Search This Blog

Wednesday, March 19, 2014

MOVE ON Itu....



Akhir-akhir ini kata-kata “move on” populer luar biasa. Nggak di TV, di radio, di majalah, di lingkungan sekitar, kita sering banget dengar kata-kata ini. Asal kata dari bahasa Inggris, yang menurut saya pribadi sih nggak ada serapan bahasa Indonesia yang pas, yang mampu mewakili makna “Move On”. 

This image took from austinmccann.com
Nah, kalau diperhatikan, “move on” biasanya diucapkan sama sahabat atau orang terdekat yang sudah geregetan melihat kamu yang mengalami gejala berikut :

  1. Patah hati akibat diputusin, atau ditinggal pacar selingkuh, atau ditinggal pacar kawin, atau ditinggal pergi selamanya.
  2. Nangis dimana-mana. Nggak di kamar, di WC, di angkot, di mobil, dimana-mana deh pokoknya. Nggak peduli kamu mau cowok atau cewek. Kelakuannya nggak jauh beda. 
  3. Curhat berlebihan, dan isi curhatannya yang itu-itu saja.
  4. Galau sampai kebanyakan ngelamun dan menyebabkan timbulnya syndrom ayam sakit bagi si penderita kegalauan tersebut. Lemah, letih, lesu, tak bergairah.
  5. Marah-marah terus, hingga semua kena efeknya. Siapapun dimarahin, tanpa pandang bulu.
  6. Nggak pedulian sama lingkungan sekitar. Merasa seolah dirinya adalah manusia paling menderita di muka bumi. Kalau ada orang lain yang lebih menderita, maka kamu hanya menganggap orang tersebut akting belaka.
  7. Ngehang. Nah...ini yang sudah kronis. Perlu masuk UGD. Unit Gangguan Djiwa :D

Gejala di atas nggak berurut. Saya hanya mengejawantahkan saja hal-hal yang kebetulan berlarian di benak dan pikiran saya.
This Image took from lintas-terbaru.com
Dear, urusan putus cinta memang bisa dikatakan sebagai urusan paling berat dari segala urusan yang ada di dunia. Kenapa?

Karena disitu yang terlibat adalah hati. Dimana hati adalah sesuatu yang abstrak, namun bisa mengendalikan emosi, ego, superego, pikiran, perasaan hingga terinterkoneksi ke jiwa dan raga. Kalau hati sudah terganggu dan tidak nyaman, maka pikiran pun jadi melayang tak tentu arah. 

Bisa jadi, akibat putus cinta kamu merasakan hati kamu teramat sangat sakit. Sialnya, hanya kamu yang bisa merasakan. Orang lain NGGAK. Sesimpatik-simpatiknya orang sama kamu, segimanapun perhatian orang lain ke kamu, tetap saja mereka nggak bisa merasakan secuil pun yang kamu rasakan. Meskipun kamu sudah membaginya dengan curhat penuh emosi dan berapi-api hingga mulutmu berbusa. Ketika menyadari hal ini, maka tanpa sadar perasaan sedih berkepanjangan atau bahkan dendam membara yang terus tersulut oleh panasnya hati mencuat ke permukaan. 

Sebagai manusia, tentunya punya hasrat untuk membalas dendam. Manusiawi lah ya....minimal, nonjok orang yang sudah membuat hati sakit dan mempermainkan perasaan. Kalau tak pandai-pandai mengekangnya, maka bisa terjadi malapetaka. Contohnya seperti yang baru-baru ini gencar diberitakan di televisi. Ada remaja yang dengan kejam membunuh mantan pacarnya karena dirinya belum bisa move on

Well...move on memang bukan perkara mudah guys. Karena otak dan hati manusia nggak bisa di reset secara otomatis. Manual aja susah apalagi otomatis coba? Maka klise banget kalau ada orang yang bilang, “Move on itu gampang kok.” Lantas belagak nggak peduli dengan mengatakan, "I'm okay.". Hmm...Saya yakin orang yang ngomong gitu justru sedang menyembunyikan perasaannya sendiri.  He/she said that they don't care, but deep inside, I'm sure it hurts.

This image took from untukseseorang.com
Meskipun sulit, Move on tetap wajib dicoba, sebelum kamu terkena galau syndrome makin parah, hingga akhirnya malah merusak diri kamu dan menyakiti orang-orang terdekat kamu. Mereka yang sebenernya sangat care sama kamu, tapi lama-lama enek menghadapi kelakuan  kamu yang “bak ayam sakit.” Siapa yang tahan?

