Sumber : www.kesekolah.com |
Beberapa waktu lalu, adik bungsu
saya lulus SD, dan hendak melanjutkan ke SMP Negeri "Z" di wilayah Kota Tangerang
Selatan karena terhitung dekat dari rumah. Katanya sih, mutu SMP tersebut
lumayan. Adik kecil saya pun berharap banyak. Dia memilih SMP tersebut supaya
bisa naik sepeda ke Sekolah, dan tidak merepotkan orang rumah lagi untuk
mengantarnya. Sederhana sekali keinginannya.
Nilainya pun tidak mengecewakan. Sekitar
25,56. Sedangkan batas masuk SMP ybs adalah 24 sekian. Jika nilai rapor
dikatakan membantu, tentunya kami sekeluarga percaya diri adik saya bisa masuk.
Nilai rata-rata rapornya 8 dan 9. Bahkan tidak sedikit mata pelajaran yang
dapat 10. Adik saya juga lulusan SDN vavorit dan selalu masuk peringkat 5 besar
di kelasnya.
Saat mendaftar di SMP tersebut, kami
menggunakan sistem kolektif sekolah untuk PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) online. Karena letaknya tak jauh dari rumah, bapak
saya pun datang langsung ke sekolah tsb dan sempat melihat bahwa saingan adik
saya banyak yang hanya memiliki nilai akhir 20, 21, dan paling tinggi sekitar
24. Namun saat mendaftarkan adik saya, nilai yang semula 25,56, setelah
ditambah nilai rapor justru menjadi 24,566. Saya pun mengernyitkan kening mendengar
laporan bapak saya. Lho, nilai rapor katanya buat menambah atau membantu
menaikkan nilai. Karena yang dilihat adalah histori prestasi belajar selama 6
tahun di Sekolah Dasar. Itu konsep yang saya tangkap dari PPDB SMP 2014. Tapi kenapa
malah jadi turun? Okelah kalau adik saya anak bodoh atau memang nilai rapornya
kebakaran. Pantas jika nilainya jadi diturunkan. Saya pun akan tahu diri dan
takkan menuliskan hal ini di blog pribadi saya. Tapi ini tidak sama sekali. Saya
tahu betul nilai PR hariannya, nilai ulangan, nilai ujian, dan nilai rapor
serta rata-rata kelasnya. Saya memantau detil soal hal ini.
Beberapa hari kemudian, adik
kecil saya menelepon dengan girangnya. Dia diterima di SMP tersebut. Saya pun
turut bahagia mendengar kabar baik ini. Apalagi dia berceloteh sudah siap
menggunakan sepeda ke sekolah barunya.
Tapi...menjelang penutupan PPDB,
tiba-tiba adik saya sudah tersingkir dari SMP "Z" tersebut. Dan tergeser jauh ke
pilihan keduanya. Bapak saya bilang, tiba-tiba statusnya seperti itu. Nah ini
bagian kurang ajarnya. Bapak saya dapat sms, “Anak bapak bisa masuk, tapi bayar
3 juta karena nilainya termasuk tinggi. Kalau nilainya dibawah itu bisa sampai
7 atau 10 juta.”
Saya langsung say NO!
Gila banget! Oke kalau itu adalah
uang gedung atau DPP atau apapun biaya sekolah. Lha ini? Biaya suap! Jelas-jelas
biaya suap karena dalam situs PPDB online saya tidak menemukan satupun
peraturan atau kata-kata yang menyebutkan jikalau nilai tidak memenuhi maka
dengan membayar sekian nilai bisa naik. Iseng, bapak saya pun mengecek kembali
ke SMP "Z". Nilai anak-anak yang semula rendah memang jadi melonjak tinggi.
Adik saya pun menelepon kembali
sambil menangis sedih. Dia ingin sekali masuk SMP tersebut, tapi saya tetap
bilang TIDAK. Bukan masalah besaran uangnya. Tapi masalah idealisme. Saya tidak
pernah dan tidak akan pernah menyetujui hal yang bersifat korupsi maupun suap.
7 tahun sudah saya berkecimpung di dunia pendidikan, tak pernah sekalipun saya
kotori tangan, pikiran, dan hati saya hanya demi lembaran-lembaran rupiah haram
dan memeras orang lain. Sebaik mungkin saya melaksanakan tugas saya, saya bantu
apa yang bisa saya bantu, dan saya mudahkan urusan yang bisa saya mudahkan, selama
urusan tersebut mengikuti prosedur dan tidak melanggar peraturan yang ada. Dan tentu
saja, tanpa sepeser pun uang suap.
Pelan-pelan saya bilang ke adik
saya, “Jangan bersedih. Tuhan pasti punya
jalan terbaik buat ade, tapi tidak dengan jalan menyuap. Masa ade mau sih
diajarin di tempat yang nggak tulus ngajarin ade? Nanti ade mau jadi apa? Masa mau
diajarin sama guru yang cuma minta uang ke ade? lebih baik masuk swasta tapi
terhormat daripada masuk SMP vavorit tapi menyuap. Sekolah dimana saja sama,
yang penting ade belajar giat. Pasti nanti bisa berhasil.” Begitu saya
membesarkan hatinya. Akhirnya dia pun mengiyakan, meskipun saya tahu dia sangat
sedih.
