Search This Blog

Monday, July 22, 2013

Bapak Silverius dan sebuah cerita indah tentang Aubade


Awal mula cerita ini pada tahun 1999. Saat itu saya baru jadi siswa SMA. Lagi seneng-senengnya pakai baju putih abu-abu. Berasa paling keren deh pokoknya. Di tengah mengikuti pelajaran tiba-tiba saya dipanggil ke aula. Dalam hati sudah berpikir buruk. Jangan-jangan mau dihukum. Mengingat kalau saya tuh bandel. Paling sering terlambat.



Saya dipanggil ke Aula, dan disana sudah berkumpul begitu banyak kakak-kakak kelas saya. Kami yang kelas 1, masih unyu-unyu dan hanya segelintir, datang dengan bingung sekaligus malu. Ya iyalah, yang berdiri di Aula saat itu adalah kakak kelas kami yang beberapa waktu lalu mengospek kami tanpa ampun. Galaakkk! Tapi ternyata, sekarang kami akan jadi satu tim untuk paduan suara pada Aubade. Atau upacara penurunan bendera saat hari kemerdekaan.



Pelatih kami, Pak Silverius adalah salah satu guru yang killer. Setiap mengajar tak pernah lupa berkata, “kacang goreng.” Entah darimana sejarahnya, yang pasti kata-kata itu jadi trademarknya. Bahkan pernah suatu waktu, salah seorang temanku menghitung berapa kali Pak Silver mengatakan kacang goreng. Di turus dongg...dan ternyata bisa seratus kali lebih dalam dua jam pelajaran!


Kembali lagi ke Aula, Pak Silver menjelaskan, berhubung kami dianggap sebagai SMA khatolik yang paduan suaranya paling top, maka kami terpilih untuk tampil jadi paduan suara aubade. Normalnya, paduan suara aubade diikuti oleh minimal 100 orang. Namun kami, hanya sekitar 40 orang pada saat itu. Baru tahu pas gladi bersih. Bingung karena satu kompi tentara sudah siap untuk mengiringi kami, dengan alat musik super lengkap. Komandan upacara kaget melihat kami yang datang hanya sedikit. Dengan gusar, beliau menghampiri pelatih saya. Berikut kurang lebih percakapan mereka :



Komandan Upacara  : “Pak, anak-anak belum datang semua?”

Pak Silverius           : “Sudah. Sudah saya absen, dan lengkap semua.”



Komandan upacara mengerutkan keningnya. “Kami minta 100 orang, pak. Kenapa hanya segini?” tanyanya seraya menatap kami satu per satu. Keraguan jelas terlihat di matanya.



Pak Silverius juga awalnya agak kaget dengan permintaan pak Komandan. Namun beliau kelihatan tetap tenang, senyum pula. Beda banget tuh sikapnya kalau lagi ngajarin kami nyanyi.



Karena pak Komandan berdiri tepat di depan saya sambil mengacakkan pinggangnya, saya bisa lihat ekspresinya. Biasanya, kalau tentara bersikap seperti itu kan kalau lagi marah, tapi dia, jadi lucu. Kayak galau berat. Dia bergumam, “Waduh...gimana ini...apa bisa terdengar dengan paduan suara sedikit seperti ini.” *garuk-garuk kepala.



“Percayalah pak, ini yang terbaik.” Kata Pak Silver akhirnya. Ya. Gimana nggak terbaik, dari sekitar 120an orang yang hebat-hebat dalam menyanyi, dieliminasi jadi 80, eliminasi lagi jadi 60, eliminasi lagi jadi 45, dan akhirnya, hanya 40 yang diloloskan oleh Pak Silverius. Kami juga latihan keras setiap hari. Muter-muter lapangan SMA Yos Sudarso yang lebarnya kayak bulak sawah, setiap hari selama dua bulan berturut-turut. Push-up, loncat-loncat, olahraga, sudah kayak atlit deh. Kalau kami telat latihan, Aula juga kami kelilingi selama sepuluh kali. Belum lagi sikap tegas Pak Silver saat mendidik kami. Wuihhh...sampai saya duduk di perguruan tinggi, dia tetap memecahkan rekor sebagai guru vokal tergalak, yang pernah saya punya.



