum lebar. Sampai ketemu lagi, kata saya pada ibu berwajah tulus yang menemani saya sejak tadi. Dia pun tersenyum. “Semoga nggak telat sampai bandara, neng.”
Saya mengangguk, mengaminkan lalu turun dari kereta. Jam menunjukkan pukul 15.45. Adik saya sudah menunggu di depan stasiun, dan kami pun bertukar tas. Dia mengambil tas laptop saya, dan saya mengambil tas berisi pakaian renang yang dia bawakan dari rumah. Lima menit untuk keluar dari stasiun Rawa Buntu. Saya langsung menyetop taksi, dan bilang pada supir untuk ngebut karena harus terbang jam 17.30.
Supir taksi pun menjawab “Siaap!!!”
Duh...padahal macet. Supir berusaha mencari jalan tembus yang tidak macet. Kalau perjalanan normal dan pintu M1 tidak ditutup, BSD-Bandara dapat ditempuh selama 30 menit, maksimal 45 menit. Namun kali ini perjalanan tidak normal karena jam pulang kantor, dan pintu M1 ditutup karena proyek MRT. Untungnya, saya sudah dicheck-in kan oleh teman. Dan setelah macet juga menempuh jalur yang berputar-putar, akhirnya tepat jam 17.00 saya merapat di terminal 2F. Bersamaan dengan supir taksi, kami pun mengucapkan Alhamdulillah...
Ini perjalanan paling melelahkan yang pernah saya lalui. Bukan dari segi jaraknya. Tapi menguras hatinya itu lho...
Saya yang tadinya berpikir bahwa saya salah ambil keputusan naik kereta, akhirnya dikasih kesadaran oleh Tuhan bahwa semua hal, sudah diaturNya dengan sangat indah. Cuma seringkali kita saja yang nggak sabar, berburuk sangka pada Tuhan, dan merasa kepentingan kita diatas segalanya. Dari perjalanan ini saya belajar kalau ternyata tidak semua orang itu baik. Tidak semua orang pengertian. Tapi sayalah yang beruntung karena saya dikelilingi oleh orang-orang baik. Saya dianugerahi Tuhan teman-teman yang tulus dan baik hatinya. Teman-teman yang pengertian pada saya dan pada sesama manusia. Teman-teman yang InsyaAllah selalu membawa saya ke jalan yang baik. Mereka dipilihkan langsung oleh Tuhan buat saya, dan saya buat mereka. Diatas segalanya, saya dilahirkan dari keluarga yang menjunjung tinggi kejujuran. Itulah sejatinya kebahagiaan saya. Karena tanpa kehadiran mereka, saya sungguhlah bukan apa-apa.

