Awal mula cerita ini pada tahun
1999. Saat itu saya baru jadi siswa SMA. Lagi seneng-senengnya pakai baju putih
abu-abu. Berasa paling keren deh pokoknya. Di tengah mengikuti pelajaran
tiba-tiba saya dipanggil ke aula. Dalam hati sudah berpikir buruk. Jangan-jangan
mau dihukum. Mengingat kalau saya tuh bandel. Paling sering terlambat.
Saya dipanggil ke Aula, dan
disana sudah berkumpul begitu banyak kakak-kakak kelas saya. Kami yang kelas 1,
masih unyu-unyu dan hanya segelintir, datang dengan bingung sekaligus malu. Ya iyalah,
yang berdiri di Aula saat itu adalah kakak kelas kami yang beberapa waktu lalu
mengospek kami tanpa ampun. Galaakkk! Tapi ternyata, sekarang kami akan jadi satu
tim untuk paduan suara pada Aubade. Atau upacara penurunan bendera saat hari
kemerdekaan.
Pelatih kami, Pak Silverius
adalah salah satu guru yang killer. Setiap mengajar tak pernah lupa berkata, “kacang goreng.” Entah darimana
sejarahnya, yang pasti kata-kata itu jadi trademarknya. Bahkan pernah suatu
waktu, salah seorang temanku menghitung berapa kali Pak Silver mengatakan
kacang goreng. Di turus dongg...dan ternyata bisa seratus kali lebih dalam dua
jam pelajaran!
Kembali lagi ke Aula, Pak Silver
menjelaskan, berhubung kami dianggap sebagai SMA khatolik yang paduan suaranya
paling top, maka kami terpilih untuk tampil jadi paduan suara aubade. Normalnya,
paduan suara aubade diikuti oleh minimal 100 orang. Namun kami, hanya sekitar
40 orang pada saat itu. Baru tahu pas gladi bersih. Bingung karena satu kompi
tentara sudah siap untuk mengiringi kami, dengan alat musik super lengkap. Komandan
upacara kaget melihat kami yang datang hanya sedikit. Dengan gusar, beliau
menghampiri pelatih saya. Berikut kurang lebih percakapan mereka :
Komandan Upacara : “Pak, anak-anak belum datang semua?”
Pak Silverius : “Sudah. Sudah saya absen,
dan lengkap semua.”
Komandan upacara mengerutkan
keningnya. “Kami minta 100 orang, pak. Kenapa hanya segini?” tanyanya seraya
menatap kami satu per satu. Keraguan jelas terlihat di matanya.
Pak Silverius juga awalnya agak
kaget dengan permintaan pak Komandan. Namun beliau kelihatan tetap tenang,
senyum pula. Beda banget tuh sikapnya kalau lagi ngajarin kami nyanyi.
Karena pak Komandan berdiri tepat
di depan saya sambil mengacakkan pinggangnya, saya bisa lihat ekspresinya. Biasanya,
kalau tentara bersikap seperti itu kan kalau lagi marah, tapi dia, jadi lucu. Kayak
galau berat. Dia bergumam, “Waduh...gimana ini...apa bisa terdengar dengan
paduan suara sedikit seperti ini.” *garuk-garuk kepala.
“Percayalah pak, ini yang terbaik.”
Kata Pak Silver akhirnya. Ya. Gimana nggak terbaik, dari sekitar 120an orang
yang hebat-hebat dalam menyanyi, dieliminasi jadi 80, eliminasi lagi jadi 60,
eliminasi lagi jadi 45, dan akhirnya, hanya 40 yang diloloskan oleh Pak
Silverius. Kami juga latihan keras setiap hari. Muter-muter lapangan SMA Yos
Sudarso yang lebarnya kayak bulak sawah, setiap hari selama dua bulan
berturut-turut. Push-up, loncat-loncat, olahraga, sudah kayak atlit deh. Kalau kami
telat latihan, Aula juga kami kelilingi selama sepuluh kali. Belum lagi sikap tegas
Pak Silver saat mendidik kami. Wuihhh...sampai saya duduk di perguruan tinggi, dia
tetap memecahkan rekor sebagai guru vokal tergalak, yang pernah saya punya.
