Search This Blog

Monday, August 17, 2015

Pantai Seger dan Prasasti Kisah Cinta Sang Puteri Mandalika



Mungkin sudah banyak yang bercerita tentang Pantai Seger. Sebuah pantai yang letaknya di Lombok Tengah. Yang paling mencolok di pantai ini adalah keberadaan Prasasti Puteri Mandalika. Di Postingan tentang Pantai Tanjung Aan yang bisa dibaca disini saya sudah bercerita sedikit tentang sang Puteri ini. Nah...ternyata, untuk mengenang Sang Puteri Mandalika, dibangunlah Prasasti berupa Patung di Pantai Seger. Patung tersebut berartikan bahwa Sang Puteri tidak memihak kepada siapapun. Karena tidak menginginkan perang dan pertumpahan darah di bumi Lombok, maka Sang Puteri pun mengorbankan dirinya dengan terjun ke lautan.
Sang Puteri yang memilih terjun ke Lautan
Saya dan teman-teman tidak lama menikmati pantai ini. Hanya singgah, itulah tepatnya. Apalagi kalau bukan karena ketidakleluasaan kami menikmati bibir pantai karena sudah dikuasai oleh hotel berbintang?
With my Bestie, Mbak Nik Sukacita
Mereka bilang sih pantai itu Restricted Area buat non tamu hotel. Duuh...Padahal itu pantai keren banget...
Kita tunggu saja semoga Pemda setempat segera sadar dan nggak menjual semua pantainya ke pihak swasta, apalagi investor dari luar negeri. 

Masa hari gini kita masih terjajah di negeri sendiri?


Overall...seperti pantai-pantai di Lombok tengah, panorama Pantai Seger juga mempesona dengan latar belakang cerita yang unik. Landscapenya menawan, dengan ketenangan dan pemandangan perbukitan yang mengelilinginya.

Selamat Ulang Tahun ke-70 Negeriku,

Apapun kata orang tentang engkau, bagaimanapun sinisnya segelintir rakyatmu menghujat, menganggap engkau negeri yang terpuruk, juga mencemooh pemimpin bangsa ini, buatku engkau tetap yang terhebat, Indonesiaku. Negeri indah dan luar biasa, tempat aku dilahirkan, dibesarkan, dan akan selalu kubela dengan segenap jiwa dan raga hingga ajal menjemput.


Karena kau Indonesiaku, negeriku yang bersanding di hatiku, setelah Tuhan dan Agamaku.

Dari Belakang Tamansari Water Castle

Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika Bandung


Wednesday, August 12, 2015

Bercengkrama dengan ombak di Pantai Mawun


Pantai Mawun terletak di Lombok tengah, Pulau Lombok. Pantai ini memang jauh dari jajaran pantai yang biasa dikunjungi wisatawan yang bertandang ke Lombok. Maka dari itu, keindahannya juga masih gress. 

Garis pantainya panjang membentang, dengan pasir putih yang bersih dan ombak yang tenang. Air lautnya berwarna emerald, efek dari terumbu karang di taman bawah lautnya. Anyway...saya nemu foto candid and selfie yang kece disini. Jepretannya Bang Je, sahabat IDC yang emang tugasnya jepret-jepret sambil ngadem dibawah pohon rindang.



Jika dibandingkan dengan pantai yang saya kunjungi sebelumnya, mungkin pantai ini paling ramai dikunjungi oleh wisatawan setempat. Pantai Mawun yang memiliki ombak yang ramah dan air laut yang bersih tentunya mengundang para pelancong untuk berenang atau sekedar bermain air. Tapi sayangnya, saat saya berkunjung kesana fasilitas umumnya benar-benar buruk. Bahkan bisa dikatakan tidak layak. Tempat bilasnya sangat memprihatinkan. Bersatu dengan Toilet yang tidak terawat, itupun hanya ada satu untuk wanita, dan satu untuk pria. Mushalla juga kotor sekali. 

Belum lagi pedagang yang tidak rapi. sampah pun banyak terserak dimana-mana. Mengotori pasir putih yang indah. Duh sayaaang banget rasanya.