Padahal hati saya juga teriris
rasanya mendengar isak tangis adik kecil saya. Saya mengerti betul
kekecewaannya. Karena saya juga merasakannya saat saya hendak masuk SMP dulu. Dokumen
saya dimanipulasi. Nilai saya yang tinggi justru terkalahkan dengan nilai
anak-anak yang jauh sekali di bawah saya, bahkan jauh dibawah passing grade
masuk SMP. Tapi itu dulu. Di akhir masa orde baru. Ini sudah masa reformasi dan
semuanya sudah online, tetap saja bisa diakalin. Orang malah makin lihai dalam mencari
celah untuk mengeruk uang haram. Bayangkan kalau orang tua lain. Melihat
anaknya menangis dan merengek seperti adik saya pasti tidak akan tega. Maka mereka
akan berusaha sekuat tenaga menyediakan dana demi menyuap dan demi anaknya
tidak menangis lagi. Tak jarang juga, demi gengsinya sendiri karena anaknya
bersekolah di SMP ini dan itu yang katanya “vavorit.”
Pada saat menuliskan hal ini,
saya baru saja melihat liputan 6 SCTV edisi 4 Juli 2014 jam 05.00 WIB yang
mengatakan bahwa sistem PPDB online diwarnai manipulasi angka prestasi calon siswa
SMP oleh para oknum di dinas pendidikan. Dengan membayar sekian sekian maka
nilai prestasi yang semula tidak ada menjadi “Diada-adakan” sehingga skor pun
melonjak tinggi. Wah...baru saja akan saya publish, ehh perbuatan busuk oknum
di dunia pendidikan ini sudah tercium media.
Bulan puasa bukannya untuk
berbuat baik, malah menerima suap dengan alasan buat lebaran. Ingat, sejatinya lebaran
hanya berlangsung beberapa jam saja, dan hanya berhak dirayakan oleh
orang-orang yang hati, pikiran, dan jiwanya telah dibersihkan. Lebaran
sesungguhnya adalah kemenangan atas jiwa raga yang kembali fitrah. Bagaimana bisa
kembali fitrah jika bergelimang uang kotor? Ibaratnya orang mandi. Gimana coba
bisa bersih kalau mandinya pakai air got?
Kehidupan pun tidak hanya di
dunia. Masih ada kehidupan akhirat yang stepnya jauh lebih panjang daripada
dunia fana. Buat para oknum, semoga mereka dikasih kesempatan sama Tuhan untuk
menyadari kekeliruannya.
Alhamdulillah saat ini adik saya
diterima di SMPN pilihan keduanya. Padahal saya sudah siap-siap mendaftarkannya
ke SMP Swasta. Toh banyak sekolah Swasta punya mutu dan sistem belajar mengajar
yang justru lebih baik daripada sekolah Negeri. Paradigma masyarakat bahwa
sekolah swasta adalah sekolah untuk anak-anak yang tidak diterima di sekolah
negeri lah yang salah kaprah.
Buat Direktorat Pendidikan Dasar
dan Menengah Kemendikbud, Saya salut. Pastinya tidak mudah membuat sistem pangkalan
data dan seleksi masuk SMP via online seluruh Indonesia. Butuh pemikiran,
tenaga, pengkondisian server, dan sosialisasi yang tak mudah. Konsepnya sudah sangat baik,
hanya saja pelaksanaan di bawah masih perlu pengawasan. Saya yakin, dengan
kesabaran dan masih adanya orang-orang baik, konsep yang sudah baik ini akan
berjalan dengan semestinya, sesuai dengan yang dicita-citakan. InsyaAllah.
assalaamualaikum.. bu .. saya khawatir kasusnya bisa kemungkinan sama sepert adik saya nanti bu (semoga tidak).. belakangan ini saya cukup khawatir dengan sistem penerimaan siswa smp baru khusus nya di kota-kota besar , keluarga saya kota tangerang.
ReplyDeleteadik saya dari kelas 1 sampai kelas 6 selalu ranking 1 dan nilai raportnya pun selalu diatas angka 8 nah saya menjadi sangat khawatir jika memang kasusnya akan seperti anak ibu juga .. apalagi kondisi ekonomi keluarga yang sederhana membuat adik saya besar harapan bisa diterima di smp negeri yang diinginnkannya, selain kualitas juga mudah dijangkau dari rumah ... nah th ini adik saya kelas 6 dan akan mengikuti un juga ... adakah tips dari ibu ??
dan setelah cari informasi lebih dalam lagi .. ternyata ada ketimpangan yang sangat besar antara jumlah calon siswa smp negeri di kota tangerang dengan jumlah pendaftar dari sd negeri di kota tangerang .. mungkin sekitar 1:4 smapai 1:6 dengan nem rata2 yang diterima adalah 26.5 keatas pada tahun lalu