Search This Blog

Monday, December 9, 2013

Kecelakaan Commuter Line 9 Desember 2013

Ini pengalaman pertama saya berangkat meeting ke Jakarta Pusat dengan menggunakan Commuter Line. Sebuah Transportasi persembahan PT. KAI Jabodetabek yang tergolong nyaman, murah, dan waktu tempuh yang lebih terjamin daripada transportasi darat lainnya. Biasanya saya memilih naik Trans BSD, sambung Trans Jakarta, atau Naik Taksi. Hal yang bisa memakan waktu berjam-jam lamanya. Juga memakan ongkos yang lebih tinggi daripada tiket KAI.

Jam 06.00 pagi saya berangkat melalui stasiun Rawa Buntu BSD, dengan tujuan Tanah Abang. Saya mengantri di loket dengan mudah, dan hanya membayar 7000 rupiah. Petugas langsung memberikan kartu ini:


Tak perlu menunggu lama, Kereta tujuan Tanah Abang sudah melipir ke Stasiun Rawa Buntu, dan saya pun langsung masuk ke Gerbong Wanita. Secara lebih nyaman lah ya...
Kereta melaju mulus, dan 30 menit kemudian, saya sudah menapakkan kaki di Stasiun Tanah Abang dengan selamat sentosa. Terus nyambung naik taksi ke sebuah Kantor di Kawasan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Meeting hingga jam 10.30, dan dijemput supir kantor untuk bisa kembali ke Bandung. 

Baru sampai Bandung, orangtua saya sudah nelpon dengan nada panik. Ternyata Commuter Line jurusan Serpong - Tanah Abang menabrak Truk Pengangkut BBM milik Pertamina di kawasan Pesanggrahan, Bintaro. Dikira ortu, saya bakal balik lagi pulang ke BSD setelah meeting. Ditambah saya nggak bisa ditelepon. Makin paniklah kedua ortu saya. Padahal saya sudah duduk manis di kantor saya yang di Bandung :)

Setelah saya cek melalui internet dan televisi, diketahui kecelakaan tersebut terjadi sekitar jam 11.23 WIB. Menurut informasi dari pihak Kepolisian, sempat terjadi 3 kali ledakan sebelum akhirnya gerbong KA wanita anjlok. Hingga saya nulis di blog ini, informasi yang saya lihat di Metro TV berdasarkan data Kepolisian ada 30 orang luka dan 5 orang tewas. Saya turut prihatin akan kejadian ini. Bukan sekali dua di Indonesia terjadi kecelakaan KA. Sudah semestinya memang negara berkembang seperti Indonesia memiliki jalur kereta yang mandiri, yang terpisahkan antara jalan kereta dengan jalan raya, sehingga risiko tabrakan antara kereta dengan kendaraan lainnya dapat dihilangkan. Semoga kedepannya tidak ada lagi musibah seperti hari ini. Buat saya pribadi, moda transportasi KA merupakan solusi terbaik menghadapi macetnya Jakarta. Dengan harga terjangkau, pelan-pelan PT KAI memperbaiki layanannya. Terkait soal kecelakaan, sebenarnya dimanapun dan kemanapun, pasti ada risiko yang musti ditanggung. Tidak musti karena naik Kereta api. Namun demikian, tidak ada salahnya selalu waspada dalam setiap perjalanan. 






 


Thursday, December 5, 2013

Postingan ke – 50

Blog ini istirahat selama hampir 3 bulan. Tadinya saya berpikir bakal nulis yang spesial buat postingan ke-50. Hanya saja jemari ini disibukkan dengan hal lain, yang lebih mendesak. 

Karena postingan ke-50 baru sempat saya tuliskan di bulan Desember, maka kayaknya akan lebih oke kalau saya flashback saja apa yang sudah saya lalui sepanjang tahun 2013.

Agak sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang penuh dengan jadwal penerbangan, tahun ini saya punya waktu lebih untuk diri saya sendiri. Untuk keluarga, untuk sahabat, untuk mahasiswa, dan untuk berpikir. Mungkin karena kebanyakan waktu luang, saya jadi mencoba berbagai macam hal yang saya inginkan. Mulai dari nyoba kuliah S2, nerusin bisnis, nulis, liburan yang full liburan tanpa diselipkan agenda bisnis, kumpul sama teman-teman, bikin bahan buat ngajar, dan lain sebagainya. 