Monday, August 4, 2014

Pantai Tanjung Aan, saksi bisu kisah cinta Sang Puteri Mandalika



5 Hari Trip Keliling Pulau Lombok & Bali, Day 2
Tujuan pertama trip Hari kedua adalah pantai Tanjung Aan yang terletak di Desa Kuta Lombok, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Pantai ini berjarak kurang lebih 75 kilometer dari kota Mataram. Atau sekitar 1,5 jam jika ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat melewati rute Mataram-Cakranegara-Kediri, Praya-Batunyale-Sengkol-Rambitan-Sade-Kuta, dan Tanjung Aan. Karena perginya bareng sahabat, tentunya perjalanan jadi tidak terasa. Yang terasa hanyalah keindahan pemandangan sepanjang jalan menuju pantai ini.
Bersendau-gurau bersama Sahabat IDC
Menikmati pemandangan dari bukit Tanjung Aan
Sebagai informasi, dari kota Mataram jalan yang kami lalui tergolong mulus dan nyaman untuk dilewati. Namun begitu kita sudah mendekati kawasan pantai, keadaannya menjadi jauh berbeda. Kondisi jalan menjadi aspal berbatu dan sudah bolong disana-sini sehingga diperlukan kehati-hatian serta toleransi antar pengguna jalan. Kondisi jalan yang rusak tak menghalangi wisatawan untuk mengunjungi pantai ini. Mobil kami juga seringkali berpapasan dengan wisatawan mancanegara yang menggunakan motor dan membawa papan surfing. Wah...saya jadi tidak sabar ingin cepat sampai. Seperti apa rupa Tanjung Aan sehingga letaknya yang terpencil justru tetap memikat hati wisatawan.
Pantai Tanjung Aan terletak tak jauh dari Pantai Kuta Mandalika, yaitu sekitar 3 kilometer saja. Masuknya  tidak dipungut biaya, hanya bayar parkir sekitar 5 ribu rupiah untuk mobil. Saat kami sampai, di pantai Tanjung Aan terlihat banyak wisatawan domestik yang sedang berkunjung. Ada yang sedang berenang, snorkeling, ataupun sekedar duduk di tepian pantai sambil menikmati es kelapa muda. Sedangkan wisatawan mancanegara sepertinya lebih tertarik untuk berjemur atau surfing. Saya pun segera berlari ke tepian pantai agar pemandangan keseluruhan dapat terlihat. Seketika itu juga  saya langsung menemukan keunikan Pantai ini yaitu pasirnya yang tak biasa. Berbeda dengan pasir pantai yang saya temui sebelumnya, pasir pantai Tanjung Aan berbentuk bulat-bulat seperti merica. Pertama kalinya dalam hidup, saya menemukan pasir pantai jenis ini. Langsung deh keluar noraknya. Pegang-pegang pasir sambil mengabadikannya lewat kamera kesayangan.
Pasir Pantai Tanjung Aan
Pemandangan dari Bukit di Pantai Tanjung Aan
Pantai Tanjung Aan membentang luas dengan garis pantai sekitar 2 kilometer. Pantainya terpisahkan oleh satu bukit yang tak terlalu tinggi, hingga kita bisa mendakinya dengan mudah. Di sebelah kanan bukit terhampar pantai dengan bebatuan karang dan ombak yang sangat baik untuk surfing, sedangkan di sebelah kiri bukit terhampar pantai yang landai dan cocok untuk berenang atau sekedar snorkeling. Sekali lagi saya katakan, ombak di pantai ini tergolong aman bahkan untuk anak kecil sekalipun. 
Sisi Tanjung Aan yang aman untuk berenang
Tak lengkap rasanya jika kita menyusuri suatu tempat namun tidak menelisik asal-usulnya. Begitupula Tanjung Aan yang mempunyai cerita tersendiri. Konon, ada seorang puteri bernama Mandalika, melompat dari bukit di Tanjung Aan untuk menghindari kejaran seorang pangeran yang hendak mempersuntingnya. Tragis banget ya?
Bukit di Pantai Tanjung Aan
Mitosnya, sang puteri ini bereinkarnasi menjadi Nyale, sejenis cacing laut yang hidup di Pantai Tanjung Aan. Namun cacing ini hanya muncul di waktu-waktu tertentu saja. Maka dari itu, setiap bulan Februari diadakan ritual spesial di Pantai Tanjung Aan. Ritual ini dinamakan Ritual Bau Nyale. Sebagai ritual khas setempat, upacara ini selalu menarik perhatian pengunjung baik domestik maupun mancanegara. Dari cerita inilah Pantai Tanjung Aan menjadi saksi bisu kisah cinta Sang Puteri Mandalika.
Setelah puas menikmati Pantai Tanjung Aan, kami pun menuju destinasi yang kami lewati sebelumnya yaitu Pantai Kuta Mandalika. Tunggu ulasan saya berikutnya.

Tips dan Trik berkunjung ke Tanjung Aan:
  1. Bawa uang tunai yang banyak, karena di Tanjung Aan tidak ada fasilitas ATM.
  2. Bawa baju ganti yang cukup, barangkali anda ingin berenang, surfing, atau bermain air.
  3. Jika anda menginap di Mataram atau Praya, alangkah baiknya anda berangkat pagi-pagi, sehingga anda bisa puas menikmati pesona keindahan Pantai Tanjung Aan. Waktu terbaik untuk berkunjung ke pantai ini adalah pada pagi dan sore hari.
  4. Pakai alas kaki yang nyaman supaya anda bisa dengan mudah mendaki ke bukit dan kaki anda terlindung dari tajamnya karang dan bebatuan. Tidak disarankan menggunakan sepatu plastik karena bisa membahayakan anda jika sedang beraktifitas.
  5. Jangan lupa bawa sunblock, penutup kepala, dan kacamata hitam. Kalau saya sih prefer pakai kaca muka yang gede itu lho...
  6. Bawa kendaraan sendiri atau sewa. Tidak disarankan menggunakan angkutan umum karena anda bakal repot dan jatuhnya malah lebih mahal.
Have a nice trip.
Tanjung Aan Beach, Highly Recommended.