Namun sore itu, beliau menatap
kami satu per satu. Dengan bijak beliau berkata, “Anak-anakku sekalian, jangan
minder. Segala yang kita lakukan, tiada yang tanpa arti. You semua memang hanya
empat puluh, tapi you, you adalah yang terbaik dari yang paling baik. Bagaimana,
you semua sanggup?” tanya beliau.
Kami mengangguk bersemangat. “Sanggup!”
Pak komandan dan para tentara
pengiring musik kami sampai kaget melihat semangat kami ini. namun demikian,
Pak Komandan berkata, “Pak Silver, kalau misalkan pada gladi bersih ini dirasa
kurang, bapak harus siap tambah personel.”
Pak Silver mengangguk takzim,
sambil menangkupkan tangan di dadanya. Sungguh, beliau membuat saya sangat
terharu. Tidak ada keraguan beliau terhadap kami. Sedikitpun tidak ada. Jika saat
kami latihan kami selalu dimaki-maki, dihardik, dan dibilang tidak pernah
menyanyi bagus dan kurang powerfull, namun kali ini, pak Silverius justru
sangat yakin. Meskipun kami hanya 40 orang.
Dan akhirnya kami di test oleh
para tentara itu. Mereka mengiringi kami. Gelegar musik membahana seketika,
membuat keramaian di sekitar alun-alun berhenti untuk sementara waktu. Dalam hati,
bagus banget mereka mainnya...kelihatan niat dan latihan yang memang
sungguh-sungguh.
Lagu pertama, Berkibarlah
benderaku.
Lagunya bersemangat kan? Jadi membuat
kami tim 40 ikut bersemangat. Tanpa mike, kami mulai menyanyi. Komandan yang
awalnya pesimis melihat kami, kali ini terkaget-kaget. beliau terlihat
berbisik-bisik pada pelatihku. Tersenyum. Geleng-geleng kepala.
Dan selesai kami menyanyi, beliau
justru bertepuk tangan. “Kalian hebat. Saya nggak menyangka kalian bisa bagus
sekali nyanyinya. Padahal nggak pakai pengeras suara.”
Namun satu masalah terjadi lagi. Kami
nggak punya Dirigen. Karena biasanya kami menyanyi pakai feeling. Padahal,
dalam aubade tentunya butuh dirigen. Akhirnya pak Silver mencomot salah satu
dari kami. Kakak kelasku maju dengan terpaksa. Nah kakak kelasku ini ditraining
selama kurang lebih satu menit, langsung bisa! Hebat kan? Hahaha...the power of
kepepet guys. Lagu demi lagu kami nyanyikan. Selesai gladi bersih semua tentara
yang hadir bertepuk tangan untuk kami. Bilang kalau soal paduan suara, Yos
Sudarso memang tak diragukan lagi.
Esoknya kami tampil lebih rileks.
Pengeras suara dipasang lebih banyak dari biasanya. Karena lagi-lagi, banyak
pihak yang meragukan tim-40 kami. Sampai akhirnya giliran kami menyanyi. Lantunan
demi lantunan lagu kebangsaan mengalun indah. Beberapa lagu menggugah semangat,
lagu lainnya mengalir lembut. Lagu “Syukur” yang kami nyanyikan sudah diaransemen
ulang oleh Pak Silverius. Membuat bulu kuduk makin merinding. Dan selesai
upacara, kami bisa berdiri tegak, bahkan kami diberikan penghargaan lewat
pujian yang mengalir tanpa henti. Baik dari pejabat, para peserta upacara yang
merupakan perwakilan para guru dan dosen yang ada di kabupaten ini, dan juga
oleh Pak Silverius. Bapak yang galak itu terlihat tersenyum dengan mata berkaca-kaca
setelah kami “menunaikan tugas”. Beliau menatap kami penuh kebanggaan, tanpa
keluar kata, “Kacang goreng.”
