Search This Blog

Wednesday, July 24, 2013

Soto dan Sate Banjar



Jangan bilang sudah menapakkan kaki ke Kalimantan Selatan jika belum menikmati kuliner yang satu ini. Soto Banjar. Menu nusantara persembahan suku Banjar yang berbahan utama ayam dan beraroma memikat indra penciuman anda. Pada saat disajikan, keharuman aneka rempah seperti cengkeh, kapulaga, biji pala, dan kayu manis berbaur dalam kuahnya, menawarkan kelezatan dan citarasa yang sempurna. Suwiran daging ayam dengan ketupat, rebusan telur, dan perkedel kentang membuat lidah tak sabar untuk segera mencicipinya. Tak ketinggalan, potongan jeruk nipis bertengger di atas piring. Siap untuk diperas dan menambah kesegaran rasa Soto.

Soto Banjar, by Purwinda Iriani

Biasanya, penjual Soto Banjar melengkapinya dengan Sate Ayam. Jangan ragukan lagi kelezatannya, karena Sate adalah hidangan yang sangat populer di Indonesia. Selain itu, menurut CNN.go, Sate menempati posisi no.14 sebagai makanan terlezat di dunia. Bahkan presiden Amerika Serikat Barack Obama selalu mengingat dan menyukai kuliner yang satu ini.

Sate Banjar

Sahabat pecinta Indonesia tentunya sudah tahu apa itu sate. Ya, sate adalah makanan yang terbuat dari daging yang dipotong kecil-kecil, ditusuki dengan tusukan sate yang terbuat dari lidi tulang daun kelapa atau bambu, kemudian dibakar di atas bara api dari arang kayu. Sate disajikan dengan bumbu bumbu yang bergantung pada variasi resep sate. Namun Sate Banjar yang ditawarkan biasanya berbumbu kacang. Harga yang ditawarkan sangat murah, untuk satu porsi Soto Banjar dibanderol Rp15.000,- dan Sate Banjar Rp10.000,-/10 tusuk. Sangat terjangkau, bukan?


Jadi bagi anda para pencinta kuliner Indonesia, jangan ragu untuk mencoba Soto dan Sate Banjar. Kelezatan sempurna persembahan nusantara tercinta. Dan akan bertambah kesempurnaannya jika dinikmati di tepian sungai Barito sambil menatap perahu yang berlalu lalang.

Monday, July 22, 2013

Bapak Silverius dan sebuah cerita indah tentang Aubade


Awal mula cerita ini pada tahun 1999. Saat itu saya baru jadi siswa SMA. Lagi seneng-senengnya pakai baju putih abu-abu. Berasa paling keren deh pokoknya. Di tengah mengikuti pelajaran tiba-tiba saya dipanggil ke aula. Dalam hati sudah berpikir buruk. Jangan-jangan mau dihukum. Mengingat kalau saya tuh bandel. Paling sering terlambat.



Saya dipanggil ke Aula, dan disana sudah berkumpul begitu banyak kakak-kakak kelas saya. Kami yang kelas 1, masih unyu-unyu dan hanya segelintir, datang dengan bingung sekaligus malu. Ya iyalah, yang berdiri di Aula saat itu adalah kakak kelas kami yang beberapa waktu lalu mengospek kami tanpa ampun. Galaakkk! Tapi ternyata, sekarang kami akan jadi satu tim untuk paduan suara pada Aubade. Atau upacara penurunan bendera saat hari kemerdekaan.



Pelatih kami, Pak Silverius adalah salah satu guru yang killer. Setiap mengajar tak pernah lupa berkata, “kacang goreng.” Entah darimana sejarahnya, yang pasti kata-kata itu jadi trademarknya. Bahkan pernah suatu waktu, salah seorang temanku menghitung berapa kali Pak Silver mengatakan kacang goreng. Di turus dongg...dan ternyata bisa seratus kali lebih dalam dua jam pelajaran!


