Mentari di Kabupaten Banjar |
Riam Pinang merupakan sebuah
tempat eksotis yang termasuk dalam wilayah Desa Pulau Nyiur, Kecamatan Karang
Intan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Kalau dalam bahasa
Banjar, Riam berarti Danau, yang biasanya terletak di daerah dataran tinggi. Begitupula
dengan Riam Pinang yang terletak jauh tersembunyi di dalam hutan karet. Dipeluk
perbukitan nan menghijau dan terlindungi dari geliat kilap dunia luar.
Tidak banyak orang yang
menyambanginya. Bukan karena ia tak cantik. Bukan pula karena ia tak memesona
hati. Melainkan karena terjalnya bebatuan dan licinnya tanah lempung seringkali
membuat nyali ciut. Hingga akhirnya, tak banyak ulasan mengenai tempat ini.
Pada suatu kesempatan di bulan
November, saya diizinkan Tuhan untuk meniliknya sebentar. Selasa Pagi hari, saya
bersama beberapa teman berangkat dari Kota Banjarbaru menuju Kecamatan Karang
Intan. Awal cerita karena ingin melihat peta jaringan listrik di salah satu kawasan
perbukitan daerah tersebut, yang kabarnya belum terjangkau oleh Gardu
distribusi PLN. Kami pun direkomendasikan menuju tempat ini.
Dari kota Banjarbaru ke Kecamatan
Karang Intan, perjalanan kurang lebih ditempuh sekitar 40 menit, dengan kondisi
jalan berkelok namun mulus.
Tanpa banyak hambatan, kami pun
tiba di sebuah bangunan kecamatan yang ternyata sangat sederhana jika
dibandingkan dengan beberapa kantor kecamatan yang pernah saya temui
sebelumnya. “Oh...ini Kecamatan Karang
Intan.” Demikian desis saya. Lega karena tidak salah jalan. Tepat di
sebelah kecamatan, ada bangunan UPJ pembantu PLN. Kami pun masuk
ke tempat itu dan menjelaskan maksud kedatangan kami. Selanjutnya, kami dipandu
untuk mengunjungi tempat tujuan. Top deh petugas disini. Meskipun bertugas
sendirian, tapi tetap semangat melayani warga, dan semangat membantu kami.
UPJ PLN Karang Intan |
Info pertama yang kami dapatkan,
tempatnya sangat jauh dari Kecamatan.
Hmm...kalau jauh sudah biasa.
Daerah yang belum terjangkau listrik negara bisa dipastikan terletak jauh dari
kecamatan dengan kondisi jalan yang tak laik.
Perlahan namun pasti, mulailah kami
melintasi desa demi desa. Di samping kanan dan kiri terlihat rumah-rumah
panggung berdiri anggun namun sangat kokoh. Saka, dinding, dan lantainya terbuat
dari Kayu Ulin yang telah menghitam. Kayu Ulin merupakan salah satu kekayaan
tanah Borneo yang tidak diragukan lagi kekuatannya. Saking kuatnya, bahkan
orang menamainya “Kayu Besi”. Karena selain kuat, kayu tersebut mampu bertahan
ratusan tahun lamanya.
Tambak Ikan dan Udang di Kecamatan Karang Intan |
Hampir setiap rumah di perdesaan
yang kami lewati memiliki pekarangan yang luas. Kalau di kota besar, pekarangan
luas digunakan untuk tempat parkir kendaraan bermotor. Sedangkan disini,
pekarangan digunakan sebagai tempat untuk menjemur biji padi, memelihara
ternak, atau sebagai tempat anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya.
Beberapa ibu nampak sedang duduk
di beranda sambil mencari kutu rambut. Hal yang sudah jauh ditinggalkan oleh
penduduk perkotaan. Saya saja terkagum-kagum melihat pemandangan ini. Sebaliknya,
mereka pun terkagum-kagum melihat kendaraan kami. Satu-satunya kendaraan
pribadi yang melaju menembus rimbunnya hutan karet.
Lepas dari perdesaan, kami mulai berhadapan
dengan rimbunnya hutan belantara. Tidak ada rumah di sekitar daerah ini. Hanya jalan
tanah berbatu terjal, becek, berliku dengan dikelilingi jurang di sebelah kanan
dan kirinya yang menyambut kedatangan kami. Lama kami melaju, kami pun bertemu
dengan sebuah mobil bak yang dimodifikasi untuk mengangkut barang dagangan dan
komoditas pertanian. Termasuk juga tabung gas. Dengan kondisi jalan yang tak
stabil, mobil tersebut menempuh perjalanan dengan sejuta risiko. Melihatnya saja
sudah ngeri.
