Search This Blog

Wednesday, April 17, 2013

Menjelang senja di Remboken - Danau Tondano

Dari danau Linow, saya lanjut perjalanan ke Danau Tondano. Bukan lanjut sih, melainkan putar balik. Sebenernya kalau mau perjalanannya satu rute urutannya adalah Danau Tondano dulu, baru danau Linow. Seperti yang saya lakukan tahun 2010 lalu. Tapi karena hati saya lagi pengen ngadem di danau Linow, ya udah deh...*Keinginan hati mengalahkan rute :D

Danau Tondano sendiri merupakan danau terbesar di Sulawesi Utara. Menurut Wikipedia, Danau ini diapit oleh pegunungan Lembean, Gunung Kaweng, Bukit Tampusu, dan Gunung Masarang. Luas danau ini 4.278 ha, dan terdapat pulau kecil bernama Likri (depan desa Tandengan kecamatan Eris) dan pulau papalembet depat Toulumembet. Di tepi Danau Tondano terlihat jelas Gunung Kaweng. Konon danau ini terjadi karena letusan yang dahsyat karena ada kisah sepasang insan manusia yang berlainan jenis melanggar larangan orang tua untuk kawin (bahasa Minahasa: kaweng) dengan nekat lari (tumingkas) di hutan. Sebagai akibat melanggar nasihat orang tua maka meletuslah kembaran gunung kaweng tersebut sehingga menjadi danau Tondano.

Kalau dulu saya masuknya selalu lewat gerbang Universitas Negeri Manado, perjalanan kali ini, saya ikut Glenn. Masuk lewat Boulevard Tountimomor. Menurut Glenn, Boulevard ini adalah pusat gaulnya anak-anak muda di Kota Tomohon. Padahal nggak ada hiburan apapun lho..tukang jualan juga rasanya nggak ada. Yang saya temukan hanyalah jalan besar yang lurus dan mulus. Mungkin trotoarnya kali yang jadi daya tarik. Beberapa anak muda terlihat sedang duduk-duduk di trotoar sambil bersenda gurau.

Nah, begitu masuk kawasan Tondano, itu pemandangan ya...Subhanallah...sulit dilukiskan dengan kata-kata. Berkali-kali saya ke kawasan Tondano, sensasinya nggak pernah hilang. Tetap membekas di hati. Sepanjang perjalanan kita melewati ilalang-ilalang yang sudah menguning dan berkilauan seperti emas ketika tertimpa mentari sore hari. Lebih jauh ke dalam, ada tanaman jagung yang berjajar rapi. Sudah siap dipanen. Saya juga sempat berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang baru selesai memanen jagung dan membawa hasil panennya dengan bakul besar. (kalau di Tomohon apa ya namanya?) Sudah gitu, banyak daun-daun berguguran, jadi kayak musim Autumn di Jerman. Landscapenya kereeeenn!!!!

Lanjut, tiba-tiba mata saya tertumpu pada bangunan kayu yang berdiri anggun di atas air. Indah sekali. Apakah itu yang dinamakan Pondok Kinakas? Kalau kata Glenn, mungkin itu rumah contoh. Rumah adat orang Minahasa. Khas sekali. Rumahnya berbentuk panggung. Namun rumah ini hanya ada beberapa. Waduh...mupeng tingkat tinggi deh. Asli. Indaaah banget. Tapi saking indahnya, seperti biasa saya lupa menjepretkan kamera saya. hufft...lagi-lagi...

Anyway, setelah itu kami memutuskan untuk masuk ke kawasan wisata Sumaru Endo, Remboken. Disini biaya masuknya Rp. 6000,00/orang ditambah parkir Rp. 5000,00. Tapi saya ngerasa disitu nggak worthed ya...nggak terawat gitu tempatnya. Jadi berasa kayak masuk sarang jin. Padahal kalau perawatannya bagus, tempat ini menarik banget lho...ada kolam renang air panas yang berasal dari sumber air panas alami, ada restaurant, tempat meeting, penginapan, lengkap sebenarnya. Tapi ya itu...nggak terawat. Bangunannya sudah usang dan tidak layak ditempati. Sungguh miris dan jauh berbeda dengan tempat sebelumnya. Mungkin karena ini milik pemerintah daerah kali ya? Biasanya kan gitu. Taman hiburan rakyat, kalau dikelola sama pemerintah malah carut-marut. Karena maintenance dianggap sebagai biaya. Bukannya dilihat sebagai investasi. Sudah gitu pas saya sampai disana, saya hampir nggak yakin tuh kalau yang saya masuki adalah kawasan wisata. Soalnya sepi banget. Pengunjungnya cuma saya sama Glenn saja.


Meskipun demikian, tetap saja ada sisi menariknya. Saya melihat sampan teronggok di tengah-tengah tanaman enceng gondok. Namun beberapa saat kemudian, sampan itu diambil oleh pemiliknya, dan mulai memasang jaring ke tengah danau. Dalam hati saya ngeri. Sore itu, air Danau Tondano seperti lautan yang sedang pasang. Meliuk-liuk seperti ombak. Tapi orang di atas sampan kok ya berani banget.