Kembali lagi ke Aula, Pak Silver menjelaskan, berhubung kami dianggap sebagai SMA khatolik yang paduan suaranya paling top, maka kami terpilih untuk tampil jadi paduan suara aubade. Normalnya, paduan suara aubade diikuti oleh minimal 100 orang. Namun kami, hanya sekitar 40 orang pada saat itu. Baru tahu pas gladi bersih. Bingung karena satu kompi tentara sudah siap untuk mengiringi kami, dengan alat musik super lengkap. Komandan upacara kaget melihat kami yang datang hanya sedikit. Dengan gusar, beliau menghampiri pelatih saya. Berikut kurang lebih percakapan mereka :



Komandan Upacara  : “Pak, anak-anak belum datang semua?”

Pak Silverius           : “Sudah. Sudah saya absen, dan lengkap semua.”



Komandan upacara mengerutkan keningnya. “Kami minta 100 orang, pak. Kenapa hanya segini?” tanyanya seraya menatap kami satu per satu. Keraguan jelas terlihat di matanya.



Pak Silverius juga awalnya agak kaget dengan permintaan pak Komandan. Namun beliau kelihatan tetap tenang, senyum pula. Beda banget tuh sikapnya kalau lagi ngajarin kami nyanyi.



Karena pak Komandan berdiri tepat di depan saya sambil mengacakkan pinggangnya, saya bisa lihat ekspresinya. Biasanya, kalau tentara bersikap seperti itu kan kalau lagi marah, tapi dia, jadi lucu. Kayak galau berat. Dia bergumam, “Waduh...gimana ini...apa bisa terdengar dengan paduan suara sedikit seperti ini.” *garuk-garuk kepala.



“Percayalah pak, ini yang terbaik.” Kata Pak Silver akhirnya. Ya. Gimana nggak terbaik, dari sekitar 120an orang yang hebat-hebat dalam menyanyi, dieliminasi jadi 80, eliminasi lagi jadi 60, eliminasi lagi jadi 45, dan akhirnya, hanya 40 yang diloloskan oleh Pak Silverius. Kami juga latihan keras setiap hari. Muter-muter lapangan SMA Yos Sudarso yang lebarnya kayak bulak sawah, setiap hari selama dua bulan berturut-turut. Push-up, loncat-loncat, olahraga, sudah kayak atlit deh. Kalau kami telat latihan, Aula juga kami kelilingi selama sepuluh kali. Belum lagi sikap tegas Pak Silver saat mendidik kami. Wuihhh...sampai saya duduk di perguruan tinggi, dia tetap memecahkan rekor sebagai guru vokal tergalak, yang pernah saya punya.



Namun sore itu, beliau menatap kami satu per satu. Dengan bijak beliau berkata, “Anak-anakku sekalian, jangan minder. Segala yang kita lakukan, tiada yang tanpa arti. You semua memang hanya empat puluh, tapi you, you adalah yang terbaik dari yang paling baik. Bagaimana, you semua sanggup?” tanya beliau.



Kami mengangguk bersemangat. “Sanggup!”



Pak komandan dan para tentara pengiring musik kami sampai kaget melihat semangat kami ini. namun demikian, Pak Komandan berkata, “Pak Silver, kalau misalkan pada gladi bersih ini dirasa kurang, bapak harus siap tambah personel.”



Pak Silver mengangguk takzim, sambil menangkupkan tangan di dadanya. Sungguh, beliau membuat saya sangat terharu. Tidak ada keraguan beliau terhadap kami. Sedikitpun tidak ada. Jika saat kami latihan kami selalu dimaki-maki, dihardik, dan dibilang tidak pernah menyanyi bagus dan kurang powerfull, namun kali ini, pak Silverius justru sangat yakin. Meskipun kami hanya 40 orang.



Dan akhirnya kami di test oleh para tentara itu. Mereka mengiringi kami. Gelegar musik membahana seketika, membuat keramaian di sekitar alun-alun berhenti untuk sementara waktu. Dalam hati, bagus banget mereka mainnya...kelihatan niat dan latihan yang memang sungguh-sungguh.



Lagu pertama, Berkibarlah benderaku.



Lagunya bersemangat kan? Jadi membuat kami tim 40 ikut bersemangat. Tanpa mike, kami mulai menyanyi. Komandan yang awalnya pesimis melihat kami, kali ini terkaget-kaget. beliau terlihat berbisik-bisik pada pelatihku. Tersenyum. Geleng-geleng kepala.



