Search This Blog

Sunday, July 14, 2013

Senyum Harapan dari Desa Murung Raya



Sore itu, mendung menggelayut di langit Barito Kuala. Saya bersama beberapa orang kawan menyusuri jalan rusak yang terletak di pertigaan antara jembatan Rumpiang, arah ke Barabai, dan Arah ke Daerah Aliran Sungai (DAS). Melewati jembatan kokoh buatan masyarakat setempat. Jangan anda bayangkan jembatan ini terbuat dari konstruksi sipil yang rumit. Tidak. Jembatan itu terbuat dari kayu kelapa, yang disusun seadanya demi menghubungkan anak sungai Barito dengan desa sebelahnya. Dengan hati-hati kami melintas, sampai akhirnya mobil berhenti di sebuah pelabuhan. Tujuan kami kali ini adalah desa Murung Raya. Sebuah desa di tepian sungai Barito, Kecamatan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Lengkap bukan? Saya memang sengaja menuliskannya lengkap agar kalian yang baca dapat merasakan, atau paling tidak dapat menangkap ketulusan penduduk setempat nantinya.

Jembatan Kayu Kelapa



Perahu sepit, sarana transportasi utama penduduk tepian sungai Barito




Kami berempat menunggu perahu sepit yang akan mengantarkan kami ke Murung Raya. Orang Barito bilang, taksi air. Sore itu lalu lintas air tergolong padat, sehingga kami harus menunggu antrian berikutnya. Untuk menghalau rasa panas, kami duduk di sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari kayu, mengapung di atas sungai Barito. Menatap luasnya sungai terbesar di Indonesia dan kapal tongkang pengangkut batubara yang melintas tak henti-hentinya. Membawa emas hitam kekayaan negeri, untuk selanjutnya diolah namun entah kemana pengolahannya. Saya tak terlalu memperhatikan. 




Menyandarkan perahu di tiang pancang “rakit toilet”

Sepuluh menit menunggu, perahu sepit datang menghampiri kami. Tanpa pikir panjang, saya dan beberapa kawan meloncat ke perahu tersebut. Perlu keseimbangan untuk dapat duduk di perahu ini. salah sedikit, anda bisa tercebur ke dalam sungai Barito. Perahu ini berbekal mesin penggerak yang berasal dari mesin mobil. Jauh dari kata standar, apalagi soal keamanan. Tak satupun dari kami yang dibekali pelampung. Kami hanya tinggal duduk menghadap ke depan, menyusuri sungai, hingga kurang lebih setelah dua puluh menit melaju perahu kami menepi di sebuah rakit. Ya, saya pikir tadinya itu rakit. Tapi ternyata bukan. Hanya mirip rakit yang diatasnya ada sebuah bilik dari bambu, yang ternyata dipergunakan sebagai toilet. Seorang ibu yang sedang mandi membantu kami menambatkan perahu di tiang pancang toilet tersebut. Beliau mengulurkan tangannya, seraya menyambut kami dengan senyuman ramah. Tak sedikitpun ada kecurigaan terpampang di raut wajahnya. Kami orang baru, baru dilihat, dan juga berpenampilan berbeda dengan mereka. Tapi hanya ketulusan semata yang saya tangkap dari mata dan raut wajahnya. 


Karena kurang hati-hati, salah seorang teman saya terpeleset. Dan ups...nyaris saja dia tercebur ke kedalaman sungai barito. Sang ibu pun dengan sigap menarik tangan teman saya. Dipegangnya erat, sampai teman saya bisa berdiri dengan seimbang di atas “rakit toilet” tersebut. Teman saya menarik nafas lega, sambil berkali-kali mengelus dada. Tak lupa juga dia mengucapkan terima kasih pada sang ibu. Kami menaiki tangga, langsung disambut oleh keramahan warga setempat. Karena tak ada gedung pertemuan di desa itu, maka kami diajak duduk di sebuah mushalla oleh Pak RT. Disitulah kami menceritakan maksud dan perihal kedatangan kami.
 


Mushalla kebanggaan masyarakat desa Murung Raya

Setelah berkenalan, penduduk setempat mencurahkan keluh kesah mereka pada kami. Sudah sejak Indonesia merdeka, listrik belum dapat mereka nikmati. Pernah suatu waktu, ada bantuan pemasangan sel surya (PLTS). Lampu dapat menyala. Namun hal tersebut tak bertahan lama. Karena tak dibekali dengan pengetahuan tentang perawatan sel surya, maka alat tersebut pun rusak. Dan kini hanya teronggok tak berguna di atap setiap bangunan di Murung Raya.

Briefing sebelum melakukan cek jaringan
Rumah Penduduk Desa Murung Raya

Bersama penduduk Desa Murung Raya
Saat saya dan teman-teman bercengkrama dengan para warga, beberapa anak kecil pun turut mengerubungi kami. Mereka tersenyum tulus. Sama tulusnya dengan senyum orang tua mereka. Anda perlu tahu, meskipun belum tersentuh jaringan listrik, anak-anak ini rajin belajar. Setiap harinya, mereka menyiapkan waktu dua jam untuk belajar. Dari jam tujuh, hingga jam sembilan malam. Dengan penerangan seadanya, mereka belajar. Meneguk ilmu demi mengukir masa depan yang lebih cerah. Menggantung asa, jikalau sudah besar nanti, mereka bercita-cita untuk menerangi bangsa ini. Lampu teplok dan lentera menjadi teman setia untuk membuka jendela dunia lewat membaca. Lampu teplok dan lentera yang jika digunakan, maka keesokan paginya membuat dinding ruangan jadi hitam terkena jelaganya. Hitam semua, sampai ke lubang hidung. Saya tak sedang bercanda soal ini. Kalau tak percaya, buktikanlah sendiri dengan menyalakan benda itu di salah satu bagian rumahmu. Kemudian lihat, apa yang terjadi dengan dinding dan lubang hidungmu.

2012 kawan...saat itu sudah tahun 2012. Kita yang jadi masyarakat kota selalu menjerit, padahal listrik hanya padam sehari. Atau bahkan sejam. Atau mungkin hanya beberapa menit. Termasuk saya tentunya. Baru saja padam satu jam, gelisahnya luar biasa. Tapi mereka, menunggu dengan sabar. Mereka lakukan apa yang bisa dilakukan. Minimnya fasilitas tak menjadi hambatan untuk tetap belajar, untuk tetap beraktifitas. Mereka, adalah orang Indonesia sejati yang pantang menyerah. Penerus perjuangan Pangeran Antasari, Hasan Basry, Tjilik Riwut, Panglima Batur dan para pendahulu mereka.
 
Senyuman Harapan Generasi Muda Murung Raya
Malam itu, saat saya kembali ke kamar saya yang sejuk, terang, sambil menulis laporan dengan laptop, saya termenung sejenak. Bedanya, kali ini pikiran saya dipenuhi rasa syukur sekaligus malu. Terbayang wajah-wajah tulus nan penuh harap yang saya temui siang tadi. Mereka tinggal di tepian sungai Barito sana. Mereka terus menebar senyum. Tak pernah protes, tak pernah memaki, dan tak pernah menjerit jika listrik padam. Mereka mengobarkan semangat untuk maju. Mungkin dengan tahu keadaan saudara kita di pedalaman sana, kita bisa menjadi orang-orang yang bersyukur. Teramat sangat bersyukur jadi orang Indonesia.

 
 


No comments:

Post a Comment