Saya nggak ngerti, makin kesini,
kualitas mahasiswa semakin menurun. Adanya smartphone dan kemajuan teknologi
justru ditanggapi salah. Bukannya memaksimalkan teknologi, tapi malah
menyalahgunakannya. Kebetulan saya masih ngajar. Dan kalau boleh saya ngomong,
semester genap tahun ini merupakan kelas dengan kualitas terburuk sepanjang
saya mengajar di sebuah kampus.
Cukup bikin saya ilfil dalam
mengajar. Selama ini, kalau saya ngajar tuh saya nggak peduli anak itu pinter atau
tidak. Saya juga nggak pernah peduli dia
anak siapa. Lulusan SMA mana, dan latar belakang keluarganya bagaimana. Tapi
saya melihat dari sisi usahanya. Keras nggak usahanya? Tinggi nggak daya
juangnya? Kuat nggak semangat belajarnya? Kalau semua itu positif, maka sekuat
tenaga, pikiran, kemampuan dan hati saya curahkan buat mereka. Saya akan support
mereka dalam mencapai cita-cita dengan cara membangun karakter mereka sendiri. Memupuk kepercayaan diri mereka hingga mereka berani maju menghadapi segala aral melintang.
Selama saya ngajar dari tahun
2010, sebandel-bandelnya mahasiswa yang saya ajar tuh pasti ada nilai lebihnya.
Ada usahanya. Ada sopan santunnya. Paling nggak, ada keinginan untuk maju.
Namun baru kali ini, rasanya
mahasiswa yang saya ajar nggak punya rasa itu. Rasa tanggung jawab sebagai
mahasiswa, tanggung jawab ke orang tuanya, apalagi tanggung jawab ke bangsanya.
Semua dijalani dengan prinsip “Sa’karepe.” Masuk kuliah Sa’karepe, belajar
sa’karepe, ngerjain tugas sa’karepe, ujian pun nyontek dengan memanfaatkan
kepintaran “Smartphone” sehingga tanpa sadar mereka miminimalisir fungsi otak,
bukan mengasahnya. Ujungnya, jangankan tajam. Ini sudah masuk ke tahap kedul
akibat korosi yang kronis.
Memprihatinkan. Itu yang bisa
saya katakan.
Ketika usaha dan sopan santun
sudah nyaris tidak ada. Okelah, beberapa anak masih punya sopan meskipun
sedikit. Tapi banyaknya ya itu. Semaunya sendiri, bahkan mengatur dosennya. Waktu
Ujian dosennya diatur supaya menyesuaikan dengan mereka. Mau konsultasi
dosennya diatur. Belum lagi bahasa sms dan email yang teramat-sangat tidak
sopan karena bunyinya memerintah.
Saya jadi mikir, yang butuh itu
siapa? Dosen atau mahasiswa?
Disaat dosen menyediakan waktu
buat bimbingan, hanya satu dua yang datang. Sisanya, alasan mengerjakan
skripsi. Tapi ternyata, skripsi pun masih kacau balau. Giliran saatnya
mengumpulkan tugas besar, banyaaaak banget excusenya. Dari yang mulai sakit
lah, urusan keluarga lah, sibuk ngerjain yang lain lah. Kalau sudah begini,
bagaimana coba? Diingatkan nggak mempan. Ditegur patah arang. Melempem. Bagaimana
dengan generasi penerus bangsa ini? Bukannya semakin kuat dan kokoh malah kini
bermental tahu. Ditekan langsung hancur.
Dikala bangsa lain bermentalkan
baja, berperisai tekad, bersenjatakan kerja keras, berkarakter kuat dan saling
menghargai, generasi penerus bangsa kita malah bermental tahu, berperisai loyo,
dan bersenjatakan sa’karepe. Ditambah lagi, karakter dan attitude yang buruk. Semangatnya
hanya untuk membully adik-adik kelasnya dengan OSPEK yang nonsense.
Hasilnya?
Aku ra’ po po.
Apakah masih ra’ po po kalau
akhirnya jadi terseok-seok, diinjak, dan jadi melarat di negeri sendiri?
Saya hanya berharap,
pemuda-pemudi yang saya sebutkan tadi segera sadar dan mau mencambuk dirinya
sendiri untuk dapat berpikir jernih. Kalaupun tidak, mudah-mudahan, di luar
sana masih banyak mahasiswa yang kuat keinginannya, kuat usahanya, dan selalu
berusaha membangun karakter juga attitudenya.