Hampir satu tahun saya merencanakan perjalanan ini. Perjalanan panjang
yang tak diselingi agenda pekerjaan. Meskipun agak ragu di awalnya, namun pada
saat tiba masanya, saya pun mendapatkan hal ajaib itu. Saya bisa “menyingkirkan
diri” dari kesibukan saya yang super padat, selama satu minggu penuh. Di bulan
Mei, dimana bulan tersebut selalu menjadi bulan-bulan tersibuk dalam kehidupan
karir saya selama 8 tahun belakangan.
Anywaaay...perjalanan dimulai dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju
Praya International Airport, Lombok. Boleh dibilang, ini perjalanan paling
menantang, paling penuh cobaan, dan paling bikin hati deg-degan. Betapa tidak,
di Hari-1 penerbangan saya, tiba-tiba saya dapat telepon dari Garuda Indonesia
kalau jam penerbangan saya dimajukan. Dari yang semula jam 20.00 menjadi jam
17.30. Padahal saya harus bertugas di daerah Jagakarsa hingga jam 15.00.
Kebayang kan bingungnya saya?
Saya siasati dengan menyelesaikan seluruh tugas saya malam itu juga.
Nggak boleh ada yang terlewat supaya saya bisa cepat kabur dari lokasi
penugasan ke Bandara. Dari Bandung berangkat jam 5 subuh, sudah packing segala
macem. Siap berangkat. Bahkan saya juga sudah mengenakan sepatu kets demi
kenyamanan liburan :D
Sampai di Jakarta jam 09.00, dan ternyata pertemuannya diundur jadi jam
10.00. Waaa...mau selesai jam berapa? Pikir saya saat itu. Akhirnya saya
“memaksa” untuk cepat selesai. Dokumen yang saya buat digarap lebih dulu,
dikoreksi, dan dilengkapi sehingga jam 12.30 saya bisa keluar dari kantor
tersebut dan siap cuss ke stasiun kereta di Universitas Pancasila. Itupun saya
masih harus bawa sebundel kertas hasil ujian mahasiswa untuk dikoreksi. Niat
saya ke BSD dulu adalah...saya mau naruh laptop dirumah karena nggak mungkin
saya bawa-bawa laptop saat liburan. Daaan...disinilah saya mulai diuji.
Tiba-tiba Commuter line Tujuan Depok-Tanah Abang telat 1,5 jam. Padahal
biasanya lancar jaya. Saat itu, saya bilang sama diri saya sendiri, kalau saya
salah ambil keputusan. Maksud hati naik kereta dari UP ke BSD biar nggak kena
macet, malah jadi kacau begini. Satu-satunya commuter line yang lewat sudah
berjejal penumpang. Untung saja ada satpam kereta yang bantuin saya. Akhirnya
saya bisa masuk tuh ke kereta, dapet tempat duduk pula (Biasanya saya masuk
gerbong khusus wanita, tapi kali ini tidak. Hampir semua penumpangnya cowok,
dan akhirnya salah satu dari mereka berbaik hati untuk memberikan tempat duduk
buat saya). Sebenernya agak nggak enak juga, cuma kalau menolak tawaran orang
itu lebih nggak enak lagi.
Sampai di Tanah Abang 40 menit kemudian, dan langsung dapat berita buruk.
Kereta dari Serpong ke Tanah Abang telat lagi satu jam. Dari yang semula jam
13.50 jadi jam 14.50. Akibatnya, penumpang sudah tumplek blek di stasiun Tanah
Abang. Aishhh...rasanya udah pengen menendang sesuatu. Kesel banget. Apalagi
kalau ingat penerbangan saya adalah jam 17.30, dan saya sudah pesan shuttle travel
ke Bandara jam 15.00. Sudah nggak mungkin lagi mengejar shuttle. Di otak saya
saat itu, kalaulah selamat sampai BSD jam 15.45, naik taksi pun teramat sangat
riskan. Mengingat hari itu adalah hari Jumat, dan jam 16.00 adalah jam pulang
kantor. Pastinya macet total!
Ah, saya sudah pasrah. Saya bahkan sudah mulai ngecek penerbangan
berikutnya ke Lombok. In case of emergency kalau saya nggak berhasil ngejar
penerbangan saya.
Namun saat itu, seorang ibu bertubuh gempal, berwajah tulus dan
menyenangkan menghampiri saya. Sepertinya beliau mengerti kegundahan saya. Beliau
mengajak saya duduk di sebelahnya, kemudian bertanya saya mau kemana. Saya pun
menjelaskan kalau saya mau ke BSD karena harus mengejar pesawat jam 17.30. ibu
itu berkata pada saya penuh simpati. “Tenang, masih ada waktu. Kalau memang
rejekinya neng, nggak akan kemana.”
