Search This Blog

Sunday, April 20, 2014

Riam Pinang, Keindahan tersembunyi Borneo di balik Karang Intan



Mentari di Kabupaten Banjar

Riam Pinang merupakan sebuah tempat eksotis yang termasuk dalam wilayah Desa Pulau Nyiur, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Kalau dalam bahasa Banjar, Riam berarti Danau, yang biasanya terletak di daerah dataran tinggi. Begitupula dengan Riam Pinang yang terletak jauh tersembunyi di dalam hutan karet. Dipeluk perbukitan nan menghijau dan terlindungi dari geliat kilap dunia luar. 

Tidak banyak orang yang menyambanginya. Bukan karena ia tak cantik. Bukan pula karena ia tak memesona hati. Melainkan karena terjalnya bebatuan dan licinnya tanah lempung seringkali membuat nyali ciut. Hingga akhirnya, tak banyak ulasan mengenai tempat ini.

Pada suatu kesempatan di bulan November, saya diizinkan Tuhan untuk meniliknya sebentar. Selasa Pagi hari, saya bersama beberapa teman berangkat dari Kota Banjarbaru menuju Kecamatan Karang Intan. Awal cerita karena ingin melihat peta jaringan listrik di salah satu kawasan perbukitan daerah tersebut, yang kabarnya belum terjangkau oleh Gardu distribusi PLN. Kami pun direkomendasikan menuju tempat ini. 

Dari kota Banjarbaru ke Kecamatan Karang Intan, perjalanan kurang lebih ditempuh sekitar 40 menit, dengan kondisi jalan berkelok namun mulus. 

Tanpa banyak hambatan, kami pun tiba di sebuah bangunan kecamatan yang ternyata sangat sederhana jika dibandingkan dengan beberapa kantor kecamatan yang pernah saya temui sebelumnya. “Oh...ini Kecamatan Karang Intan.” Demikian desis saya. Lega karena tidak salah jalan. Tepat di sebelah kecamatan, ada bangunan UPJ pembantu PLN. Kami pun masuk ke tempat itu dan menjelaskan maksud kedatangan kami. Selanjutnya, kami dipandu untuk mengunjungi tempat tujuan. Top deh petugas disini. Meskipun bertugas sendirian, tapi tetap semangat melayani warga, dan semangat membantu kami. 
UPJ PLN Karang Intan
Info pertama yang kami dapatkan, tempatnya sangat jauh dari Kecamatan.

Hmm...kalau jauh sudah biasa. Daerah yang belum terjangkau listrik negara bisa dipastikan terletak jauh dari kecamatan dengan kondisi jalan yang tak laik. 

Perlahan namun pasti, mulailah kami melintasi desa demi desa. Di samping kanan dan kiri terlihat rumah-rumah panggung berdiri anggun namun sangat kokoh. Saka, dinding, dan lantainya terbuat dari Kayu Ulin yang telah menghitam. Kayu Ulin merupakan salah satu kekayaan tanah Borneo yang tidak diragukan lagi kekuatannya. Saking kuatnya, bahkan orang menamainya “Kayu Besi”. Karena selain kuat, kayu tersebut mampu bertahan ratusan tahun lamanya. 

Tambak Ikan dan Udang di Kecamatan Karang Intan
Hampir setiap rumah di perdesaan yang kami lewati memiliki pekarangan yang luas. Kalau di kota besar, pekarangan luas digunakan untuk tempat parkir kendaraan bermotor. Sedangkan disini, pekarangan digunakan sebagai tempat untuk menjemur biji padi, memelihara ternak, atau sebagai tempat anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya. 

Beberapa ibu nampak sedang duduk di beranda sambil mencari kutu rambut. Hal yang sudah jauh ditinggalkan oleh penduduk perkotaan. Saya saja terkagum-kagum melihat pemandangan ini. Sebaliknya, mereka pun terkagum-kagum melihat kendaraan kami. Satu-satunya kendaraan pribadi yang melaju menembus rimbunnya hutan karet. 

