Nggak
lulus sidang? Kelulusan ditunda? Padahal usaha sudah dikerahkan
sedemikian kuatnya. Mata lelah akibat keseringan begadang, malu juga
pada teman, orang tua, dan handai taulan.
Nggak apa-apa dear...pasti Allah punya rencana lain.
Jangan hanya karena nggak lolos sidang tahun ini, lantas berpikir kiamat sudah dekat.
My dear para mahasiswa kebanggaan Indonesia, mau dengar cerita tentang koridor kehidupan?
Begini ya, konon 50 tahun sebelum kita dilahirkan, Allah sudah menuliskan garis hidup kita di kitab Lauhul mahfudz. Tentunya kalian yang muslim tahu itu. Bagi yang menganut kepercayaan lain, maka logika sederhana ini pun dapat kalian pahami. Nah, di kitab tersebut, Tuhan menuliskan semuanya. Ya my dear, semuanya. Nggak ada yang terlewat. Bahkan takdir seekor semut yang mati karena tak sengaja terinjak kaki kita pun sudah tertulis disana. Karena itu, kita harus meyakini bahwa skenario hidup sudah digariskan. Sudah ada yang mengatur, sudah ada sutradaranya. Kita hanya lakon, yang semestinya menjalani peran kita sebagai manusia, hamba Tuhan.
Well, saya jelaskan lewat sebuah analogi. Ada dua orang perantau, katakanlah si Ujang dan si Maman. Mereka hendak ke desa sebelah. Orang bilang itu Desa harapan. Karena di desa itu ada janji kehidupan lebih baik. Tentu saja, dengan semangat 45 Ujang dan Maman berbondong2 menuju desa itu. Nah, hanya tinggal selangkah untuk sampai di desa harapan tersebut, tiba-tiba di depan mereka ada tembok yang tinggiiiiiii sekali. Tak mudah mereka melaluinya. Sungguh tak mudah. Terlalu tinggi. Bahkan jikalau mereka punya tangga untuk memanjatnya, tetap saja tangga itu tak cukup.
Ujang adalah orang yang keras hati. Dia memutuskan akan tetap menerobos masuk lewat tembok itu. Apapun caranya, Ujang berpikir akan tetap melewati jalan pintas. Nggak peduli tuh seberapa tinggi maupun kokohnya tembok yang menghadang di depannya. Ujang punya cara jitu. Tembok itu akan dia hancurkan. Ya, dihancurkan dengan membuat lubang, sehingga dirinya bisa melewati tembok itu. Sedangkan Maman menggunakan pikiran dan hatinya. Dia merasa tak ada gunanya jika dia mengikuti cara Ujang. Tak mampu tenaganya. Maka dari itu dia melihat ke depan. Ternyata ada jalan setapak. Maman memilih mengikuti jalan itu. Diajaknya Ujang, tapi Ujang tak mau. akhirnya mereka berpisah. Setelah menelusuri jalan itu, perlahan tapi pasti jalan setapak tadi menjadi luas membentang. Maman bertemu banyak orang, mengenal mereka, bahkan beberapa menjadi seperti saudara, dan memberikan Maman perbekalan yang cukup untuk sampai ke desa harapan. Beberapa tahun kemudian Maman sampai. Ya. Maman sampai.
Tak berapa lama Maman sampai, Dia bertemu Ujang.
Dia temui sahabatnya dalam keadaan lusuh, tubuhnya banyak bekas luka, bungkuk, dan sorot matanya hampa. Dilihatnya Ujang seperti memikul beban yang berat. Maka dari itu Maman bertanya,
"Hai Ujang, kenapa kamu jadi seperti ini?"
Ujang menjawab, "Man, saya sangsi ini desa harapan. Buktinya saya sengsara bertahun-tahun. Nggak ada modal, nggak punya bekal, badan pun sakit semua karena saya lelah saat menghancurkan tembok itu. Kalau saja dulu saya tidak menerobos tembok itu, tidak menghancurkannya dan memilih mengikuti jalan seperti kamu, mungkin kejadiannya takkan seperti ini." Tutur Ujang menyesal.
Maman menghela nafas, di satu sisi dia kasihan dengan sahabatnya, di sisi lain dia bersyukur karena sudah memilih untuk mengikuti saja alur jalan setapak yang ternyata, Koridor kehidupan.
My dear para mahasiswa kebanggaan Indonesia, apapun keadaannya, jika memang sudah jalannya, insyaAllah dimudahkan. Kalaupun memang hasilnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan, Tuhan pasti punya jalan lain. Jalan yang meskipun jika kau tempuh akan lebih jauh untuk mencapai impianmu, tapi sejatinya jalan itu memberikanmu kesempatan untuk memperbaiki diri, mempersiapkan bekal, dan memperluas jaringan. Sehingga kelak, jika sudah saatnya sampai pada apa yang kalian impikan, kalian sudah dalam kondisi siap. Siap lahir, mental, juga batin.