Degg...
Seketika saya merasa tertohok.
Iya juga ya...kalau memang rejeki saya nggak akan kemana. Kalau Tuhan
mengizinkan saya pergi pasti semua akan dimudahkan. Waktu yang dihitung nggak
mungkin bagi manusia, bisa memungkinkan buat Tuhan. Astaghfirullah...
Setelah itu saya melayangkan pandangan ke sekitar. Betapa makin membuat
saya malu. Di sekitar saya ada ibu-ibu penjaja nasi bungkus yang bakul
dagangannya masih setengah penuh, mungkin kurang laku hari ini, justru sedang
sibuk membantu orang lain. Kemudian ibu berwajah tulus disamping saya, dia
bercerita kalau dia tinggal di Parung Panjang. Tempat yang sangat jauh dari
Stasiun Tanah Abang. Dia berjualan baju. Menjualkan dagangan orang lain
tepatnya. Setiap hari dia harus berangkat dari Parung Panjang menuju Manggarai
untuk berjualan baju. Hasilnya tidak seberapa tentunya, tapi menurutnya, paling
tidak Ia tetap bisa membuat dapur ngebul. Dan wajahnya masih ceria, seolah
tanpa beban. Padahal kalau mau ditilik, melambungnya harga sembako dan kebutuhan
pokok saat ini pasti menyulitkannya. Apalagi dia punya banyak anak yang harus
dinafkahi.
Kembali lagi ke penjaja nasi bungkus. Saya lihat dia sedang menghitung
uang hasil dagangannya. Lembar demi lembar uang dua ribu rupiah dia hitung
dengan sangat hati-hati. Wajahnya agak berkerut ketika ia selesai menghitung
uangnya. Namun itu hanya sejenak. Selanjutnya Ia kembali ceria dan berceloteh
dengan teman-temannya, sesama pedagang nasi bungkus.
Maafkan saya Tuhan...
Di dompet saya saat itu, satu lembar uang saya bahkan bernilai lebih
besar daripada seluruh lembaran uang dua ribuan milik ibu pedagang nasi
bungkus. Tapi apa yang saya lakukan? Saya justru bermuram durja, dan memikirkan
diri sendiri. Mereka hendak pulang kerumah, tentunya harus berpikir untuk
belanja kebutuhan sehari-hari dan untuk modal dagang esok hari. Sedangkan saya,
tidak harus berpikir besok mau makan apa. Bahkan saya terburu-buru karena saya
akan mengejar pesawat, untuk kemudian liburan. Mereka? Jangankan untuk liburan,
untuk makan pun sulit.
Tapi mereka menghadapinya dengan senyum, sedangkan saya menghadapinya
dengan cemberut. Sungguh mengingkari nikmat Tuhan yang sudah diberikan pada
saya.
Tertohok. Malu. Itu yang saya rasakan. Rasa malu yang sungguh besar,
hingga saya pun tak sanggup menatap mereka. Sepertinya ibu di sebelah saya
memperhatikan saya, karena kemudian dia berkata, “Kita udah biasa hidup susah
neng...jadi pasrah aja. Toh sampai sekarang kita masih bisa makan. Syukur
alhamdulillah.”
Saya pun hanya bisa mengangguk. Mengiyakan.
Tak terasa, satu jam berlalu. Ibu itu mengajak saya untuk menunggu di
peron paling ujung, karena gerbong wanita nanti sampai disitu. Saya menurut
saja. Mengikuti ibu itu. Dia yang sedang kerepotan dengan barang bawaannya,
masih saja menawarkan diri untuk membantu barang bawaan saya. Tentu saja saya
menolaknya.
Ternyata kami satu gerbong dengan ibu-ibu pedagang nasi bungkus tadi.
Mereka hendak pulang ke Parung Panjang. Mereka tak segan menginformasikan pada
penumpang yang membawa barang banyak dan hendak turun di stasiun kebayoran,
untuk segera pindah ke gerbong depan. Karena peron di stasiun tersebut pendek
dan tidak menjangkau kereta commuter line jenis ini (Kereta yang saya naiki
saat itu adalah kereta yang baru saja dibeli dari Pemerintah Jepang. Ukuran
keretanya sedikit lebih besar dengan jumlah gerbong lebih banyak dari kereta
biasanya). Ibu pedagang nasi bungkus itu juga membantu salah seorang ibu
keturunan Tionghoa berpenampilan necis yang kesulitan membawa barang
dagangannya. Ia membantu mengikatkan dengan tali rafia, lalu mengangkutnya ke
tempat di ujung kereta untuk memudahkan saat menurunkan barang. Sang ibu
keturunan Tionghoa itu tersenyum lebar, dan dengan senyum lebar dia berterima
kasih pada sang pedagang nasi bungkus. “Semoga Tuhan membalas kebaikan ibu.”