Sampai akhirnya saya sampai ke suatu titik.

Titik dimana saya bertanya pada diri sendiri, Mau saya apa sih?

Setelah sekian lama, saya baru merasakan kebingungan dengan maunya saya. Karena sebelumnya, saya selalu tahu dan yakin dengan apa yang saya mau. Yakin dengan apa yang saya butuh, dan yakin dengan apa yang saya ingin. Namun di titik ini, saya blank. Karena saya merasa, di usia saya sekarang ini hampir semua keinginan dan kebutuhan saya sudah terpenuhi. Mimpi saya saat kuliah dulu bahkan sudah terlampaui jauh-jauh hari. 

Senang?

Mustinya.

Tapi dasar manusia, baru merasakan ketika sudah sampai pada titiknya. Saya merasa jenuh. Hampa, dan nggak ada lagi rasa. Bahkan ketika saya melihat pemandangan seindah apapun, saya hanya bisa bilang...Oooh....

Padahal dulu, selalu ada decak kagum dan kalimat syukur setiap saya melihat sesuatu yang indah. Maafkan saya, Tuhan...

Pantas saja ada orang yang menulis buku “TITIK BALIK”. Karena ternyata, itulah sejatinya roda kehidupan. Ketika kita sudah berputar 180 derajat, maka akan sampai pada suatu titik yang mengembalikan kita ke titik semula, sebelum kita memulai segalanya. 

Saya juga baru mengerti kenapa zona nyaman itu berbahaya. Ternyata zona itu beracun. Mematikan potensi diri, mematikan hati, dan mematikan kreatifitas. Zona itu menguak rongga dalam jiwa, sehingga membuatnya kosong melompong. Bahkan kalau diibaratkan, jikalau ada suara bergema dalam jiwa, maka hanya gaungnya saja yang terdengar. Mental. Mambal, kalau orang jawa bilang. 

Benar juga kata Maslow soal hierarchy of needs. Ketika manusia sudah sampai pada tahap puncak segitiga hierarki, yang dibutuhkannya adalah self actualization. Bagaimana dia bisa mengekspresikan dirinya di dalam kehidupan sosial, dalam bermasyarakat, dan dalam lingkungannya.

Kalau menurut saya, aktualisasi diri ini nggak melulu soal eksistensi dan ketenaran. Tapi sesuatu yang beda. Sesuatu yang baru, yang menimbulkan excitement dalam diri kita. Karena semua berawal dari rasa jenuh. Ketika sudah jenuh, maka tidak ada lagi gairah dalam melalui hari demi hari. 

Hmmm...saya yakin, di Indonesia bukan hanya saya seorang yang merasakan hal ini. Pasti banyak orang-orang seusia saya yang merasa bahwa, betapa rutinitas itu membosankan. Saya masih beruntung karena 2 hari dalam seminggu, saya dikasih kesempatan untuk mengajar. Artinya, dalam 2 hari ini, saya bisa berbagi dengan mahasiswa, dan saya juga mendapat berbagai masukan juga ide baru dari mereka. Tertawa bersama, dan mengajarkan mereka tentang NILAI. Saya selalu menyelipkan nilai-nilai humanis dalam setiap kuliah yang saya berikan. Karena saya nggak mau jadi dosen yang cuma bisa ngajar saja, tapi tak bisa mendidik. Dengan mendidik, maka setidaknya hati kita menjadi penuh oleh kesabaran dan belajar terus bagaimana cara memaklumi orang lain.

Nggak kebayang deh kalau saya memendam ilmu sendirian. Otak jadi kedul pastinya. Nggak kebayang juga kalau saya hidup hanya untuk mencari uang. Bisa serakah jadinya. Karena pada dasarnya, uang itu memang penting, namun bukan segalanya. Dengan uang, secara materi hidup kita terjamin, tapi belum tentu hati ini dapat penuh dengan uang atau harta yang kita miliki.  