Maka nikmat Tuhan yang mana yang kamu dustakan?
Nggak apa-apa dear...pasti Allah punya rencana lain.
Jangan hanya karena nggak lolos sidang tahun ini, lantas berpikir kiamat sudah dekat.
My dear para mahasiswa kebanggaan Indonesia, mau dengar cerita tentang koridor kehidupan?
Begini ya, konon 50 tahun sebelum kita dilahirkan, Allah sudah menuliskan garis hidup kita di kitab Lauhul mahfudz. Tentunya kalian yang muslim tahu itu. Bagi yang menganut kepercayaan lain, maka logika sederhana ini pun dapat kalian pahami. Nah, di kitab tersebut, Tuhan menuliskan semuanya. Ya my dear, semuanya. Nggak ada yang terlewat. Bahkan takdir seekor semut yang mati karena tak sengaja terinjak kaki kita pun sudah tertulis disana. Karena itu, kita harus meyakini bahwa skenario hidup sudah digariskan. Sudah ada yang mengatur, sudah ada sutradaranya. Kita hanya lakon, yang semestinya menjalani peran kita sebagai manusia, hamba Tuhan.
Well, saya jelaskan lewat sebuah analogi. Ada dua orang perantau, katakanlah si Ujang dan si Maman. Mereka hendak ke desa sebelah. Orang bilang itu Desa harapan. Karena di desa itu ada janji kehidupan lebih baik. Tentu saja, dengan semangat 45 Ujang dan Maman berbondong2 menuju desa itu. Nah, hanya tinggal selangkah untuk sampai di desa harapan tersebut, tiba-tiba di depan mereka ada tembok yang tinggiiiiiii sekali. Tak mudah mereka melaluinya. Sungguh tak mudah. Terlalu tinggi. Bahkan jikalau mereka punya tangga untuk memanjatnya, tetap saja tangga itu tak cukup.
Ujang adalah orang yang keras hati. Dia memutuskan akan tetap menerobos masuk lewat tembok itu. Apapun caranya, Ujang berpikir akan tetap melewati jalan pintas. Nggak peduli tuh seberapa tinggi maupun kokohnya tembok yang menghadang di depannya. Ujang punya cara jitu. Tembok itu akan dia hancurkan. Ya, dihancurkan dengan membuat lubang, sehingga dirinya bisa melewati tembok itu. Sedangkan Maman menggunakan pikiran dan hatinya. Dia merasa tak ada gunanya jika dia mengikuti cara Ujang. Tak mampu tenaganya. Maka dari itu dia melihat ke depan. Ternyata ada jalan setapak. Maman memilih mengikuti jalan itu. Diajaknya Ujang, tapi Ujang tak mau. akhirnya mereka berpisah. Setelah menelusuri jalan itu, perlahan tapi pasti jalan setapak tadi menjadi luas membentang. Maman bertemu banyak orang, mengenal mereka, bahkan beberapa menjadi seperti saudara, dan memberikan Maman perbekalan yang cukup untuk sampai ke desa harapan. Beberapa tahun kemudian Maman sampai. Ya. Maman sampai.
Tak berapa lama Maman sampai, Dia bertemu Ujang.
Dia temui sahabatnya dalam keadaan lusuh, tubuhnya banyak bekas luka, bungkuk, dan sorot matanya hampa. Dilihatnya Ujang seperti memikul beban yang berat. Maka dari itu Maman bertanya,
"Hai Ujang, kenapa kamu jadi seperti ini?"
Ujang menjawab, "Man, saya sangsi ini desa harapan. Buktinya saya sengsara bertahun-tahun. Nggak ada modal, nggak punya bekal, badan pun sakit semua karena saya lelah saat menghancurkan tembok itu. Kalau saja dulu saya tidak menerobos tembok itu, tidak menghancurkannya dan memilih mengikuti jalan seperti kamu, mungkin kejadiannya takkan seperti ini." Tutur Ujang menyesal.
Maman menghela nafas, di satu sisi dia kasihan dengan sahabatnya, di sisi lain dia bersyukur karena sudah memilih untuk mengikuti saja alur jalan setapak yang ternyata, Koridor kehidupan.
My dear para mahasiswa kebanggaan Indonesia, apapun keadaannya, jika memang sudah jalannya, insyaAllah dimudahkan. Kalaupun memang hasilnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan, Tuhan pasti punya jalan lain. Jalan yang meskipun jika kau tempuh akan lebih jauh untuk mencapai impianmu, tapi sejatinya jalan itu memberikanmu kesempatan untuk memperbaiki diri, mempersiapkan bekal, dan memperluas jaringan. Sehingga kelak, jika sudah saatnya sampai pada apa yang kalian impikan, kalian sudah dalam kondisi siap. Siap lahir, mental, juga batin.
Maka nikmat Tuhan yang mana yang kamu dustakan?
No comments:
Post a Comment