Search This Blog

Tuesday, April 16, 2013

Manado Trip


Perjalanan ke Manado ini sebenernya waktu tahun 2012, perjalanan saya kesekian kalinya ke Sulawesi Utara. Diantara banyaknya kota Indah di Indonesia, Manado adalah destinasi vavorit saya. Kenapa? Karena Manado tuh paket Komplit sodara-sodara! Buat kamu si pecinta pantai, maka Manado punya pantai yang menakjubkan. Pasir putih dengan garis pantai yang panjang.

Buat kamu pecinta alam bawah laut, Manado adalah salah satu surga buat snorkling atau diving. Buat kamu pecinta danau, Manado punya koleksi danau yang LUAR BIASA indah. Dan buat kamu pencinta gunung, Manado juga punya pegunungan yang nggak kalah gagah dari pegunungan di pulau Jawa ataupun Sumatera. Dan satu lagi, buat kamu-kamu pecinta kuliner, jangan diragukan deh. Masakan Manado maknyuusss!!! Dari ujung ke ujung semuanya enak. *Asal pinter milihnya yaa, karena banyak juga kategori masakan yang nggak halal buat orang muslim.

23 Agustus 2012...

Wew...saya sibuk nyiapin kerjaan tuh. Akhirnya baru bisa packing jam 10 malam. Saya sengaja ambil penerbangan pagi, jam 05.40. Karena apalagi kalau bukan mau menikmati Manado, Minahasa, dan Tomohon? Udah kangen banget sama Manado. Terakhir kali saya ke Manado tahun 2010.

Nah, karena saya berangkat dari Bandung, jam dua belas sudah dijemput tuh sama supir taksi. Siap meluncur ke shuttle travel di Cihampelas bawah, terus jam setengah satu capcus deh ke Bandara Soekarno Hatta. Tiga jam berlalu, akhirnya sampai di terminal 2F Soetta jam setengah empat. Langsung aja tuh saya cetak tiket, terus masuk ke ruang check in for GFF member (Biar nggak ngantri panjang-panjang). Soalnya bandara penuh banget tuh. Maklum, peak season. Banyak orang liburan, dan penerbangan memang mulai jam lima pagi, jadi counter check in dipenuhi orang yang buru-buru.

Mata saya ngantuk beratt....akhirnya saya cari kopi. Buat kamu-kamu yang seneng kopi praktis, bisa nyobain coffee maker otomatis. Cuma 5000 perak sudah dapat secangkir kopi. Tahun lalu sih coffee maker otomatis itu ada di terminal keberangkatan, tapi sekarang hanya bisa kita temukan di terminal kedatangan 2F (mungkin karena diprotes sama starbucks dll kali ya..mereka jadi kurang laku akibat adanya coffee maker ini). Kalau kita sudah check in, kita jalan dulu tuh ke terminal 2D, karena pintu Exit ada disitu. Terus turun lewat tangga yang ada di depan terminal. Wasting time? Iya. Tapi kan memang saya lagi pengen wasting time.  Maklum, masih pagi banget. Belum masuk waktu shalat shubuh juga.

Well, saya keluarin uang 5000, terus pilih tombol chocolatte, dann...cangkir keluar otomatis. Lampu nyala. Begitu lampu indikator mati, saya langsung ambil tuh si kopi tercinta. Saya punya banyak cerita lucu soal mesin ini. Nanti deh sekali waktu saya ceritain.

Saat-saat saya sendirian sambil minum kopi seperti itu merupakan saat-saat tervavorit buat saya. Setiap saya meneguk isi cangkir, saya memperhatikan keadaan sekitar. Hal yang tentunya nggak bakalan bisa saya temukan kalau saya memilih nongkrong di executive lounge. Alias ruang tunggu eksekutif yang memungkinkan kita duduk nyaman, bebas makan dan minum sepuasnya, ditemani siaran TV kabel atau majalah dan koran yang up-to-date. Di tempat saya duduk, saya bisa lihat ada orang yang lagi tidur di bangku tunggu, sopir taksi yang sedang menawarkan jasa, supir travel gelap, mbak-mbak dan mas-mas tukang parfum yang selalu menawarkan barang jajaannya, tukang beresin troli, porter, petugas kebersihan, petugas bandara, wah...mereka sudah mulai berdinas. Padahal jam baru menunjukkan pukul 03.50. Hebat ya mereka, demi sesuap nasi, rela kerja keras kayak gitu. Demi keluarga. Demi anak istri dirumah. Hiks....jadi terharu....