Namun sore itu, beliau menatap kami satu per satu. Dengan bijak beliau berkata, “Anak-anakku sekalian, jangan minder. Segala yang kita lakukan, tiada yang tanpa arti. You semua memang hanya empat puluh, tapi you, you adalah yang terbaik dari yang paling baik. Bagaimana, you semua sanggup?” tanya beliau.



Kami mengangguk bersemangat. “Sanggup!”



Pak komandan dan para tentara pengiring musik kami sampai kaget melihat semangat kami ini. namun demikian, Pak Komandan berkata, “Pak Silver, kalau misalkan pada gladi bersih ini dirasa kurang, bapak harus siap tambah personel.”



Pak Silver mengangguk takzim, sambil menangkupkan tangan di dadanya. Sungguh, beliau membuat saya sangat terharu. Tidak ada keraguan beliau terhadap kami. Sedikitpun tidak ada. Jika saat kami latihan kami selalu dimaki-maki, dihardik, dan dibilang tidak pernah menyanyi bagus dan kurang powerfull, namun kali ini, pak Silverius justru sangat yakin. Meskipun kami hanya 40 orang.



Dan akhirnya kami di test oleh para tentara itu. Mereka mengiringi kami. Gelegar musik membahana seketika, membuat keramaian di sekitar alun-alun berhenti untuk sementara waktu. Dalam hati, bagus banget mereka mainnya...kelihatan niat dan latihan yang memang sungguh-sungguh.



Lagu pertama, Berkibarlah benderaku.



Lagunya bersemangat kan? Jadi membuat kami tim 40 ikut bersemangat. Tanpa mike, kami mulai menyanyi. Komandan yang awalnya pesimis melihat kami, kali ini terkaget-kaget. beliau terlihat berbisik-bisik pada pelatihku. Tersenyum. Geleng-geleng kepala.



Dan selesai kami menyanyi, beliau justru bertepuk tangan. “Kalian hebat. Saya nggak menyangka kalian bisa bagus sekali nyanyinya. Padahal nggak pakai pengeras suara.”



Namun satu masalah terjadi lagi. Kami nggak punya Dirigen. Karena biasanya kami menyanyi pakai feeling. Padahal, dalam aubade tentunya butuh dirigen. Akhirnya pak Silver mencomot salah satu dari kami. Kakak kelasku maju dengan terpaksa. Nah kakak kelasku ini ditraining selama kurang lebih satu menit, langsung bisa! Hebat kan? Hahaha...the power of kepepet guys. Lagu demi lagu kami nyanyikan. Selesai gladi bersih semua tentara yang hadir bertepuk tangan untuk kami. Bilang kalau soal paduan suara, Yos Sudarso memang tak diragukan lagi.



Esoknya kami tampil lebih rileks. Pengeras suara dipasang lebih banyak dari biasanya. Karena lagi-lagi, banyak pihak yang meragukan tim-40 kami. Sampai akhirnya giliran kami menyanyi. Lantunan demi lantunan lagu kebangsaan mengalun indah. Beberapa lagu menggugah semangat, lagu lainnya mengalir lembut. Lagu “Syukur” yang kami nyanyikan sudah diaransemen ulang oleh Pak Silverius. Membuat bulu kuduk makin merinding. Dan selesai upacara, kami bisa berdiri tegak, bahkan kami diberikan penghargaan lewat pujian yang mengalir tanpa henti. Baik dari pejabat, para peserta upacara yang merupakan perwakilan para guru dan dosen yang ada di kabupaten ini, dan juga oleh Pak Silverius. Bapak yang galak itu terlihat tersenyum dengan mata berkaca-kaca setelah kami “menunaikan tugas”. Beliau menatap kami penuh kebanggaan, tanpa keluar kata, “Kacang goreng.”