Ujarnya tulus. Sudah tidak lagi terasa perbedaan disini. Yang terasa hanya perasaan
sesama manusia, saudara setanah air yang sudah semestinya saling membantu,
saling menolong. Mungkin karena kecapekan, ibu-ibu pedagang nasi tadi duduk di
lantai commuter line.
Hingga mencapai stasiun Palmerah, ada seorang wanita masuk, dan menginjak
kaki ibu pedagang nasi dengan sepatu high heelsnya. Namun yang mengejutkan,
bukannya minta maaf, wanita itu malah marah-marah!
Yang lebih mengejutkan lagi, dia malah seolah sengaja menginjak kaki
ibu-ibu pedagang yang tak mengenakan alas kaki tersebut. Si ibu pedagang nasi
pun mengaduh kesakitan.
“Kenapa? Masalah buat lo? Kaki-kaki gue, sepatu-sepatu gue, bebas dong
mau apa aja!”
Saya pun melongo melihat cara wanita itu memaki.
“Kalo ngga mau diinjek, jangan naik kereta!” Maki wanita itu lagi.
Akhirnya si pedagang membalas, “Iya saya tahu ibu orang kaya. Saya orang
miskin.” Katanya penuh sindiran.
“Iya. Gue emang orang kaya. Terus kenapa, masalah buat lo?”
Saya tambah melongo karenanya. Kayak adegan di Sinetron. Dalam hati saya
berpikir, ini yang nggak berpendidikan siapa coba? Apa salahnya sih minta maaf,
lalu menyingkirkan kakinya dari kaki ibu pedagang tadi. Toh sama-sama
penumpang, sama-sama bayar.
Dia mengibaskan rambutnya dengan angkuh. Astaga! Baru kali ini saya
ketemu dengan orang seperti ini. Sepanjang hidup, saya tak pernah punya teman
seperti dia. Dan takkan pernah mau punya teman seperti itu. Meskipun tak
sedikit latar belakang teman-teman saya adalah kalangan orang berada, nggak ada
tuh yang sikapnya suka melecehkan orang lain.
Selanjutnya, dia pun tak berhenti memaki. Menuduh ibu-ibu pedagang tadi
sedang berjualan di kereta. Ibu pedagang pun menjelaskan, kalau Ia hendak
pulang ke Parung Panjang. Bukan hendak berdagang di kereta. Tapi si wanita
angkuh ini tak peduli. Ia kembali mengibaskan rambutnya yang dicat semi blonde
itu.
Saya pun akhirnya memperhatikan wanita itu. Dari ujung kaki hingga ujung
rambut. Sorry to say, saya yang dasarnya adalah seorang pemerhati, otomatis
melakukan “analisis”. Sepatu sandal high heelsnya yang menurutnya mahal, adalah
sepatu yang sudah bocel-bocel disana-sini. Belum lagi heelsnya yang juga
bocel-bocel. Kebayang sakitnya ketika ibu pedagang tadi diinjak oleh sepatu
bocel begitu. Selanjutnya saya lihat kuku kakinya. Seperti sepatunya, Cat
kukunya pun sudah mengelupas disana-sini. Begitu pula cat kuku tangannya yang
sudah banyak mengelupas dan tak terawat. Bajunya juga bukan keluaran ternama.
Malah golongan baju tanah abang. Begitu pula tasnya yang tergolong bukan tas
mahal. Kelihatan kan dari jenis bahan dan tampilannya. Rambutnya pun tipis dan
pecah-pecah. Make-upnya tebal, tapi sudah luntur. Kalau make-up mahal, luntur
pun takkan seperti itu bentuknya. Saya menggelengkan kepala berkali-kali. Hanya
dengan memperhatikan seperti ini saya menyimpulkan kalau dia bukanlah orang
kaya. Hanya karyawan biasa yang ngaku-ngaku orang kaya. Sekilas, saya pun
melihat tanda pengenalnya. Dia bekerja di perusahaan milik negara orang.
Mungkin itu yang bikin dia sombong tak terkira.
Ups...
Bukannya saya menghina tampilan, ya. Saya hanya menganalisis dari ujung
rambut hingga ujung kaki. Efek keranjingan nonton UK Series Sherlock Holmes.
Hehe...
Sedangkan ibu pedagang nasi, meskipun penampilannya lusuh dan bicaranya
kasar, namun dia tulus menolong orang. Dari mulai di stasiun Tanah abang sampai
di dalam Kereta. Beberapa ibu yang hampir jatuh ditolongnya. Belum lagi
orang-orang yang dia bantu bawakan barangnya. Semua dia lakukan tanpa pamrih.