Saya pikir ini perlu jadi Pekerjaan Rumah Pemda setempat untuk dapat melengkapi fasilitas umum di Pantai Mawun. Sungguh sangat disayangkan jika potensi wisata sebesar ini disia-siakan begitu saja. Jangan sampai pantai Mawun kelak jadi seperti Tanjung Beloam yang dikuasai oleh sebuah resort, atau pantai Senggigi yang habis ditutup hotel-hotel yang dimiliki oleh Investor berkantong tebal. Ujungnya, wisatawan domestik nggak bisa bebas menikmati pantai indah di negeri sendiri kalau nggak menginap di hotel-hotel dengan harga selangit itu.

Tuesday, August 11, 2015

Berteduh di Pantai Kuta Mandalika



Late Post banget ya tulisan ini. Sambungan dari acara jalan-jalan saya keliling Pulau Lombok tahun 2014 lalu. Setelah puas menikmati keindahan Pantai Tanjung Aan, kami pun memutuskan untuk berteduh sejenak sembari melepas dahaga di Pantai Kuta Mandalika. Karena letaknya berdekatan, Pantai ini memiliki garis pantai yang hampir mirip dengan Pantai Tanjung Aan. Namun jika dilihat dari fasilitas yang ada, pantai ini tergolong lebih lengkap karena terdapat beberapa penginapan sederhana dan fasilitas ATM. Selain itu, pantai Kuta Mandalika juga lebih ramai pengunjung. 

Pantai Kuta Mandalika
Gadis-gadis kecil menjajakan souvenir sibuk menghampiri kami. Menawarkan barang dagangannya tanpa kenal putus asa. Begitupula para ibu-ibu yang membawa setumpukan kain tenun khas Lombok. Dengan senang hati mereka menyodorkan barang dagangannya kepada kami. Harga yang mereka tawarkan pun relatif murah.
Gadis Kecil Penjaja Souvenir
Mungkin buat anda yang tak terbiasa, hal ini akan mengganggu ketenangan anda dalam berwisata. Tapi kalau kita bersikap sopan pada mereka untuk tidak terus-menerus menawarkan barang dagangannya, mereka pun mengerti. 

Kami berhenti sejenak untuk menikmati kelapa muda yang menyegarkan sebagai teman untuk berteduh, sembari mata menatap birunya air laut dan putihnya pasir pantai Kuta Mandalika.

FYI, untuk masuk sini kita nggak dipungut biaya retribusi apapun. Hanya bayar parkir/mobil Rp. 5.000,- saja. Sangat Worth it tentunya.

Sunday, August 9, 2015

Mulih ka Desa - Hari Kedua

Jembatan Kereta Api Kaliwangi - Losari
Setelah selesai silaturahmi di Desa Sidabowa Kecamatan Patikraja, saya dan keluarga kembali ke rumah Eyang saya dari Bapak di Rawalo. Tempat saya menghabiskan masa SMA. Tempat ini penuh kenangan buat saya tentunya. Saya banyak belajar jadi manusia sebenar-benarnya disini.

Pintu

Nah, kalau ini adalah Pintu kamar saya, tidak ada yang berubah. Di kamar itulah saya memulai mimpi bahwa suatu hari nanti, saya bisa mengelilingi Indonesia, bisa menjajaki dunia luas. Tak hanya duduk diam dan terlena dengan kenyamanan di desa. Keadaan rumah juga masih sama seperti dulu. Hanya bedanya, nggak ada lagi Eyang Kakung yang super cerewet dan senang mendongeng. Hanya ada Eyang Putri yang selalu sendirian, kangen sama anak cucunya yang sebagian besar tinggal di Jakarta. Sayangnya, Yangti nggak mau difoto :D

Kondisi ruang tamu yang berantakan :D
Hari ketiga kami habiskan dengan bermalas-malasan di rumah eyang. Istirahat, sambil menikmati suasana desa. Tentu saja Daya, adik saya yang gembul itu protes, minta jajan. Akhirnya saya ajak ke Pasar Rawalo untuk menikmati bakso langganan saya dulu. Langsung deh dia senyum-senyum.
Bakso Rawalo, Rp. 10.000/porsi