Dan selesai kami menyanyi, beliau justru bertepuk tangan. “Kalian hebat. Saya nggak menyangka kalian bisa bagus sekali nyanyinya. Padahal nggak pakai pengeras suara.”



Namun satu masalah terjadi lagi. Kami nggak punya Dirigen. Karena biasanya kami menyanyi pakai feeling. Padahal, dalam aubade tentunya butuh dirigen. Akhirnya pak Silver mencomot salah satu dari kami. Kakak kelasku maju dengan terpaksa. Nah kakak kelasku ini ditraining selama kurang lebih satu menit, langsung bisa! Hebat kan? Hahaha...the power of kepepet guys. Lagu demi lagu kami nyanyikan. Selesai gladi bersih semua tentara yang hadir bertepuk tangan untuk kami. Bilang kalau soal paduan suara, Yos Sudarso memang tak diragukan lagi.



Esoknya kami tampil lebih rileks. Pengeras suara dipasang lebih banyak dari biasanya. Karena lagi-lagi, banyak pihak yang meragukan tim-40 kami. Sampai akhirnya giliran kami menyanyi. Lantunan demi lantunan lagu kebangsaan mengalun indah. Beberapa lagu menggugah semangat, lagu lainnya mengalir lembut. Lagu “Syukur” yang kami nyanyikan sudah diaransemen ulang oleh Pak Silverius. Membuat bulu kuduk makin merinding. Dan selesai upacara, kami bisa berdiri tegak, bahkan kami diberikan penghargaan lewat pujian yang mengalir tanpa henti. Baik dari pejabat, para peserta upacara yang merupakan perwakilan para guru dan dosen yang ada di kabupaten ini, dan juga oleh Pak Silverius. Bapak yang galak itu terlihat tersenyum dengan mata berkaca-kaca setelah kami “menunaikan tugas”. Beliau menatap kami penuh kebanggaan, tanpa keluar kata, “Kacang goreng.”



Kalau saya ingat peristiwa itu, saya selalu tersenyum. Timbul rasa cinta yang dalam terhadap bangsa ini. Padahal saya cuma nyanyi. Dan saya juga selalu ingat pak Silverius dengan keyakinan yang ditanamkannya pada kami. “Semua yang kita lakukan, tiada yang tanpa arti.” “Cintai negerimu, cintai bangsamu, dan buat sesuatu yang bermanfaat buat negara kita, Indonesia.”



Pak Silver mengajarkan kami Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jarang banget di kelas beliau bahas materi yang ada di silabus. Beliau lebih sering mengajarkan kami menyanyi lagu-lagu daerah dan lagu-lagu kebangsaan. Dalam materi, memang kami tidak hebat. Tidak hafal undang-undang, butir-butir pancasila, dan lain sebagainya soal PPKN. Tapi efek yang saya rasakan, justru lebih jauh dari itu. lewat lagu, beliau menanamkan pada kami soal kecintaan pada bangsa dan negara ini.



“Kalau you mau berhasil, you musti ikut cara para pahlawan kita berjuang. Jangan hitungan sama bangsa ini. Karena setiap you kasih ke orang suatu manfaat, maka Tuhan akan kasih you jauh lebih banyak.”



Belakangan saya baru tahu. Pak Silverius memang orang Flores, namun beliau punya banyak saudara di Timor-Timur. Saat Timor-Timur melepaskan diri dari NKRI pada 4 September 1999, atau kurang dari sebulan setelah kami mengikuti Aubade, pak Silverius nampak sangat sedih. Betapa tidak, adiknya adalah salah satu dari warga negara Indonesia yang ikut berjuang dalam lepasnya Timor-Timur. Bahkan termasuk orang penting dalam sejarah lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Pada saat itu keadaan keos. Pak Silver terpisahkan dengan adiknya juga saudara-saudaranya. Suatu waktu pak Silver cerita pada kami di depan kelas. Beliau diajak untuk pindah jadi warga negara Tim-Tim, yang telah berubah nama jadi Timor Leste. Beliau dengan tegas menolak.



“Sejak lahir darah yang mengalir di tubuh saya adalah darah orang Indonesia. Saya dilahirkan di Indonesia, mati pun di Indonesia.”



Luar biasa kan?