Buat teman-teman di luar sana, tak mudah memang untuk keluar dari zona nyaman. Tapi teruslah memberanikan diri mencobanya. Analoginya, zona nyaman tuh kayak supir angkot yang lagi ngetem. Menunggu rizki dengan mengharapkan orang yang lewat bakal naik ke angkotnya. Padahal kalau dia mau terus jalan, di depan sana banyak orang yang sedang menunggu. 

Sama kan dengan kita? Mungkin di depan sana banyak hal baik yang menunggu kita. Tapi kita malah ngetem. Mandeg. Nggak move-on. H2C alias Hayu-hayu cicing karena nggak berani berisiko. Padahal kalau selalu berhitung dengan risiko, maka hidup akan lebih bersemangat. Selain itu, dengan berbagi maka hati akan penuh. Tanpa ada rongga kosong di dalamnya. Laiknya manusia yang diharapkan Tuhan, yaitu manusia yang berusaha memenuhi hati dan pikirannya dengan berbagi, serta melakukan sesuatu yang bermanfaat atas dasar ibadah kepadaNya.

Aih...kok jadi berat ya omongannya? 
Mudah-mudahan postingan selanjutnya segera menyusul. Mudah-mudahan juga terus bertahan dan konsisten terus nulis hingga postingan ke- 100, 1000, atau lebih dari itu. Amiin :D

 
Desember 2013,
Salam hangat,

Arum Silviani

Monday, September 23, 2013

Kutho Solo #Day 2 - Rumah Batik Iwan Setiawan, Kampung Batik Kauman Surakarta & Pusat Grosir Solo



Bangun pagi-pagi, sarapan sebentar, terus dianterin sama Pak Wisnu ke Rumah Batik Iwan Setiawan. Mau kursus batik singkat. Bayar IDR 50ribu, tapi disuruh siapin pensil sendiri. Ya udah, kami beli dulu pensil deh. Eh...di tempat kursus dikasih pensil lagi. Meskipun kondisi pensilnya sudah nggak karuan.

Rumah batik Iwan Setiawan ini letaknya nggak jauh dari homestay. Jalan kaki lima menit saja, sampai deh...kami sudah ditunggu mbaknya disana. Satu buah kanvas berukuran 30x30cm diberikan pada kami. “Lho...ini mau diapain, mbak?” tanya saya bego. Kata si mbaknya suruh digambar pola batik. Hah? Gambar? Saya kan paling nggak bisa gambar. Apalagi gambar batik. *tepok jidat. Tapi kata mbaknya harus gambar sendiri. Maka mulailah kami berkreasi.

Ini pengalaman pertama saya membatik. Juga pertama buat kami bertiga. Berkali-kali malam dalam canting saya keluar seenaknya, memberikan titik-titik noda jelek di atas kanvas. Butuh kesabaran ekstra untuk membatik seperti ini. Kurang lebih satu jam kemudian...jadilah batik kami...

Masih sketsa yang ditorehkan malam. Selanjutnya proses pewarnaan. Kami menggunakan pewarna buatan. Ya sudah, saya pun mewarnai bebas. Terus saya kasih tanda tangan. Narsis banget ya? Biarin lah. Batik ciptaaan saya kok. Hihihi...

Eng ing eng....inilah salah satu batik narsis milik Bhekti :
Batik Narsis

Setelah membatik kami beli beberapa souvenir buat dibawa pulang. Di depan galeri juga kami membeli makanan khas buat oleh-oleh. Oh iya, untuk belajar membatik ini, kita dikenakan tarif IDR 50ribu/orang. Hasil batik juga bisa dibawa pulang. 

Balik lagi ke homestay, terus di tengah jalan ketemu penjual sate. Langsung lah kami beli sate 30 tusuk, kami bawa pulang ke homestay. Rasanya enaaak....

Pusat Grosir Solo
Semula setelah belajar batik kami hendak ke tawang mangu. Namun ternyata sewa mobil dari homestay mahal banget. IDR 400ribu hanya untuk sekitar empat jam. Langsung berhitung dong...supir yang biasa nganterin saya Bandung-Jakarta saja nggak segitu. Akhirnya kami nggak jadi. Memutuskan jalan-jalan keliling kota Solo saja. Apalagi kalau bukan shopping? Belanja di PGS! Batik tentunya...