Sedikit tips buat yang pengen move on dan yang sudah mencoba tapi belum berhasil move on:

  1. Yakini bahwa segala rasa kehilangan dan sakit hati itu bisa disembuhkan oleh waktu. Selama waktu masih berlalu dan bergulir, maka rasa sakit hati dan kehilangan pasti bisa terobati.
  2. Berhenti stalker-in facebook, twitter, instagram, path, atau media sosial lainnya hanya untuk memantau kelakuan mantan kamu. Karena makin kamu ulik, maka semakin kamu sakit.
  3. Hapus semua yang dapat mengingatkan kamu tentang masa lalu. Love letter, email rayuan gombal, history whatsapp/bbm/line/media chat lainnya, buang semua. Dan jangan sisakan. Tapi kalau mantan kamu pernah ngasih barang berharga, jangan dibuang. Jual saja, lebih bermanfaat dan menghasilkan. Hehehe...
  4. Ingat bahwa nggak satupun masa lalu yang bisa jadi pedoman hidup kamu di masa depan. Nggak satupun. Yang menentukan keberhasilan kamu adalah kamu yang sekarang. Masa lalu nggak lebih dari spion yang sesekali saja dilihat, supaya kamu nggak nabrak.
  5. Terus perbaiki diri. Sehingga akhirnya kamu sadari bahwa bukan kamu yang tak pantas untuknya, melainkan dia yang tak pantas untukmu.
  6. Percayai hal ini : Stoknya Tuhan tuh banyak. Nggak cuma satu dua. Kalau Tuhan mampu menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi, juga galaksi dengan sedemikian lengkap dan indahnya, masa iya Tuhan nggak mampu menciptakan stok yang indah dan menakjubkan untuk kamu? 
Tapi....stok yang berkualitas seperti itu hanya bisa kamu dapatkan kalau kamunya juga berkualitas. Kalau kamunya nggak mau move-on, nggak memperbaiki diri, dan masih setia bertengger di kelas “ece-ece”, mana mungkin Tuhan kasih salah satu stok terbaiknya buat kamu? Inget lho...segala yang diciptakan di muka bumi ini berpasangan, dan semua pasangan tersebut sejatinya sekufu. Selaras, serasi, setimbang.

Dan satu lagi...hanya orang-orang sabarlah yang jadi juaranya.

So, mungkin statement saya ini bisa mewakili :

“MOVE ON itu (tidak) mudah, tapi (bisa) dilewati”

Monday, March 10, 2014

Berteduh di Gereja Katedral, bersujud di Masjid Istiqlal - One Day going around The Old Town of Batavia (Part 3)



Dengan menumpang taksi dari Jalan Sabang, kami pun diantar ke Gereja Katedral yang terletak di Jl. Katedral 7B. Bangunan tinggi menjulang, dengan arsitektur yang rumit sekaligus mengagumkan. Awalnya saya sempat ragu, apakah saya dan salah seorang sahabat diperkenankan masuk ke kawasan Gereja tersebut, mengingat kami berdua mengenakan jilbab. Namun kekhawatiran itu sirna ketika Pak Satpam justru mempersilakan kami untuk masuk, dan menikmati teduhnya halaman Gereja Katedral, Gereja Khatolik terbesar di Indonesia. Hal ini dikarenakan, Gereja Katedral sudah menjadi salah satu kawasan wisata. Hanya saja jika hendak masuk ke dalam bangunan Gereja, hendaknya melihat apakah sedang ada Misa atau tidak. Ya, tentu. Kita tidak boleh mengganggu ibadah mereka.
Gereja Katedral Jakarta
Interior Gereja Katedral Jakarta
Kami pun berpose di Goa Maria, juga menyusuri teduhnya halaman Gereja. Kepala saya mendongak, melihat betapa tingginya Gereja Katedral ini. Di rooftop terdapat lonceng yang biasanya berbunyi jika ada Misa maupun peristiwa penting lainnya. Sungguh indah. Dua orang sahabat saya pun menyempatkan diri berdoa di dalam Gereja. Sedangkan saya dan sahabat saya yang muslim, tidak berniat untuk masuk ke dalamnya. Karena meskipun diperbolehkan, saya takut nantinya malah mengganggu kekhusyukan jemaah yang sedang berdoa. 
Goa Maria di Kawasan Gereja Katedral Jakarta
Berpose dengan latar belakang Menara Gereja
Masjid Istiqlal
Masjid Istiqlal (foto diambil dari halaman Gereja Katedral)
Lebih indahnya lagi, dari Gereja ini kita dapat melihat kemegahan masjid Istiqlal dengan kubahnya. Sungguh memberikan perpaduan nuansa yang harmonis antar umat beragama. Masjid Istiqlal merupakan salah satu masjid terbesar Indonesia, juga di Asia Tenggara. Kalau tadi kami yang muslim terkagum-kagum dengan arsitektur Gereja Katedral, kini giliran tiga orang sahabat saya yang terkagum-kagum melihat Masjid Istiqlal. Interiornya sungguh memberikan kesan betapa megah dan agungnya Masjid yang dibangun pada tahun 1970 ini.
Ika berpose di dalam Masjid Istiqlal
Di kubahnya terukir rangkaian kaligrafi menawan yang tentunya sulit dipahami oleh rekan-rekan saya yang non muslim. Saya pun dengan senang hati menjelaskannya, kalau tulisan tersebut berartikan kalimah syahadat yang senantiasa diucapkan oleh kami, juga  sebagai syarat menjadi seorang muslim. Saking cantiknya kaligrafi tersebut, salah seorang sahabat saya berpose dengan aneka gaya. Katanya, “Kapan lagi bisa masuk masjid ini?”  Saya pun tersenyum melihat tingkahnya yang lucu. Beberapa saat kemudian, kami pun membahas tentang islam. Rekan-rekan saya yang non muslim mengeluhkan sikap seseorang yang mengaku muslim namun justru seringkali menyulut permusuhan dengan pemeluk agama lain. Kami yang muslim pun merasa perlu meluruskan, bahwa sejatinya, Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian juga toleransi pada sesama manusia. Tidak ada pemaksaan, tidak ada pula anarkisme dalam ajaran Islam. Bahkan Allah pun berfirman dalam Al-Quran, “bagiku agamaku, dan bagimu agamamu.”
Luasnya Masjid Istiqlal
Menara Adzan Masjid Istiqlal
Sore menjelang, kami pun naik taksi ke stasiun Tanah Abang. Menunggu Commuter line yang mengantarkan kami kembali ke BSD. Kalau tadi kami ke Pelabuhan Sunda Kelapa untuk menikmati pemandangan, kini di akhir petualangan kami, kami berlabuh di rumah saya untuk menikmati hidangan khas Indonesia buatan mama saya tercinta. Seharian keliling Jakarta, Sungguh menjadi pengalaman tak terlupakan.