Dulu saya nggak ngerti-ngerti amat soal betapa sakitnya kehilangan keluarga satu darah, sebangsa, dan setanah air, yang justru memilih memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekarang, saya bisa memahami itu. betapa setelah dibesarkan bersama, minum air di tanah yang sama, dengan perjuangan yang sama, tiba-tiba menjadi orang lain. Tak lagi jadi saudara satu bangsa.



Sayangnya, saya tidak lama mengenal Bapak yang satu ini. Beliau memutuskan untuk kembali ke Flores. Di suatu sore saat kami selesai latihan vokal, beliau berkata, “Sudah cukup saya menimba ilmu disini. Sekarang saatnya saya kembali ke tanah kelahiran saya, yang lebih membutuhkan saya.”



“You harus janji sama saya, kalau you semua tidak akan pernah berhenti menyanyi.” Begitu tukasnya. Kami hanya mengangguk, sedih harus berpisah dengan beliau. Saya masih ingat lagu terakhir yang beliau ajarkan pada kami,



Jumpa untuk berpisah



walaupun terlalu manis untuk dilukiskan

Dengan kata untuk kujadikan sebuah syair

Tetapi terlalu pahit untuk dikenang

Kenanganku, yang telah kualami bersamamu



Jangan kau harapkan, ku akan mencari gantimu

Kini ku pergi, mencari diriku sendiri



Oh, mengapa waktu itu kita harus berjumpa

Oh, mengapa kini kita harus berpisah lagi



Pak Silver, kalau saja bapak baca tulisan ini, satu yang bapak perlu tahu,

Kami tidak akan pernah melupakan bapak. Terima kasih atas segala jasa dan ketulusan yang bapak berikan. Semoga bapak bisa selalu bahagia di tanah Flores sana.

Monday, July 15, 2013

JODOH?



Suatu waktu saya menghadiri sebuah majelis. Temanya tentang, JODOH. Hmm...kayaknya perlu didenger nih. Pikir saya. Yang menyampaikan kebetulan anak muda. Mungkin umurnya nggak jauh dari saya. Dia mau membedah buku karyanya, yang dia tulis bersama ustadz yang sudah saya kenal sejak lama. Buku tentang Jodoh. Dengan ekspektasi tinggi, saya turut mendengarkan. Awalnya, saya memaklumi gaya bicaranya yang terpatah-patah dan nggak enak didengar. Nggak apa-apa deh, pemula. Selalu ada pemakluman buat yang baru belajar. Tapi lama-lama, ucapannya malah bikin telinga saya gatel, hati saya kesel. Pasalnya, dia mengeluarkan statement yang sorry-sorry to say nih, jauh dari kata bijaksana bagi seorang muslim.

Dia bilang, “Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kalau kita nggak berusaha mengambilnya, maka akan tetap di tangan Tuhan.”

Udah gitu dengan menggebu-gebu dia bilang gini lagi, “Salah satunya, kita harus berusaha keras kalau mau dapet jodoh. Karena jodoh harus dicari. Berusaha aja lewat kenalan, bergaul, minta dicariin sama temen, sama orang tua,...” dan lain sebagainya. Yang buat saya hanya sebatas opini dan teori. Padahal katanya, dia mau menyangkal teori buku penulis lain soal “Menikahlah!”

Ckckckck...apapun maksudnya, saya hanya bisa tersenyum #sinis sekaligus sebel. Dari awalnya memaklumi malah sekarang saya ngejudge dia sok tahu. Buat saya, dalam komunikasi peran bahasa adalah segalanya. Setelah bahasa, ada cara penyampaian dan INTONASI. Sehingga audiens tertarik untuk mendengarkan, juga menangkap informasi secara jelas, gamblang, tidak menyinggung perasaan, dan karena ini majelis, harus ada unsur memotivasi audiens. Bukannya malah membuat orang yang mendengar jadi berkecil hati.

Oke, saya jelasin saja deh kritik saya :

Pertama soal statement, “Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kalau kita nggak berusaha mengambilnya, maka akan tetap di tangan Tuhan.”

Opini saya : Emangnya Tuhan sepelit itu sampai kekeuh megang jodoh kita di tanganNya?