Makanya saya malu kalau sampai dari mulut saya keluar keluhan, kenapa kerjaan saya banyak, kenapa saya harus begadang dsb. Bukan apa-apa, saya sih kalau kerja keras dan begadang, ada yang bayar saya dengan sangat pantas. Makan terjamin, transportasi tinggal pilih, akomodasi ditanggung nyaman. Tapi mereka? Mungkin nggak tidur semalaman, belum makan, tidur juga dimana saja. Tapi lihat, mereka bisa tetap tersenyum. Menikmati hidup seadanya. Karena sering lihat yang kayak gitu, saya selalu nafsu pengen nonjok anak-anak yang malu sama profesi orang tuanya.  Tidak akan pernah berhasil jika seorang anak mengingkari usaha orang tuanya! Tidak akan pernah. Beneran, deh.

Oke, kembali lagi ke terminal kedatangan 2F Bandara Soetta. Prosesi saya minum kopi harus berakhir segera. Bukan karena kopi saya habis, melainkan karena adzan shubuh berkumandang. Sambil menggeret koper, saya cepet-cepet tuh naik ke lantai dua, menunjukkan boarding pass pada petugas, terus masuk mushalla yang ada di ujung, dekat dengan executive lounge. Alhamdulillah dapat shalat berjamaah. FYI...imam di mushalla ini bacaannya bagus banget. Tartil. Bikin kita khusyu. Dan...kondisi mushalla di terminal 2F juga nyaman. Mukenanya bersih, tempatnya bersih, dan orang-orangnya tertib. Saya shalat, nunggu di mushalla sampai jam 5, terus langsung masuk aja ke ruang boarding. Nggak pake lama, udah dipanggil tuh sama Garuda. Penerbangan GA-MDC jam 05.40 adalah penerbangan langsung. Jadi nggak pake transit dulu di Makassar. Karena pesawatnya langsung terbang lagi ke Ternate.

Berhubung jam segitu adalah padat karya (hehe..maksudnya jam penerbangan padat), maka pesawat yang saya tumpangin ngantri terbang. Ada enam pesawat yang ngantri, dan pesawat saya berada di urutan keenam. Belum lama pesawat yang saya tumpangi ini ngantri, tau-tau di belakang sudah berjajar tuh pesawat yang mau ngantri terbang. Berasa ada di Jeddah aja ya kalau kepadatannya begitu? Hehe...

  
Manado from the air

Mendarat di Manado jam 10.20 (Waktu Manado satu jam lebih cepat daripada waktu Jakarta). Dan...ternyata...
Kolega saya lupa menjemput saya sodara-sodara! Dikiranya saya terbang dari Jakarta jam 05.40 PM. Oke deh...tentu saja saya nggak panik. Toh kota Manado sudah sangat bersahabat dengan saya. Tadinya klien saya mau langsung capcus tuh ke Bandara buat jemput saya, tapi saya langsung telepon nggak usah jemput. Saya mau jalan-jalan dulu.

Kebiasaan saya kalau mendarat di suatu tempat, saya bakalan duduk, lihat situasi sambil lihat siapa tahu nemu supir yang cocok. Saya duduk tuh di deket tiang sambil chit-chat sama sohib di Jakarta. Baru aja duduk, saya ditelpon kantor pusat, katanya saya udah mau dijemput. Saya langsung bilang nggak usah. Tolong dibatalin aja jemputannya. Walah...orang-orang udah panik aja tuh karena mengira saya terlunta-lunta di bandara Sam Ratulangi. Padahal saya lagi asyik chattingan sama temen. Nggak sampai lima menit, ada cowok kira-kira seumuran saya, duduk deket saya. Kelihatannya dia capeeekk banget. Terus dia nanya,

“Mbak mau kemana?” tanyanya sopan.
“Mas punya taksi ya?” saya balik bertanya. Dia mengangguk antusias.
“Mau nggak nganterin saya ke Danau Tondano?”
“Mau Mbak!” sahutnya bersemangat.
Dan selanjutnya kami menyepakati harga. dia ngasih diskon lho...biasanya untuk jarak luar kota begitu kita bayar 350 per harinya. Nah, sama dia saya Cuma kena 300 ribu untuk sewa mobil, plus bensin skitar 100 ribuan lah...worthed banget lhoo buat perjalanan jauh gitu. Setara kayak dari Jakarta ke Bandung lah. Nggak sampai 5 detik, saya langsung Deal. Akhirnya saya diminta nunggu sebentar, sementara Mas-mas tadi ngambil mobilnya. Waktu mau naik mobil, kolega saya nelpon lagi tuh, kayaknya dia panik saya bakal nyasar. Saya harus jelasin berkali-kali kalau saya baik-baik saja, dan nggak usah merepotkan jemput ke bandara. Toh saya udah naik mobil. Saya bilang, kalau saya bersama teman. Hihihi...teman baru maksudnya...