Love you Guys, Mbak Nik, Mbak Idha, Mbak Susi, and Ika for the time and trip with me. Next time we should going around Indonesia for enjoying the wonderful places. InsyaAllah :)

Bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa - One Day going around The Old Town of Batavia (Part 2)

Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta
Terletak di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara, Pelabuhan Sunda Kelapa menawarkan eksotisme Teluk Jakarta yang tak banyak dilihat orang, bahkan mungkin sedikit terabaikan. Namanya yang dulu berjaya di kawasan Asia, kini justru seolah menyingkir dari hiruk pikuk dan kemajuan Kota Jakarta.

Kalau kita menilik sejarah perdagangan rempah dunia, Pelabuhan Sunda Kelapa berperan penting di dalamnya. Tempat ini sudah dikenal semenjak abad ke-12, dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Pajajaran. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah melempar jangkarnya di tempat ini, untuk memperdagangkan hasil bumi maupun kerajinan dari daerahnya masing-masing. Pelabuhan Sunda Kelapa pun menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Pajajaran yang saat itu beribukota di Pakuan (Sekarang bernama Bogor). Sisi menarik lainnya, desa-desa di sekitar Pelabuhan ini juga merupakan cikal bakal Kota Jakarta, yang hari jadinya ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1527.

Desis kagum meluncur dari mulut kami begitu melihat Kapal-Kapal Phinisi bersandar dengan anggunnya. Badan Kapal yang terbuat dari kayu terlihat kokoh dengan kekhasan Indonesia. Sentuhannya membuat kami serentak menyanyikan lagu “Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera, menerjang ombak, tiada takut, menempuh badai, sudah biasa.” 

Berpose dengan latar belakang Perahu Phinisi
Dari depan ke belakang (Ika, Saya, Mbak Idha, Mbak Nik, Mbak Susi)
Mentari yang bersinar sangat terik siang itu pun tak sedikitpun menghalangi kami untuk menikmati keindahan Pelabuhan ini. Melihat dari banyaknya kapal yang bersandar, saya hanya menebak kalau mungkin Pelabuhan Sunda Kelapa masih berfungsi. Hanya saja tidak sesibuk pelabuhan besar lain. Menurut informasi yang saya baca dari beberapa media online, pelabuhan ini akan nampak sangat cantik saat mentari menyusup malu-malu di balik awan, ketika dia hendak kembali ke peraduannya. Bias sinar lembutnya menerpa lautan hingga memancarkan pesona keemasan pada setiap kapal Phinisi yang bersandar. Duh cantiknya....

Sayang, kami belum dapat menikmatinya di malam hari. Mungkin lain waktu.

Perjalanan pun kami lanjutkan ke Jalan Sabang, untuk sekedar mengisi perut. Jalan yang biasanya dipenuhi oleh penjual aneka kuliner ini pun nampak sepi. Hanya ada dua restaurant yang buka. Selebihnya, sedang menikmati liburan idul fitri. Kami pun memilih restaurant bernuansa melayu yang menunya familiar di lidah kami. Cukup untuk membuat energi kami terisi penuh kembali, dan melanjutkan petualangan Jakarta City Tour.


Bersambung ke  One Day going around The Old Town of Batavia (Part 3)