Kalau saya ingat peristiwa itu,
saya selalu tersenyum. Timbul rasa cinta yang dalam terhadap bangsa ini. Padahal
saya cuma nyanyi. Dan saya juga selalu ingat pak Silverius dengan keyakinan
yang ditanamkannya pada kami. “Semua yang kita lakukan, tiada yang tanpa arti.”
“Cintai negerimu, cintai bangsamu, dan buat sesuatu yang bermanfaat buat negara
kita, Indonesia.”
Pak Silver mengajarkan kami
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jarang banget di kelas beliau bahas
materi yang ada di silabus. Beliau lebih sering mengajarkan kami menyanyi
lagu-lagu daerah dan lagu-lagu kebangsaan. Dalam materi, memang kami tidak
hebat. Tidak hafal undang-undang, butir-butir pancasila, dan lain sebagainya
soal PPKN. Tapi efek yang saya rasakan, justru lebih jauh dari itu. lewat lagu,
beliau menanamkan pada kami soal kecintaan pada bangsa dan negara ini.
“Kalau you mau berhasil, you
musti ikut cara para pahlawan kita berjuang. Jangan hitungan sama bangsa ini. Karena
setiap you kasih ke orang suatu manfaat, maka Tuhan akan kasih you jauh lebih
banyak.”
Belakangan saya baru tahu. Pak
Silverius memang orang Flores, namun beliau punya banyak saudara di Timor-Timur.
Saat Timor-Timur melepaskan diri dari NKRI pada 4 September 1999, atau kurang
dari sebulan setelah kami mengikuti Aubade, pak Silverius nampak sangat sedih. Betapa
tidak, adiknya adalah salah satu dari warga negara Indonesia yang ikut berjuang
dalam lepasnya Timor-Timur. Bahkan termasuk orang penting dalam sejarah
lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Pada saat itu keadaan keos. Pak Silver
terpisahkan dengan adiknya juga saudara-saudaranya. Suatu waktu pak Silver
cerita pada kami di depan kelas. Beliau diajak untuk pindah jadi warga negara
Tim-Tim, yang telah berubah nama jadi Timor Leste. Beliau dengan tegas menolak.
“Sejak lahir darah yang mengalir
di tubuh saya adalah darah orang Indonesia. Saya dilahirkan di Indonesia, mati
pun di Indonesia.”
Luar biasa kan?
Dulu saya nggak ngerti-ngerti
amat soal betapa sakitnya kehilangan keluarga satu darah, sebangsa, dan setanah
air, yang justru memilih memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sekarang, saya bisa memahami itu. betapa setelah dibesarkan bersama,
minum air di tanah yang sama, dengan perjuangan yang sama, tiba-tiba menjadi
orang lain. Tak lagi jadi saudara satu bangsa.
Sayangnya, saya tidak lama
mengenal Bapak yang satu ini. Beliau memutuskan untuk kembali ke Flores. Di suatu
sore saat kami selesai latihan vokal, beliau berkata, “Sudah cukup saya menimba
ilmu disini. Sekarang saatnya saya kembali ke tanah kelahiran saya, yang lebih
membutuhkan saya.”
“You harus janji sama saya, kalau
you semua tidak akan pernah berhenti menyanyi.” Begitu tukasnya. Kami hanya
mengangguk, sedih harus berpisah dengan beliau. Saya masih ingat lagu terakhir
yang beliau ajarkan pada kami,
Jumpa untuk berpisah
walaupun terlalu manis untuk dilukiskan
Dengan kata untuk kujadikan sebuah syair
Tetapi terlalu pahit untuk dikenang
Kenanganku, yang telah kualami bersamamu
Jangan kau harapkan, ku akan mencari gantimu
Kini ku pergi, mencari diriku sendiri
Oh, mengapa waktu itu kita harus berjumpa
Oh, mengapa kini kita harus berpisah lagi
Pak Silver, kalau saja bapak baca
tulisan ini, satu yang bapak perlu tahu,
Kami tidak akan pernah melupakan
bapak. Terima kasih atas segala jasa dan ketulusan yang bapak berikan. Semoga bapak
bisa selalu bahagia di tanah Flores sana.