Buat anda yang tidak pandai menawar, memang disarankan belanja di PGS daripada di Pasar Klewer. Pusat Grosir Solo ini terletak di tengah-tengah kota. Isinya lengkap. Mulai dari kain batik, kaos batik, tenun batik, dan lain sebagainya. Komplit. Namun yang saya kecewa, batik yang dijual disini jarang banget batik Solo. Kebanyakan justru batik Pekalongan. Dimana batiknya adalah jenis batik printing. Bukan kain batik, melainkan kain bermotif batik. Buat saya pecinta batik tulis dan batik cap, tentunya malas membelinya. Sedangkan batik asli Solo saya tidak tahu tempatnya di sebelah mana. Kami hanya membeli beberapa bahan kain dan kaos batik untuk keluarga dirumah. Kaki sudah pegel, akhirnya makan rujak deh di depan PGS. Sebrangnya tepatnya. Sambil menunggu taksi yang lewat. Murah lho rujaknya, cuma IDR 5ribu. Porsinya buanyak banget. Sepiring penuh. Bahkan kita bisa memesan rujak serut. Bumbunya disiram gitu diatas serutan buah-buahan. Pedas, menyegarkan.  
Rujak di Sebrang PGS

Sunday, September 22, 2013

Kutho Solo #Day 1.



Sebelumnya, perjalanan dari Bandung Solo saya tuliskan disini
Anyway, setelah mandi dan bersih-bersih, kami capcus nyari sarapan. Ada yang jualan nasi ayam di depan gang. Nasi ini berisi suwiran ayam dan telur, tapi nasinya mirip nasi uduk. Disajikan di pincuk daun pisang. Rasanya lezaat...dan melihat harganya, jadi tambah lezat. Hehe...hanya IDR 5ribu saja. Selesai urusan mengisi perut, kami langsung dong...nanya-nanya jalan, dan memutuskan naik angkot ke stasiun. Beli tiket pulang. Berbekal pengalaman kemarin, akhirnya kami membeli tiket kelas eksekutif IDR 180ribu. Demi kenyamanan...

# Keraton Surakarta Hadiningrat
Urusan tiket sudah beres, selanjutnya tujuan kami adalah...KERATON SURAKARTA HADININGRAT!
Eng ing eng....nanya-nanya lagi deh. Gengsi mau naik taksi, kan ceritanya backpacker...:D
Ternyata...pasar klewer dekat dengan keraton Surakarta. Dan kedua obyek tersebut dekat sekali dengan Homestay kami! Hanya saja kami ambil arah berlawanan, ke Stasiun dulu. Hihi...dasar manusia-manusia disoriented. Kami naik bus, bertarif IDR 2ribu. Terus turun di Jalan Slamet Riyadi, dan mengikuti saran kondektur bus dengan mencoba naik BST (Batik Solo Trans). Wah...mbak-mbaknya ramah banget deh. Jadi seneng naik bus ini. Kondisi busnya masih mulus. Pelayanannya juga memuaskan. Kami bayar IDR 3ribu saja. Turun di depan PGS (Pusat Grosir Solo), lalu jalan kaki ke keraton. Buat tukang jalan seperti kami bertiga, jalan kaki adalah pilihan yang paling menyenangkan. Disambut gerbang pohon besar di sisi kanan dan kiri jalan, membuat sejuk dan panasnya udara sekitar jadi agak ternetralisir. Kami memang datang saat Solo sedang panas-panasnya. 