Lepas dari perdesaan, kami mulai berhadapan dengan rimbunnya hutan belantara. Tidak ada rumah di sekitar daerah ini. Hanya jalan tanah berbatu terjal, becek, berliku dengan dikelilingi jurang di sebelah kanan dan kirinya yang menyambut kedatangan kami. Lama kami melaju, kami pun bertemu dengan sebuah mobil bak yang dimodifikasi untuk mengangkut barang dagangan dan komoditas pertanian. Termasuk juga tabung gas. Dengan kondisi jalan yang tak stabil, mobil tersebut menempuh perjalanan dengan sejuta risiko. Melihatnya saja sudah ngeri. 
Akses Jalan ke Riam Pinang
Seorang Penduduk yang hendak membawa hasil bumi ke Kecamatan
Sungguh bertolak belakang dengan kondisi mobil kami. Kami yang jelas-jelas aman di mobil tertutup, dengan mesin dan bahan bakar memadai yang sudah di cek sedemikian rupa sebelum menuju tempat ini, serta menggunakan sabuk pengaman pun tubuh masih berguncang hebat dan terpental-pental. Apalagi mereka? Namun baik supir maupun penumpang di mobil bak tersebut justru terlihat tenang-tenang saja.
Diapit Hutan Karet
Akses jalan di hutan Karet
Dua jam sudah kami melaju, tak nampak tanda-tanda dimana letak tujuan kami. Jurang terjal kini berganti kawasan hutan karet yang tertata rapi. Jalan yang semula tanah berbatu kini berubah menjadi jalan tanah yang dikeraskan dan layak untuk dilewati. Hawa pun mulai sejuk karena rindangnya pepohonan yang menaungi kami. Bau tanah basah dan dedaunan kering yang khas mulai menyeruak, membuat kami membuka kaca jendela dan mematikan AC demi mendapatkan sensasinya.

Hingga pada suatu tempat, Amat, supir kami yang setia mengantar keliling pedalaman Kalsel kini menghentikan mobilnya. Di depan kami kini terbentang danau yang airnya bening, sejuk, dan menentramkan hati. Kami pun berhenti sejenak untuk menikmati keindahannya. 
 



Ternyata, inilah Riam Pinang. Danau indah yang tak kami sangka ada di depan mata. Semburat matahari menyinari dari balik rimbunnya dedaunan pepohonan liar. 

Akhirnya....kami sudah sampai di tempat tujuan. Ada beberapa rumah di depan kami. Rumah-rumah tersebut nampak sepi. Mungkin penghuninya sedang bekerja di ladang atau sedang bertugas di kebun karet. Hanya nampak sebuah warung yang masih buka, dan seorang ibu pemilik warung yang menatap heran ke arah kami. Saat kami mendekat dan mengucapkan salam, ibu itu justru berlari. Dia yang hendak kami tanyai mengenai jaringan listrik perumahan malah lari terbirit-birit masuk kamar, menutup semua pintu dan jendela, tak mau menemui kami. Alasannya, takut! Bahkan setelah dibujuk-bujuk oleh petugas PLN yang menemani kami pun, ibu itu tetap tak mau keluar rumah. Takut melihat kami.

Saya hanya menghela nafas, lalu melihat penampilan saya dan teman saya dari atas ke bawah. Standar. Kami mengenakan celana jeans dan blazer, juga sepatu kets. Bersih kok. Tampang kami pun tampang baik-baik. Bahkan ada tanda pengenal yang kami kalungi. 

Lama, akhirnya kami pun tertawa. Ada ya orang yang takut sama kita-kita ini. Mungkin karena wajah dan penampilan yang berbeda, sehingga kami dianggap orang asing. Belakangan, pak RT di Desa Pulau Nyiur mengatakan bahwa, penduduk dusun Riam Pinang memang jarang kedatangan tamu. Apalagi dari luar pulau. Yang mereka tahu hanyalah kebun karet, hutan, perbukitan, dan tetangga serumpun. Mereka jarang keluar daerah, bahkan ke Desa Pulau Nyiur sekalipun. Padahal kawasan Riam Pinang termasuk dalam wilayah Desa Pulau Nyiur. 

Selain masyarakatnya, satu lagi yang khas dari desa ini. 
Durian. 
Ya, salah satu jenis buah asli Asia Tenggara yang populer itu berasal dari tempat ini. Durian Karang Intan. Demikian masyarakat menyebutnya. Bentuk buahnya khas, lebih kecil dari durian pada umumnya, namun rasanya sangat manis. Sayang, karena kehabisan baterai baik kamera digital maupun handphone, saya tak sempat mengabadikan Durian Karang Intan ini.

Serunya Indonesia. Dengan ragam budaya, kekayaan, dan keindahan alam yang tak terkira. Kalau dilihat dari foto, memang tak seberapa indahnya. Tapi sekali waktu, datanglah sendiri mengelilingi bumi Borneo. Nikmati suasana dan nuansanya. Maka keindahan sejati bisa anda rasakan.

Saya hanya menggunakan kamera minim, akibat kehabisan baterai. Jangan harap bisa numpang mencharge gadget disini. Belum ada listrik di daerah Riam Pinang. Mereka menggunakan pembangkit rumahan berupa genset yang hanya diaktifkan pada malam hari saja. Dan...tebak berapa uang yang mereka keluarkan demi penerangan?

800 ribu rupiah dalam satu bulan. Hanya untuk listrik saja. Mereka sabar menghadapinya. Sehingga jadi bahan pelajaran saya. Betapa beruntungnya kita dibandingkan mereka...

Salam Indonesia,
Arum Silviani