Danau ini merupakan danau penghasil ikan air tawar seperti ikan mujair, pior/kabos, payangka wiko (udang kecil), nike, sepat siang (arwana),tawes, pongkor, bontayan, lobster hitam, gurame kupu-kupu, dan ikan karper.Tapi sayangnya lagi nih...ikan nike (sejenis ikan kecil-kecil yang rasanya lezat sekali), terancam punah. Aduh sayang banget ya...jangan sampai deh. Soalnya rasa ikan nike itu khas banget dan enaak banget. Mudah-mudahan berhasil dibudidayakan :)

Air pasang di Danau Tondano

Suasana di Kawasan Wisata Remboken

Saya berharap, pemerintah kota Tomohon dan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memberikan perhatian lebih pada kawasan wisata ini. Modal utamanya sudah luar biasa. Alam yang indah, udara sejuk, dan tentunya fasilitas bangunan yang lengkap. Sayang kan kalau teronggok begitu saja? Mudah-mudahan, saat saya kembali kesini kelak, tempat ini sudah jadi  destinasi yang worthed untuk dikunjungi.

Satu lagi pengalaman yang seru. Saat meninggalkan Danau Tondano, waktu menunjukkan pukul 16.00 WITA. Saya belum shalat dzuhur dan ashar. Mau menggelar sajadah, saya nggak yakin tanahnya suci, karena banyak anjing berkeliaran. Akhirnya saya minta tolong Glenn kalau nemu mushalla atau masjid, bisa berhenti sejenak supaya saya bisa menunaikan ibadah shalat. Tapi sampai jam lima, kami nggak nemu juga mushalla atau masjid disitu. Saya maklum, karena wilayah ini mayoritas dihuni oleh kaum nasrani. Saya juga maklum Glenn nggak tahu dimana tempat ibadah orang muslim, karena dia juga pemeluk nasrani. Akhirnya Glenn berusaha keras tuh sampe nanya-nanya ke orang. Dan semua orang yang ditanya pun nggak tahu. Bukan nggak tahu, tepatnya nggak ada. Hihihi...karena masih muter-muter, saya menyarankan supaya kita balik ke kampus Unima. Siapa tahu, Kampus punya masjid. Tapi yang kami temui, hanyalah kolam renang tua yang sudah usang. Bekas dipakai buat olimpiade dulu. Terus ketemu mahasiswa, dan...seperti yang sudah saya duga, mereka semua nggak tahu masjid itu dimana. Satu mahasiswa yang kami temui bilang, kalau di sekitar kampus memang nggak punya masjid. Saya menghela nafas. Baru terasa rasanya jadi kaum minoritas.

Yang kasihan tuh Glenn, dia kayaknya ngerasa bersalah banget ke saya karena nggak nemu tempat ibadah. Tapi saya bilang ke dia, "nggak apa-apa. Saya bisa shalat dimana saja. Kamu nyetir yang konsen, saya shalat." Glenn pun memandang saya bingung. 

"Tapi kan nggak ada air, mbak." katanya. Yang Glenn tahu, setiap seorang muslim akan shalat, maka harus membasuh beberapa bagian tubuhnya dengan air. Terus saya jelaskan deh ke dia, kalau kita dalam keadaan darurat, kita boleh kok shalat di kendaraan. Dan saya mulai bertayamum dengan menepuk-nepuk jok mobil, pasang mukena, dan shalat. Sekilas, saya lihat Glenn benar-benar melongo melihat saya. Bahkan dia menghentikan mobilnya beberapa saat, hanya untuk tercengang!

Saya Qashar shalat Dzuhur dan Ashar. Masing-masing dua rakaat, dua salam. Saat selesai shalat ashar, saya melihat ke luar jendela. Betapa saya jadi pemandangan orang-orang sekitar! Hahaha...ternyata sejak tadi kami terkena macet di Kota Tomohon. Mungkin orang-orang bingung melihat orang pakai mukena di mobil. Pemandangan aneh kali ya...

Dan Glenn pun kembali bertanya kepada saya. "Mbak, ibadahnya bisa seperti itu saja?"
Saya mengangguk. Glenn menggaruk kepala. "Seumur-umur, baru kali ini saya melihat orang shalat di mobil. Ternyata islam itu mudah ya, mbak."
Saya hanya tersenyum. Dan dengan bahasa sederhana, saya kasih penjelasan kalau islam tidak pernah menyulitkan pemeluknya untuk beribadah. Diambil praktis-praktisnya saja...hehehe..yang paling penting adalah, menghargai antar agama. Seperti di Sulawesi Utara yang punya semboyan, 

Sulut yang Sulit disulut. Karena masyarakat dan pemuka agamanya tahu bahwasanya, "Lakum diinukum waliyadiin." Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku.

Bersambung ke...Vihara Ekayana