Gerbang Masuk Kawasan Keraton
Wringin Kurung Jayadaru

Sepanjang jalan kami melewati aneka tukang jajanan yang kelihatannya lezat (Maklum, tukang makan), pasar barang-barang antik, parkiran sepeda ontel, dan puluhan tukang becak yang menawarkan mengantar ke pasar Klewer. Kami bertiga menggeleng. Memasuki kawasan keraton. Memotret pohon beringin besar, dengan sebuah prasasti di dekatnya. Prasasti tersebut bertuliskan “Waringin Kurung Jayadaru”. Sebagai orang Jawa tulen, saya hanya menebak, artinya Pohon Beringin yang dikurung :D. Jayadaru berasal dari kata Jaya=berjaya, dan Ndaru=Anugrah...Jayadaru mungkin berarti anugrah yang besar (Ngarang banget ya?). Begitu meninggalkan Sang Jayadaru, seketika panas menyambut. Saya yang tadinya menertawakan dan mengejek Bhekti karena bawa-bawa payung pink, kini menyerah. Memilih nebeng payungnya si Bhekti. Sedangkan Mbak Yanti, asyik foto-fotoin kambing. Saya curiga, bukan bener-bener foto tuh dia, tapi lagi membayangkan jika kambing-kambing tersebut disulap jadi tengkleng. Hehe...
Bhekti dengan payung pinkynya
Lanjut masuk ke kawasan Keraton, saya lihat gerbang berdiri megah. Bercat putih, dengan pintu besi biru yang catnya sudah memudar di sana-sini. Meskipun demikian, tak mengurangi pesona keraton Surakarta. Kami masuk ke pendopo yang besar, dengan lantai tegel jaman dulu. Padahal ada tulisannya, “Dilarang Main di Pendopo”, tapi dasar turis domestik pada bandel, tetep saja masuk. Bahkan dengan pedenya foto-foto. Saya sih mikirnya, kalau pendopo ini nggak boleh dimasuki, lantas apa yang bisa kami lihat? Lha wong istana Maemun di Medan saja boleh kami masuki, asal wilayah privasi raja dan ratu nggak diusik. 
Keraton Surakarta Hadiningrat
Pendopo Keraton
Kembali lagi ke Keraton Solo, disitu ada banyak meriam. Entah dulunya untuk apa. Mungkin sebagai perlindungan bagi keluarga kerajaan jikalau tiba-tiba Belanda menyerang. Tiaraaaaappp!!! BOOMMM!!! (#tsaahh). Jalan lagi ke tengah pendopo, kini ada penjaganya. Dia mesam-mesem saja, tapi tidak menegur kami bertiga :D. Kami sih, asyik foto-foto karena ada biduk catur raksasa di tengah pendopo. Wuiihhh...saya sampai geleng-geleng kepala saking kagumnya. Langsung norak peluk-peluk si kuda, si raja, si ratu, bahkan pion-pionnya pun saya peluk tuh (Ya, saya melakukannya!). Saya teringat satu moment. Dulu waktu masih kecil di TV ada iklan keramik. Ada orang dibalut topeng warna hitam, mengelilingi biduk catur raksasa. Dulu saya memimpikan, gimana ya kalau saya mengelilingi biduk catur sebesar itu? Daaan...sebagai akibat impian masa kecil, saya pun muter-muter mengelilingi biduk catur. Sok dorong-dorong itu biduk, tapi nggak gerak sama sekali. Saya rasa Bhekti pun sama noraknya dengan saya. Hanya mbak Yanti yang waras diantara kami bertiga. Dia hanya geleng-geleng kepala sambil fotoin saya dan si Bhekti.
Biduk Catur Raksasa
Nah, saat kami mau masuk ke gerbang kedua, barulah kami disuruh bayar tiket sama bapak-bapak yang mesem-mesem melihat keanehan kami tadi. Hanya IDR 5ribu, kami masuk. Berharap ada kejutan aneh lagi di dalam sana. Secara...meriam-meriam banyak banget. Tapi begitu masuk...lho??? kok kosong? Cuma ada satu pendopo kecil, dan ruang teater (baca : layar tancep). Saya mengikuti jalan, ternyata tembus ke keraton satunya lagi. Namun bangunan tersebut terpisahkan oleh sebuah jalan. Kondisi jalan tersebut sempit, namun padat. Sepertinya kategori jalan utama nih. Ternyata benar sodara-sodara! Ini jalan menuju pasar Klewer. Pantesan banyak becak, gerobak, sepeda, motor, dan mobil pick-up yang bawa bundelan-bundelan besar berisi batik! :D

Jalan yang memisahkan Bangunan Keraton
Bangunan tua menyambut kami. Namun bangunan ini kondisinya lebih bersih daripada bangunan yang kami singgahi tadi. Hanya saja pintunya tertutup. Saya membatin, apa rajanya tinggal disini, ya? Kebayang dong risihnya jadi raja kalau tinggal di keraton. Jadi tontonan orang! Hihihi...