Fakta : Tuhan itu maha pengasih lagi maha penyayang. Titik.
Dengan mengetahui dan meyakini bahwa Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sebagai manusia tentunya kita nggak boleh ngomong gitu dong. Buat apa Tuhan ngumpetin jodoh kita? Buat apa pula menggenggam erat jodoh kita?

Kedua, statement bahwa “Kita harus berusaha keras kalau mau dapet jodoh. Karena jodoh harus dicari. Berusaha aja lewat kenalan, bergaul, minta dicariin sama temen, sama orang tua,...”

Itu opini dia. Meskipun saya lebih menyukai bahwa usaha yang dimaksud bukanlah usaha nyari-nyari jodoh. Yang saya percaya, jodoh memang sudah digariskan dan diatur oleh Tuhan yang maha kuasa. Sudah ditetapkan tuh tanggal ketemunya. Bahkan waktu, jam, menit, dan detiknya pun sudah ditetapkan. Jodoh memang merupakan takdir ikhtiari, artinya takdir yang bisa diikhtiarkan. Bisa diusahakan. Tapi dengan caranya masing-masing. Untuk statement “bergaul”, jika ada orang yang pergaulannya luas, sikapnya santun, sudah minta dikenalkan oleh teman, saudara, dan dicarikan pula oleh orang tua, tapi jodohnya nggak dateng juga gimana coba?

Nggak usahlah mendikte orang dengan nyari-nyari jodohnya lewat sini, situ, minta dicariin temen, kenalan, ajak nikah, dan lain sebagainya. Emangnya kita murahan?

Nggak. Sesuatu yang bagus, berkualitas dan mahal biasanya nggak diobral. Nggak dipajang saat SALE. Dia tersimpan manis, di tempat yang istimewa. Karena yang berani ngambil juga orang yang istimewa dan berkualitas juga. Agar pantas dan sekufu jika disandingkan. Serasi dan setimbang.

Usaha keras dalam pencarian jodoh?
Itu juga opini. Saya nggak setuju dengan kata, “mencari jodoh”. Nggak. Seperti yang sudah saya utarakan tadi, Jodoh sudah ditetapkan. Pasti datang sendiri, jika memang sudah saatnya. Mau jungkir balik usaha dan berdoa sekuat apapun, kalau memang Tuhan belum berkehendak, ya nggak bakalan terlaksana. Nggak bakalan ketemu. Faktanya, banyak orang yang nggak bergaul, nggak berusaha, bahkan kerjaannya ngumpet di labirin pun bisa dapat jodoh. Kalau bukan karena kuasa Tuhan, karena siapa coba?

Nah, untuk mengisi waktu dalam menunggu “saat yang ditetapkan Tuhan” tersebut, ikhtiar terbaik yang dilakukan adalah dengan terus memperbaiki diri. Meningkatkan kualitas dan performa anda dengan cara beribadah, bekerja, mengamalkan ilmu, menebar benih kebaikan, bermanfaat buat orang lain, tenggang rasa dan toleransi dengan sesama, dan amalan shaleh lainnya.

Kenapa?
Saya balikin lagi deh ke firman Allah, wanita yang baik diciptakan untuk laki-laki yang baik, begitupula sebaliknya.

Kalau mau dapet jodoh baik dan berkualitas, maka pantaskanlah diri anda untuk mendapatkannya. Baikkan dulu diri anda. Tingkatkan dulu kualitas anda. Supaya anda pantas bersanding dengannya. Analoginya sama saja kalau kita mau lulus ujian. Kita harus terus memperbaiki diri bukan? Mengasah kemampuan, banyak latihan, menebalkan iman dan memperkuat ibadah supaya kita pantas untuk diluluskan.

Lantas jika ada statement lagi yang membantah dan mengatakan,
“Pantesan nggak dapet-dapet jodoh. Pemilih sih.”

Opini saya : Ya iyalah pemilih. Siapa diantara manusia di muka bumi ini yang nggak memilih jodohnya? Apapun hasilnya, pasti itu merupakan sebuah pilihan. Lagian, jodoh kan ibaratnya aurat kita nantinya. Seperti baju yang akan kita kenakan seumur hidup. Beli baju buat dipakai kondangan sekali saja kita memilih, apalagi baju yang bakal dipakai seumur hidup?