Daya dan semangkuk Bakso
Hari keempat, saatnya kembali ke Jakarta. Berat rasanya pamitan sama Eyang Putri. Tapi sebelumnya, kami mampir dulu beli oleh-oleh di Pasar Sampang, Kabupaten Cilacap. Letaknya tak terlalu jauh dari rumah eyang saya di Rawalo. Karena panas terik, saya mengajak kedua adik saya nongkrong di  warung es kelapa muda. Tapi saya memang strict kalau soal makanan ke mereka berdua. Apalagi habis puasa, salah makan bisa-bisa penyakit menyerang. Saya pesankan kelapa muda dengan gula merah organik, tanpa es. Ternyata rasanya sangat enak dan menyegarkan. Kelapanya juga asli, sehingga benar-benar segar. Harga per gelasnya hanya Rp. 3000,- saja. 
Penjual Es Kelapa Muda di Depan Pasar Sampang, Cilacap
Daya & Pia. Kakaknya kalah gede sama adiknya
Segelas Kelapa Muda & Gula Merah Organik
Sebelum pulang, boleh dong menikmati pinggiran Sungai Serayu. Letaknya hanya sepelemparan batu dari rumah Eyang saya di Kebasen. Sore itu air sungai berwarna hijau, dan debit airnya tak terlalu tinggi. Mungkin karena musim kemarau. Dari sisi ini, kita bisa melihat Kereta Api melintas di seberang sana. 
Diambil dari sisi kecamatan Kebasen
Bersama sepupu-sepupu
 

Kadang kita perlu kembali ke kampung halaman, untuk tahu dan mengingatkan, darimana kita bermula.

Mulih Ka Desa - Bagian 1



Tadinya saya nggak niat sama sekali buat Mudik ke kampung halaman. Ya, sudah enam tahun terakhir kami sekeluarga selalu merayakan Idul Fitri di Jakarta. Eyangnya diboyong sekalian. 

Tapi Idul Fitri tahun ini saya nggak bisa nolak perintah Mama. Harus pulang kampung!

Perlu diketahui, kalau saya bilang pulang kampung, memang benar-benar pulang ke kampung ya. Letak tepatnya kampung keluarga saya, dimana mama dan bapak saya dilahirkan adalah di daerah aliran Sungai Serayu. Antara Kebasen dan Rawalo.

Karena memang beneran berada di kawasan pedesaan, maka kita masih dengar suara jangkrik yang nyaring, kodok yang saling bersahutan, tokek yang tak henti bernyanyi di malam hari, juga suara burung bersenandung menyambut pagi.

Begitu buka jendela, yang terlihat adalah pemandangan ini :
Sinar mentari bersembunyi malu-malu diantara kabut dan pegunungan. Dia tidak bersinar terik, seolah tahu kalau kami hendak melaksanakan shalat idul fitri di lapangan ini. 

Jam menunjukkan pukul 06.00 WIB. Takbir berkumandang, dan warga desa maupun pemudik mulai berdatangan ke lapangan. Perlahan, lapangan yang kosong pun mulai penuh dengan orang-orang yang ingin bersujud syahdu dengan sang pencipta.


Selesai shalat Ied, kami pun silaturahmi ke Rumah pakde saya di Cilacap. Disini juga masih sangat pedesaan. Dengan sawah hijau membentang dan pepohonan rindang. Karena letaknya yang tak jauh dari Pantai Selatan, tempat ini tentunya beriklum lebih panas daripada di Kebasen maupun Rawalo.

Location : Cilacap

Hari Kedua,

Di hari kedua, kami melanjutkan silaturahmi ke handai taulan di daerah Sidabowa, kecamatan Patikraja. Mau menuju kesitu macetnya minta ampun. butuh waktu sekitar satu jam dari Kebasen. Padahal normalnya, hanya memakan waktu sekitar 10 menit saja. Anyway....tempat ini juga tak kalah alaminya. Masih berupa persawahan nan membentang, dengan gaya hidup masyarakatnya yang masih tradisional.


Daya

Pia
Terlihat adik saya, Pia dan Daya berperan jadi orang-orangan sawah. Mereka berdua memang lahir di kota, jadi bisa dikatakan hampir tidak pernah jalan-jalan di tengah sawah seperti itu. Disini juga mama ketemu sama temen lamanya, jadi sekalian deh ngerumpi.

Mama dan Sohib lamanya
By the way...orang sini nyuci piringnya di pinggir sawah lho...memanfaatkan aliran air irigasi yang masih jernih. Sehingga muncullah jepretan ini :


Belum pulang kalau belum mencicipi kuliner setempat. Homemade Mie Ayam yang rasanya lezat. Tanpa bahan pengawet. Harganya super murah, hanya Rp. 6.500/porsinya.

Homemade Mie Ayam khas Desa Sidabowa, Patikraja
Habis makan...Pulang!
Kali ini saya sekeluarga nggak kembali ke Kebasen, tapi ke Rawalo. Tempat keluarga bokap.
Bersambung....