Saya juga sempat berpose di beranda depan. Jadi ingat, mirip-mirip beranda rumah nenek saya jaman duluuu banget. Ada gebyok, lampu cantel, lampu gantung, dan kursi-kursi kayu. 
Keraton Surakarta, by : Yanti Suprianti
Terus di sebelah beranda itu ada semacam garasi yang memajang mobil tua. Tulisannya sih mobil pertamanya Bung Karno dulu. Kalau kita mau berpose di depan mobil tua itu, harus bayar IDR 15ribu. Padahal pakai kamera pribadi lho! Kalau kita nggak bayar, itu mobil ditutupin sama badannya anak kecil yang jagain. Ah, nggak tertarik. Kalau cuma mau foto mobil tua, di Kota Tua Jakarta banyak. Atau bahkan kalau mau koleksi lebih lengkap, di Sabuga sering tuh ada pameran mobil tua. Gratis mau berpose dengan model apapun. Dari mulai nyengir sampai nungging pun bisa (asal nggak malu aja pose nungging).
Meriam Keramat

So, kami lanjutkan perjalanan kami ke Pasar Klewer. Ada cerita, saya disuruh mbak yanti pose di depan meriam. Alasannya simpel. Englenya bagus. Saya pun berpose di depan meriam itu. tapi...setelah berpose, Mbak Yanti menemukan satu fakta. Meriam itu meriam keramat! Ada tulisannya dilarang foto di depan meriam dan dekat pohon melinjo. Waaaaa.....padahal saya sudah aneka gaya tuh foto-foto di tempat terlarang. Mengabaikan pembatas pula. Daripada kualat, kami bertiga langsung ngibrit keluar areal keraton. Ngos-ngosan menuju gerbang yang tembus ke pasar Klewer.
Huuufffttt...legaa...kalaupun ada kutukan, sudah mabur tuh kutukannya. Amiiiinn...Ya Allah...
Pasar Klewer
Sampai di gerbang Pasar Klewer, kami rasanya benar-benar kena kutukan itu. Perut lapeeerrr!!! (*Kutukan atau kebutuhan coba???). Langsung browsing, (sempet-sempetnya kami browsing padahal panas menyengat, dan orang-orang berseliweran). Demi apa? Demi tengkleng pasar Klewer yang terkenal itu! Ya sodara-sodara! Kami mengejar kuliner yang katanya wuenaaaak tenan. Tapi sudah muter-muter nggak nemu juga. Akhirnya kami memutuskan makan tengkleng kambing di warung yang terletak di persimpangan pasar Klewer. Nama warungnya lupa. Kami memilih tempat itu dengan alasan sederhana. Tempatnya penuh. Banyak pelanggannya. Jadi asumsinya enak. Dan ternyata memang enak! Meskipun di hati masih penasaran tengklengnya Bu Edi. Kami bahkan sampai kekenyangan makan disini. Tiba saatnya kami keluar area pasar Klewer, kami bertiga tercengang. Di gapura pasar Klewer, banyak sekali orang yang antri membeli tengkleng. Ternyata...disitulah letak sesungguhnya Tengkleng Bu Edi. Waaaa...berarti kami browsing tepat di depan Tengklengnya bu Edi. Saking seriusnya jadi nggak melihat kalau tengkleng tersebut ada di depan mata. Lagipula, kami berasumsi kalau tempat kuliner Solo yang terkenal enak itu ada di sebuah warung makan. Ternyata...tempat itu bahkan tidak bisa disebut warung. Hanya lesehan dengan kursi-kursi yang berjajar dan ditutupi terpal sebagai atapnya. Menempel seadanya ke dinding gapura. Haiyya...tertipu deh. Gara-gara imajinasi kami bertiga, malah nggak jadi mencicipi tengkleng Bu Edi. Kami pun sudah tidak berminat lagi mencobanya, karena perut sudah kekenyangan. Hmm...mungkin lain kali ya...