Akses Jalan ke Riam Pinang |
Seorang Penduduk yang hendak membawa hasil bumi ke Kecamatan |
Diapit Hutan Karet |
Akses jalan di hutan Karet |
Dua jam sudah kami melaju, tak
nampak tanda-tanda dimana letak tujuan kami. Jurang terjal kini berganti
kawasan hutan karet yang tertata rapi. Jalan yang semula tanah berbatu kini
berubah menjadi jalan tanah yang dikeraskan dan layak untuk dilewati. Hawa pun
mulai sejuk karena rindangnya pepohonan yang menaungi kami. Bau tanah basah dan
dedaunan kering yang khas mulai menyeruak, membuat kami membuka kaca jendela
dan mematikan AC demi mendapatkan sensasinya.
Hingga pada suatu tempat, Amat,
supir kami yang setia mengantar keliling pedalaman Kalsel kini menghentikan mobilnya. Di
depan kami kini terbentang danau yang airnya bening, sejuk, dan menentramkan
hati. Kami pun berhenti sejenak untuk menikmati keindahannya.
Ternyata, inilah Riam Pinang. Danau
indah yang tak kami sangka ada di depan mata. Semburat matahari menyinari dari
balik rimbunnya dedaunan pepohonan liar.
Akhirnya....kami sudah sampai di
tempat tujuan. Ada beberapa rumah di depan kami. Rumah-rumah tersebut nampak
sepi. Mungkin penghuninya sedang bekerja di ladang atau sedang bertugas di
kebun karet. Hanya nampak sebuah warung yang masih buka, dan seorang ibu pemilik
warung yang menatap heran ke arah kami. Saat kami mendekat dan mengucapkan
salam, ibu itu justru berlari. Dia yang hendak kami tanyai mengenai jaringan
listrik perumahan malah lari terbirit-birit masuk kamar, menutup semua pintu
dan jendela, tak mau menemui kami. Alasannya, takut! Bahkan setelah
dibujuk-bujuk oleh petugas PLN yang menemani kami pun, ibu itu tetap tak mau
keluar rumah. Takut melihat kami.
Saya hanya menghela nafas, lalu
melihat penampilan saya dan teman saya dari atas ke bawah. Standar. Kami mengenakan
celana jeans dan blazer, juga sepatu kets. Bersih kok. Tampang kami pun tampang
baik-baik. Bahkan ada tanda pengenal yang kami kalungi.
Lama, akhirnya kami pun tertawa. Ada
ya orang yang takut sama kita-kita ini. Mungkin karena wajah dan penampilan
yang berbeda, sehingga kami dianggap orang asing. Belakangan, pak RT di Desa
Pulau Nyiur mengatakan bahwa, penduduk dusun Riam Pinang memang jarang
kedatangan tamu. Apalagi dari luar pulau. Yang mereka tahu hanyalah kebun
karet, hutan, perbukitan, dan tetangga serumpun. Mereka jarang keluar daerah,
bahkan ke Desa Pulau Nyiur sekalipun. Padahal kawasan Riam Pinang termasuk
dalam wilayah Desa Pulau Nyiur.
Selain masyarakatnya, satu lagi yang khas dari desa ini.
Durian.
Ya, salah satu jenis buah asli Asia Tenggara yang populer itu berasal dari tempat ini. Durian Karang Intan. Demikian masyarakat menyebutnya. Bentuk buahnya khas, lebih kecil dari durian pada umumnya, namun rasanya sangat manis. Sayang, karena kehabisan baterai baik kamera digital maupun handphone, saya tak sempat mengabadikan Durian Karang Intan ini.
Serunya Indonesia. Dengan ragam budaya, kekayaan, dan keindahan alam yang tak terkira. Kalau dilihat dari foto, memang tak seberapa indahnya. Tapi sekali waktu, datanglah sendiri mengelilingi bumi Borneo. Nikmati suasana dan nuansanya. Maka keindahan sejati bisa anda rasakan.
Saya hanya menggunakan kamera minim, akibat kehabisan baterai. Jangan harap bisa numpang mencharge gadget disini. Belum ada listrik di daerah Riam Pinang. Mereka menggunakan pembangkit rumahan berupa genset yang hanya diaktifkan pada malam hari saja. Dan...tebak berapa uang yang mereka keluarkan demi penerangan?
800 ribu rupiah dalam satu bulan. Hanya untuk listrik saja. Mereka sabar menghadapinya. Sehingga jadi bahan pelajaran saya. Betapa beruntungnya kita dibandingkan mereka...
Salam Indonesia,
Arum Silviani