Sore itu, mendung menggelayut di
langit Barito Kuala. Saya bersama beberapa orang kawan menyusuri jalan rusak
yang terletak di pertigaan antara jembatan Rumpiang, arah ke Barabai, dan Arah
ke Daerah Aliran Sungai (DAS). Melewati jembatan kokoh buatan masyarakat
setempat. Jangan anda bayangkan jembatan ini terbuat dari konstruksi sipil yang
rumit. Tidak. Jembatan itu terbuat dari kayu kelapa, yang disusun seadanya demi
menghubungkan anak sungai Barito dengan desa sebelahnya. Dengan hati-hati kami
melintas, sampai akhirnya mobil berhenti di sebuah pelabuhan. Tujuan kami kali
ini adalah desa Murung Raya. Sebuah desa di tepian sungai Barito, Kecamatan
Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Lengkap bukan? Saya
memang sengaja menuliskannya lengkap agar kalian yang baca dapat
merasakan, atau paling tidak dapat menangkap ketulusan penduduk setempat
nantinya.
Jembatan Kayu Kelapa |
Perahu sepit, sarana transportasi utama penduduk tepian sungai Barito |
Kami berempat menunggu perahu
sepit yang akan mengantarkan kami ke Murung Raya. Orang Barito bilang, taksi
air. Sore itu lalu lintas air tergolong padat, sehingga kami harus menunggu
antrian berikutnya. Untuk menghalau rasa panas, kami duduk di sebuah bangunan
sederhana yang terbuat dari kayu, mengapung di atas sungai Barito. Menatap
luasnya sungai terbesar di Indonesia dan kapal tongkang pengangkut batubara
yang melintas tak henti-hentinya. Membawa emas hitam kekayaan negeri, untuk
selanjutnya diolah namun entah kemana pengolahannya. Saya tak terlalu
memperhatikan.
Menyandarkan perahu
di tiang pancang “rakit toilet”
|
Sepuluh menit menunggu, perahu
sepit datang menghampiri kami. Tanpa pikir panjang, saya dan beberapa kawan
meloncat ke perahu tersebut. Perlu keseimbangan untuk dapat duduk di perahu
ini. salah sedikit, anda bisa tercebur ke dalam sungai Barito. Perahu ini
berbekal mesin penggerak yang berasal dari mesin mobil. Jauh dari kata standar,
apalagi soal keamanan. Tak satupun dari kami yang dibekali pelampung. Kami
hanya tinggal duduk menghadap ke depan, menyusuri sungai, hingga kurang lebih setelah
dua puluh menit melaju perahu kami menepi di sebuah rakit. Ya, saya pikir
tadinya itu rakit. Tapi ternyata bukan. Hanya mirip rakit yang diatasnya ada
sebuah bilik dari bambu, yang ternyata dipergunakan sebagai toilet. Seorang ibu
yang sedang mandi membantu kami menambatkan perahu di tiang pancang toilet
tersebut. Beliau mengulurkan tangannya, seraya menyambut kami dengan senyuman
ramah. Tak sedikitpun ada kecurigaan terpampang di raut wajahnya. Kami orang
baru, baru dilihat, dan juga berpenampilan berbeda dengan mereka. Tapi hanya
ketulusan semata yang saya tangkap dari mata dan raut wajahnya.
Karena kurang hati-hati, salah
seorang teman saya terpeleset. Dan ups...nyaris saja dia tercebur ke kedalaman
sungai barito. Sang ibu pun dengan sigap menarik tangan teman saya. Dipegangnya
erat, sampai teman saya bisa berdiri dengan seimbang di atas “rakit toilet”
tersebut. Teman saya menarik nafas lega, sambil berkali-kali mengelus dada. Tak
lupa juga dia mengucapkan terima kasih pada sang ibu. Kami menaiki tangga,
langsung disambut oleh keramahan warga setempat. Karena tak ada gedung
pertemuan di desa itu, maka kami diajak duduk di sebuah mushalla oleh Pak RT.
Disitulah kami menceritakan maksud dan perihal kedatangan kami.
Mushalla kebanggaan masyarakat desa Murung Raya |
Setelah berkenalan, penduduk
setempat mencurahkan keluh kesah mereka pada kami. Sudah sejak Indonesia
merdeka, listrik belum dapat mereka nikmati. Pernah suatu waktu, ada bantuan
pemasangan sel surya (PLTS). Lampu dapat menyala. Namun hal tersebut tak
bertahan lama. Karena tak dibekali dengan pengetahuan tentang perawatan sel
surya, maka alat tersebut pun rusak. Dan kini hanya teronggok tak berguna di
atap setiap bangunan di Murung Raya.
Briefing sebelum melakukan cek jaringan |
Rumah Penduduk Desa Murung Raya |
Bersama penduduk Desa Murung Raya |
Saat saya dan teman-teman
bercengkrama dengan para warga, beberapa anak kecil pun turut mengerubungi
kami. Mereka tersenyum tulus. Sama tulusnya dengan senyum orang tua mereka. Anda perlu tahu, meskipun belum tersentuh jaringan listrik,
anak-anak ini rajin belajar. Setiap harinya, mereka menyiapkan waktu dua jam
untuk belajar. Dari jam tujuh, hingga jam sembilan malam. Dengan penerangan
seadanya, mereka belajar. Meneguk ilmu demi mengukir masa depan yang lebih
cerah. Menggantung asa, jikalau sudah besar nanti, mereka bercita-cita untuk
menerangi bangsa ini. Lampu teplok dan lentera menjadi teman setia untuk
membuka jendela dunia lewat membaca. Lampu teplok dan lentera yang jika digunakan, maka keesokan paginya membuat dinding ruangan
jadi hitam terkena jelaganya. Hitam semua, sampai ke lubang hidung. Saya tak
sedang bercanda soal ini. Kalau tak percaya, buktikanlah sendiri dengan
menyalakan benda itu di salah satu bagian rumahmu. Kemudian lihat, apa yang
terjadi dengan dinding dan lubang hidungmu.
2012
kawan...saat itu sudah tahun 2012. Kita yang jadi masyarakat kota selalu
menjerit, padahal listrik hanya padam sehari. Atau bahkan sejam. Atau mungkin
hanya beberapa menit. Termasuk saya tentunya. Baru saja padam satu jam,
gelisahnya luar biasa. Tapi mereka, menunggu dengan sabar. Mereka lakukan apa
yang bisa dilakukan. Minimnya fasilitas tak menjadi hambatan untuk tetap
belajar, untuk tetap beraktifitas. Mereka, adalah orang Indonesia sejati yang
pantang menyerah. Penerus perjuangan Pangeran Antasari, Hasan Basry, Tjilik
Riwut, Panglima Batur dan para pendahulu mereka.
Senyuman Harapan Generasi Muda Murung Raya |
Malam
itu, saat saya kembali ke kamar saya yang sejuk, terang, sambil menulis laporan
dengan laptop, saya termenung sejenak. Bedanya, kali ini pikiran saya dipenuhi
rasa syukur sekaligus malu. Terbayang wajah-wajah tulus nan penuh harap yang
saya temui siang tadi. Mereka tinggal di tepian sungai Barito sana. Mereka
terus menebar senyum. Tak pernah protes, tak pernah memaki, dan tak pernah
menjerit jika listrik padam. Mereka mengobarkan semangat untuk maju. Mungkin dengan tahu keadaan saudara kita di pedalaman
sana, kita bisa menjadi orang-orang yang bersyukur. Teramat sangat bersyukur
jadi orang Indonesia.
No comments:
Post a Comment