Kalau saya ingat peristiwa itu, saya selalu tersenyum. Timbul rasa cinta yang dalam terhadap bangsa ini. Padahal saya cuma nyanyi. Dan saya juga selalu ingat pak Silverius dengan keyakinan yang ditanamkannya pada kami. “Semua yang kita lakukan, tiada yang tanpa arti.” “Cintai negerimu, cintai bangsamu, dan buat sesuatu yang bermanfaat buat negara kita, Indonesia.”



Pak Silver mengajarkan kami Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jarang banget di kelas beliau bahas materi yang ada di silabus. Beliau lebih sering mengajarkan kami menyanyi lagu-lagu daerah dan lagu-lagu kebangsaan. Dalam materi, memang kami tidak hebat. Tidak hafal undang-undang, butir-butir pancasila, dan lain sebagainya soal PPKN. Tapi efek yang saya rasakan, justru lebih jauh dari itu. lewat lagu, beliau menanamkan pada kami soal kecintaan pada bangsa dan negara ini.



“Kalau you mau berhasil, you musti ikut cara para pahlawan kita berjuang. Jangan hitungan sama bangsa ini. Karena setiap you kasih ke orang suatu manfaat, maka Tuhan akan kasih you jauh lebih banyak.”



Belakangan saya baru tahu. Pak Silverius memang orang Flores, namun beliau punya banyak saudara di Timor-Timur. Saat Timor-Timur melepaskan diri dari NKRI pada 4 September 1999, atau kurang dari sebulan setelah kami mengikuti Aubade, pak Silverius nampak sangat sedih. Betapa tidak, adiknya adalah salah satu dari warga negara Indonesia yang ikut berjuang dalam lepasnya Timor-Timur. Bahkan termasuk orang penting dalam sejarah lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Pada saat itu keadaan keos. Pak Silver terpisahkan dengan adiknya juga saudara-saudaranya. Suatu waktu pak Silver cerita pada kami di depan kelas. Beliau diajak untuk pindah jadi warga negara Tim-Tim, yang telah berubah nama jadi Timor Leste. Beliau dengan tegas menolak.



“Sejak lahir darah yang mengalir di tubuh saya adalah darah orang Indonesia. Saya dilahirkan di Indonesia, mati pun di Indonesia.”



Luar biasa kan?



Dulu saya nggak ngerti-ngerti amat soal betapa sakitnya kehilangan keluarga satu darah, sebangsa, dan setanah air, yang justru memilih memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekarang, saya bisa memahami itu. betapa setelah dibesarkan bersama, minum air di tanah yang sama, dengan perjuangan yang sama, tiba-tiba menjadi orang lain. Tak lagi jadi saudara satu bangsa.



Sayangnya, saya tidak lama mengenal Bapak yang satu ini. Beliau memutuskan untuk kembali ke Flores. Di suatu sore saat kami selesai latihan vokal, beliau berkata, “Sudah cukup saya menimba ilmu disini. Sekarang saatnya saya kembali ke tanah kelahiran saya, yang lebih membutuhkan saya.”



“You harus janji sama saya, kalau you semua tidak akan pernah berhenti menyanyi.” Begitu tukasnya. Kami hanya mengangguk, sedih harus berpisah dengan beliau. Saya masih ingat lagu terakhir yang beliau ajarkan pada kami,



Jumpa untuk berpisah



walaupun terlalu manis untuk dilukiskan

Dengan kata untuk kujadikan sebuah syair

Tetapi terlalu pahit untuk dikenang

Kenanganku, yang telah kualami bersamamu



Jangan kau harapkan, ku akan mencari gantimu

Kini ku pergi, mencari diriku sendiri



Oh, mengapa waktu itu kita harus berjumpa

Oh, mengapa kini kita harus berpisah lagi



Pak Silver, kalau saja bapak baca tulisan ini, satu yang bapak perlu tahu,

Kami tidak akan pernah melupakan bapak. Terima kasih atas segala jasa dan ketulusan yang bapak berikan. Semoga bapak bisa selalu bahagia di tanah Flores sana.

No comments:

Post a Comment