Lagi pengen Flashback. Mengenang sejarah kenapa
saya sampai disini saat ini. Sejarah lho yaa...bukan masa lalu. Kalau sejarah
itu patut dikenang, diingat, diresapi. Sedangkan masa lalu hanya pantas
dijadikan spion. Alias sebagai bahan pelajaran kalau mau mengambil keputusan di
masa kini, dan masa depan. Berat amir ya bahasanya...oke dehh cekidott:
Mungkin sekitar
tahun 2000, saat saya SMA ada yang namanya penyuluhan siswa. Maklum, SMA saya
adalah sebuah SMA Khatolik yang peraturannya super ketat. Hampir 70 persen
gurunya killer. Tapi yang kacau, saya dan kawan-kawan masihhh aja berani-beraninya
dateng telat dan bandel. Mungkin itulah yang membuat pihak yayasan mengadakan
acara penyuluhan dan pembenahan siswa di setiap awal caturwulan (dulu masih
caturwulan). Sekarang namanya semesteran ya???
Nah, biasanya
tuhh...saat penyuluhan siswa adalah saat terindah saya buat tidur. Toh nggak
kelihatan. Hampir 300 siswa dikumpulkan di Aula sekolah yang bergaya Gereja
Vatikan gitu deeh. Gede banget. Dengan langit-langit yang tinggi, pepohonan
rindang di sekitarnya, dan angin sepoi-sepoi. Nggak salah dong kalau otak saya
“memerintahkan” sang mata buat terpejam.
Tapi tidak untuk
penyuluhan hari itu. Saya nggak pengen tidur. Kenapa? Bahasan penyuluhannya tak
lagi soal disiplin, hukuman buat yang melanggar aturan, soal seragam yang harus
rapi, anti narkoba dan lain sebagainya. Hari itu, di jam itu, narasumbernya
adalah guru kami sendiri. Dia guru bahasa Inggris yang bijaksanaaa banget.
Namanya Bapak FX. Muridno. Bahasannya soal...
CITA-CITA.
Saya memang orang
yang bercita-cita yang setinggi langit. Meskipun dilahirkan bukan dari keluarga
yang kaya, otak dan hati saya kaya raya akan mimpi. Saya nggak mau sama dengan
yang lain. Selalu nggak mau sama. Pemikiran saya juga nggak mau sama kayak
temen-temen saya. Pokoknya, saya menetapkan dalam diri saya, kalau sepuluh
tahun lagi, saya harus jadi SESUATU dan menghasilkan SESUATU.
Oke, kembali
lagi ke acara penyuluhan. Pak Guru bertanya siapa yang mau jadi Polisi? Tentara?
Pedagang? Dokter? PNS?
Seru banget lah.
Teman-temanku mengacungkan jarinya di “post
cita-cita” mereka. Sedangkan saya, tidak satupun dari pilihan yang
diberikan Pak Guru, sesuai dengan cita-cita yang saya inginkan. Terakhir, Pak
Guru memberikan pilihan. “Siapa yang mau jadi Guru?”
Tiba saatnya saya
tersenyum, lalu dengan tinggi saya mengacungkan tangan.
Ya. Saya ingin
jadi seorang Guru.
Sebuah
cita-cita, yang ada dalam alam bawah sadar sejak saya masih duduk di kelas dua SD.
Kala itu, hampir tiap hari saya main guru-guruan,
dan saya jadi gurunya. Dan cita-cita tersebut saya sadari penuh begitu saya duduk di bangku SMP.
Ternyata, saat
itu...saya jadi satu-satunya siswa yang mengangkat tangan. Hanya saya
satu-satunya yang bercita-cita jadi guru. Beberapa kawan tertawa melihat
saya. Lho, kenapa? Tidak ada yang salah dengan profesi guru. Sebuah profesi
yang sangat mulia, bahkan jadi ladang amal buat saya. Kalau saya jadi seorang
guru, maka kelak jika umur saya habis, ilmu yang saya sebarkan akan terus
memberikan syafa’at buat saya di alam sana. Hal yang tentunya tidak bisa saya
dapatkan jika berprofesi bukan Guru. Pemahaman saya saat itu, saya hanya bisa
mencapai posisi sebagai Guru. Karena ketidak-familiar-an saya dengan bahasa. Belakangan
saat saya kuliah saya baru tahu, lebih tepatnya, cita-cita saya adalah jadi
pengajar. Artinya, saya nggak hanya mengajar anak-anak yang duduk di sekolah SD, SMP, atau SMA. Saya juga bisa mengajar dimanapun, dengan audiens yang beragam.
Saya juga nggak
peduli tuh waktu diejek, “Jadi guru itu harus siap miskin.”
Saya jawab, “Nggak
apa-apa miskin, yang penting hatinya kaya.”
“Kamu siap
miskin?”
“Kata siapa saya
akan miskin? Namanya rejeki kan bisa datang darimana saja. Kan banyak guru yang
kaya.”
Pede banget ya
saya?
Lebih pede lagi,
ketika saya kuliah. Di saat jeda pergantian mata kuliah, saya tuh hobby banget
duduk di kursi dosen. Saking hobbynya, hampir semua dosen tahu kebiasaan saya
itu. Bahkan ada satu dosen yang memergoki saya lagi sok mengajar di depan
kelas. Ngajarin temen-temen saya gitu. Terus si bapak ini ngasih sebundel
materi ke saya. Judulnya saya masih ingeet banget. “Bersikap Asertif dalam
Bekerja”. Besok paginya saya disms, “kamu kasih materi itu di jam mata kuliah
saya.” Suruh presentasi dengan persiapan minim? Saya melotot kaget. Tapi seneng. Tantangan
doong disuruh ngasih materi dan ngajarin temen-temen saya. Meskipun temen-temen saya juga hampir setiap
hari "saya paksa" dengerin “mata kuliah” saya. Selalu saya bilang, “teman-teman...nanti kalau anak kalian kuliah
disini, saya yang ngajar yaa...” dan teman-teman saya, entah kasihan atau malas
meladeni, mereka menjawab. “Aaaamiiiiiinnn....” hihihi...lucu ya mereka.Tuh foto-foto mereka :
Gaya kan mereka? Kelas 3 Marketing A yang selalu kompak dengerin ibu dosen gadungan macam saya. Nah, kalau lagi di kelas, tingkahnya tuh gini nih :
Itulah awal mula kenapa saya bercita-cita jadi pengajar. Ceritanya sampai disini dulu, dilanjut dengan materi : Karena Mengajar itu Indah. Pada jam, tempat, dan waktu berikutnya.