Saya hanya mengamati, karena kejadian tersebut tepat di depan saya. Yang
lebih mengesalkan lagi adalah ketika ada seorang wanita, mungkin seumuran saya.
Sepertinya dia juga pegawai kantoran, mengernyit sinis dan dengan sengaja
memotret ibu-ibu berpenampilan lusuh yang sedang memegang bakul dagangannya.
Saya tahu, pastinya dia mau aplod. Dan benar ternyata. Dia aplod di sosial
media. Makin membuat saya geleng-geleng kepala. Hal seperti ini nampaknya lucu
dan bisa buat jadi bahan lelucon buat dia dan teman-temannya di sosial media
nanti.
Ibu berwajah tulus di sebelah saya berkata pada saya, “Neng, yang kayak
gini ini biasa kok. Ibu sering ngalamin. Orang miskin mah sudah kebal dibeginikan,
neng.”
“Tapi kan nggak boleh begitu, bu. Kita sama-sama kok naik kereta ini.
Sama-sama bayar juga. Kita punya hak yang sama.” Kata saya tak setuju.
Ibu itu hanya tersenyum. “Ini Jakarta, neng. Semua bukan masalah nggak
bisa apa nggak boleh. Tapi siapa yang kaya, siapa yang miskin.”
Saya terdiam, tapi dalam hati menggeram. Bisa ya seorang manusia bersikap
seperti itu pada sesamanya? Nalurinya seolah mati. Atau terpental jauh dari
hatinya. Saya sangat kesal saat itu, hingga ingin menangis rasanya.
Ibu itu mengusap bahu saya. “Semoga neng nanti jadi orang berhasil, bisa
belain kita-kita yang miskin.” Kata ibu itu.
Saya memang tak pandai menyembunyikan perasaan marah dan tak suka.
Pastinya tergambar jelas di wajah saya sehingga saya tak heran tidak hanya ibu
itu yang bisa membaca pikiran saya. Duh kok jadi emosional begini, ya?
Sampai di Stasiun Rawa Buntu BSD, saya mengucapkan salam perpisahan pada
teman-teman seperjalanan. Mereka tersenyum lebar. Sampai ketemu lagi, kata saya
pada ibu berwajah tulus yang menemani saya sejak tadi. Dia pun tersenyum.
“Semoga nggak telat sampai bandara, neng.”
Saya mengangguk, mengaminkan lalu turun dari kereta. Jam menunjukkan
pukul 15.45. Adik saya sudah menunggu di depan stasiun, dan kami pun bertukar
tas. Dia mengambil tas laptop saya, dan saya mengambil tas berisi pakaian
renang yang dia bawakan dari rumah. Lima menit untuk keluar dari stasiun Rawa
Buntu. Saya langsung menyetop taksi, dan bilang pada supir untuk ngebut karena
harus terbang jam 17.30.
Supir taksi pun menjawab “Siaap!!!”
Duh...padahal macet. Supir berusaha mencari jalan tembus yang tidak
macet. Kalau perjalanan normal dan pintu M1 tidak ditutup, BSD-Bandara dapat
ditempuh selama 30 menit, maksimal 45 menit. Namun kali ini perjalanan tidak
normal karena jam pulang kantor, dan pintu M1 ditutup karena proyek MRT.
Untungnya, saya sudah dicheck-in kan oleh teman. Dan setelah macet juga
menempuh jalur yang berputar-putar, akhirnya tepat jam 17.00 saya merapat di
terminal 2F. Bersamaan dengan supir taksi, kami pun mengucapkan
Alhamdulillah...
Ini perjalanan paling melelahkan yang pernah saya lalui. Bukan dari segi
jaraknya. Tapi menguras hatinya itu lho...
Saya yang tadinya berpikir bahwa saya salah ambil keputusan naik kereta,
akhirnya dikasih kesadaran oleh Tuhan bahwa semua hal, sudah diaturNya dengan
sangat indah. Cuma seringkali kita saja yang nggak sabar, berburuk sangka pada
Tuhan, dan merasa kepentingan kita diatas segalanya. Dari perjalanan ini saya
belajar kalau ternyata tidak semua orang itu baik. Tidak semua orang
pengertian. Tapi sayalah yang beruntung karena saya dikelilingi oleh
orang-orang baik. Saya dianugerahi Tuhan teman-teman yang tulus dan baik
hatinya. Teman-teman yang pengertian pada saya dan pada sesama manusia. Teman-teman
yang InsyaAllah selalu membawa saya ke jalan yang baik. Mereka dipilihkan
langsung oleh Tuhan buat saya, dan saya buat mereka. Diatas segalanya, saya
dilahirkan dari keluarga yang menjunjung tinggi kejujuran. Itulah sejatinya
kebahagiaan saya. Karena tanpa kehadiran mereka, saya sungguhlah bukan apa-apa.