Sayang, aku dalam sebuah
perjalanan lagi.
Banyak sekali peristiwa yang
kulalui beberapa hari belakangan ini. Banyak pelajaran yang kupetik. Sayangnya
kau tak berada di sampingku.
Sulitnya berkomunikasi denganmu,
membuat waktu terasa begitu mahal. Kesibukanmu, kesibukanku, dan ketidaksiapan
kita membuat kita belum dapat dipertemukan. Maka dari itu, tak apa lah kali ini
kutampung ceritaku dalam sebuah goresan pena. Kuharap kau akan membacanya
nanti.
Sayang...peristiwa demi peristiwa, kejadian demi kejadian, dan makin banyaknya menapaki sebuah perjalanan semakin meyakinkan aku, kalau hidup adalah sebuah skenario. Ada penulis,
ada sutradara, ada produser, ada kru, dan ada artisnya.
Jika kita berada dalam dunia
"skenario versi manusia", maka seringkali antara penulis, sutradara
dan produser adalah orang yang berbeda.
Karena apa?
kemampuan manusia berbeda,
sayang...Kemampuan manusia terbatas. Manusia, punya kekurangan. Kalaupun ada
yang sanggup memerankan ketiganya, tetap saja ada kurangnya. Tidak maksimal.
itu bahasa yang sering digunakan oleh manusia. Bahkan ada peribahasa yang
mengatakan, kalau kau duduk diantara dua kursi, niscaya kau akan terjatuh
diantaranya.
Lain halnya pada skenario
kehidupan. Penulis, Sutradara, dan produsernya bisa dipastikan, SATU.
Ya.
Hanya satu.
Dia, mempunyai kemampuan tak
berbatas. Dia sanggup menjadi apapun, siapapun, dan bertindak apapun. Dia yang
menjadikan tiada menjadi ada, yang ada menjadi tiada, yang tak mungkin jadi
mungkin.
Dia sang penulis skenario, yang
menceritakan semuanya. Semua, sayangku... tanpa ada satu hal pun yang tak
tertulis atau terlewatkan. Termasuk cerita tentang kita. Dia tuangkan dalam
sebuah buku. Buku skenario yang isinya
takkan dapat ditiru oleh makhluk manapun di dunia ini. Buku Skenario yang tak
seorang pun dapat menebak, kemana arahnya. Karena tak seorangpun dapat membuka
lembar berikutnya, sebelum tiba saatnya.
Buku skenario itu dinamakan,
Kitab Lauhul Mahfudz.
Dia menciptakan setting lokasi,
kostum, peralatan, perlengkapan, maupun segala yang diperlukan demi menjalankan
skenario kehidupan.
Itulah Dunia dan segala isinya.
Dia sang sutradara. Bedanya, Dia
tak melakukan proses casting untuk para aktor dan aktrisnya. Tetapi menciptakan
sendiri aktor dan aktris yang dikehendakiNya. Dia tiupkan ruh, Dia titipkan nyawa, Dia titipkan akal, pikiran,
dan hati.
Kitalah yang berperan dalam
skenario tersebut. kita aktor dan aktrisnya.
Dia punya Kru untuk mendampingi
para aktor dan aktrisnya. Lagi-lagi, kru tersebut Dia ciptakan sendiri. Tanpa
melalui proses rekrutmen. Dia ciptakan kru tersebut dengan zat yang berbeda
dengan manusia. Zat yang tak kasat mata. Zat yang kita kenal sebagai cahaya.
Merekalah Para Malaikat.
Dia perintahkan kruNya untuk
mencatat setiap adegan. Sejak kita
dilahirkan, sampai nanti di akhir cerita. Kuberitahu padamu, sayang...Manajemen
kearsipan mereka jauh lebih canggih dari teknologi database tercanggih yang ada
di dunia ini. Setiap adegan dicatat rapi. Tidak ada yang meleset, salah tulis,
salah tanggal dan lain sebagainya. Semua tercatat rapi, berikut Tahun, Bulan,
Minggu, Hari, tanggal, jam, menit, hingga detiknya. Jika akting mereka bagus,
maka para kru yang berada di sebelah kanan mencatatnya satu kali. Dan Dia
melipatgandakan bonus, dengan memberikan nilai antara 7 hingga 700 kali lipat
kebaikan. Jika adegan yang dilakukan aktor dan aktris itu salah, maka kru
mencatatnya satu kali. Disinilah kebijaksanaan sang sutradara. Dia hanya
memerintahkan para kru untuk mencatatnya satu kali.
Adegan itulah yang dinamakan
amalan dan dosa.
Sekali lagi kubilang disini,
kitalah yang manjadi aktor dan aktrisnya. Kita...manusia.
Kita, yang menjalani skenario
yang telah dibuatnya dengan amat sempurna. Skenario yang amat indah, adil, dan
tak memihak. Kita bahkan diperkenankan mengubah nasib kita dalam skenario itu. Dengan
sebuah usaha.
Kita juga bisa mengubah takdir
yang Dia gariskan, dengan DOA.
Lantas, apa yang kurang dari Nya?
Kalaulah analogi itu bisa
diterima oleh manusia dengan pemahaman dan keyakinan yang baik, tentunya tak
ada lagi kegalauan dan keresahan yang menyelimuti hati. Tak ada lagi ketakutan
akan masa depan. Tak ada kata tak menerima sebuah kehilangan.
Karena pada dasarnya, Dunia ini
panggung sandiwara.
Sebuah sandiwara, pastilah ada
endingnya.
Happy, hanging, or sad ending.
Bedanya, kalau dalam sebuah
sandiwara dengan hanging end, kita sebagai penonton diperkenankan berimajinasi
sendiri. Pada kasus selesainya pementasan skenario kehidupan, hanging end akan
diselesaikan oleh sang penulis, sutradara, sekaligus produsernya.
Dia memastikan dalam firmanNya,
kalau Dia menguasai hari pembalasan. Hari dimana amalan dan dosa selesai
ditimbang. Barulah dengan keadilan langit, bumi, dan segala yang bernaung di
dalam galaksi, Dia memutuskan balasan apa yang pantas untuk sang aktor dan
aktris.
Buat aktor dan aktris yang sukses
memainkan perannya, diberikanlah padanya Penghargaan berupa Piala surga.
Sisanya, kau tebaklah sendiri. Kemana kiranya para aktor dan aktris yang tak
sukses.
Sayang...sudah dulu yaa..
Kuceritakan lagi isi hati dan pikiranku
di lain waktu. Namun kuminta, kau sabarlah menungguku. karena aku pun demikian.
Saat notes ini kutulis, kata Pilot aku sedang berada
sekitar 39000 kaki di atas permukaan laut, Di atas langit, entah langit yang
keberapa. Namun kurasa bukan langit ketujuh.
Salam Sayang,
Arum Silviani