Di jalan, saya kenalan sama supir baru ini. namanya Glenn. Lengkapnya Glenn Willar. Orang Manado memang gitu. Ramah. Kalau kenalan nggak setengah-setengah. Pasti dia sebut tuh nama lengkapnya. Terus dia cerita, kalau umurnya 28 tahun, udah tunangan, mau nikah tahun 2013. Lucu deh si Glenn ini. dia nanya ke saya,

“Mbak nggak takut jalan ke wilayah yang belum dikenal sama orang yang baru dikenal juga?”
 Mengingatkan saya ke pertanyaan Jul dari Makassar, seorang supir rental di Ternate (nanti saya ulas tentang perjalanan Ternate yaa)
Saya jawab pertanyaan Glenn dengan jawaban yang sama dengan pertanyaan Jul. “Saya masih punya Allah, jadi saya nggak takut. Kan saya sudah izin ke Allah kalau saya mau menginjakkan kaki lagi ke Tomohon.”

Saya nggak nyebutin tuh, tadi di Bandara saya memperhatikan Glenn dulu selama beberapa detik, sebelum akhirnya memutuskan mengajaknya ke Tomohon. Saya selalu percaya dengan yang namanya feeling dan chemistry. Dan saya percaya kalau Glenn orang baik dan menyenangkan.

Sepanjang perjalanan ke Tomohon saya disuguhkan pemandangan yang indah sekali. Kalau dari Manado ke Tomohon, maka jalan yang dilalui berliku-liku, mengitari bukit dan melewati rumah-rumah penduduk. Juga restaurant-restaurant yang menyuguhkan makanan khasnya. Saya masih ingat betul rute yang kami lewati. Ada satu rumah makan Minahasa. Berdiri di pinggir jalan, tapi di tebing gitu. Dari tempat parkirnya yang tidak seberapa besar, kita bisa lihat pemandangan seluruh kota Manado. Indaah banget. Kalau di Bandung tuh sama kayak kita berdiri di Caringin Tilu deh.

Soal restaurant ini, Saya pernah singgah disitu dua kali. Pertama tahun 2006, karena menemani teman saya membeli Paniki (Kelelawar) yang diolah dengan cara dibakar. Paniki ini adalah makanan khas Minahasa. Saya sendiri sama sekali nggak tertarik mencoba. Makanan lezat di Manado masih banyak, dan saya bukan peserta Fear Factor :D

Yang kedua tahun 2010. Tadinya mau makan disitu, tapi salah seorang kolega saya bilang, kalau disitu adalah restaurant Minahasa asli, jadi kami yang muslim nggak bisa makan disitu. Nggak halal soalnya...yo wis, akhirnya cuma numpang foto aja dehh...lumayan, dapet foto berlatar belakang kota Manado from the peak.

Dan ketika ketiga kalinya, saya Cuma berhenti sebentar buat nostalgia, terus melanjutkan perjalanan ke Tomohon. Pasar tradisional Minahasa sudah saya lewati, itu berarti Tomohon sudah dekat. Setelah menempuh kurang lebih satu jam perjalanan dari Bandara Sam Ratulangi, Glenn bilang saya harus segera makan siang. Karena di Tomohon nanti akan sulit mencari makanan yang halal. Oke dehh...akhirnya saya ngikut Glenn aja. Kami memilih sebuah warung yang menjual makanan khas Makassar. Warungnya bersih, dan pemiliknya asli orang Makassar. Tambah deh yakin kalau disini memang dijaga kehalalannya. Warung ini tepat berdiri di depan UKIT (Universitas Kristen Indonesia Tomohon).

Saya pesan nasi goreng teri, dan Glenn pesan nasi goreng ayam. Disini murah banget...makan berdua plus minum es jeruk dan teh manis cuma 35 ribu. Soal rasa, lumayan lahh...sangat bisa diterima oleh lidah saya.

Terus lanjut...ke tujuan pertama kami. Tempat indah vavorit saya, dan saya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dulu...

Bersambung....