Search This Blog

Monday, March 18, 2013

Pengalaman Pertama Mengajar (Mahasiswa)



Kalau episode lalu berkisah tentang awal mula sebuah cita-cita, episode hari ini adalah versi “beberapa tahun kemudian”. Setelah terbang kesana kemari, melanglang buana, jadi instruktur pelatihan di depan seluruh rektor dan wakil rektor PTN dan PTS se-Indonesia (ciyee gayaa #tsaahh)...cerita soal ini dibahas di lain waktu*) akhirnya, tahun 2010_beberapa tahun setelah saya bergaya sotoy di depan teman-teman kuliah saya, angin membawa saya kembali ke kampus tercinta. Beeh...angin...ya pokoknya gitu deh. Waktu itu saya (dipaksa) disuruh bapak buat menggantikan beliau mengajar. Masalahnya, bapak lagi keluar kota. *Langsung garuk -garuk kepala, gimanaaa ngajarnyaaa??? Kalau 2 tahun belakangan ngajar di depan bapak-bapak dan ibu-ibu kerasanya biasa aja, eeh pas disuruh ngomong di depan mahasiswa, deg-degan! Asli! Sampe curhat ke supir taksi doong...hehehe...aneh juga ya sayaah...

Udah gitu, supir taksinya sampe mendoakan saya segala lhoo sebelum saya masuk kelas. Masih inget banget tuh si bapaknya bilang gini, “Yang sukses ya neng ngajarnya, semoga dapet suaminya dosen juga nantinya.” Lhoo...kok nggak nyambung? Tapi melihat bapaknya tulus banget ngedoain saya, maka, dipagi yang cerah itu, di depan gedung kuliah baru, saya bilang amiiiinnn.... :D

Bismillah....dengan menyebut nama Allah, mudah-mudahan semua akan baik-baik saja, dan saya nggak dibantai sama anak-anak (mengingat dulu, waktu jaman mahasiswa saya tuh bandel banget, suka bikin dosen kesel sama saya). Menyempatkan diri sms ke nyokap, ehh malah nyokap jawabnya, “Lho, kan kamu biasanya juga ngajar kemana-mana. Kenapa tingkahnya aneh cuma mau ketemu mahasiswa aja?”

Haduuuhh....si mama nggak ngerti banget ya perasaan anaknya ini yang lagi takut kena karma! Huhu...akhirnya saya sms seseorang. Dia yang sangat saya percaya buat tempat saya sharing dulu :p

Dan jawabannya sungguh menenangkan hati...dia bilang, “kan kamu yang bikin bahannya, pasti kamu menguasai. Inget, kelebihan kamu dibanding anak2 adalah, kamu udah baca duluan materinya. Sedangkan mereka, baru akan denger dari mulut kamu. Peduli amat mereka itu anak jurusan teknik atau jurusan sosial.”
Oke oke, akhirnya saya beneran masuk ke dalam kelas, disambut pandangan mata “bingung” oleh para mahasiswa. Ya iyalaah...kenapa bapak dosennya yang killer berubah jadi wanita muda nan keren macam saya? Hahaha...*Narsis :D

Saya memperkenalkan diri seperti biasa (agak kaku karena biasanya ngajar bapak-bapak dan ibu2), tapi selanjutnyaaa....mengalir begitu saja. Laiknya air yang mengalir dari hulu ke hilir. Turun dengan mudahnya seperti sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
Awalnya saya mengalami keringat dingin plus gemeteran, tapi selanjutnya...terserah anda mau menilai bagaimana. Tapi yang jelas, anak-anak semangat banget tuh nanyanya. Semua hal dikupas habis. Udah gitu, saya juga seneng jawabnya. Karena semua dalam jangkauan saya. Dan pertanyaan mereka bagus-bagus. Hari pertama ngajar, OKE.

Di kelas yang kedua juga oke.

Nah, kendala ada di saat ngajar di kelas yang ketiga. Kelas ini, agak berbeda dengan dua kelas lainnya. *Konon katanya, anak-anaknya pinter. Saat saya masuk, kelas berantakan. Bikin mood kacau saja. Udah gitu anak-anak terlambat (Hanya satu jam). Gile!!! Dulu saya kuliah disini, mana berani saya mbadung terlambat sampe sejam begitu? Harusnya masuk jam 1, jam 2 baru pada dateng. Oke, oke, sabar. Begitu udah kumpul semua, ada beberapa anak yang ngetes saya tuh kayaknya. Hehe...belum tahu mereka, saya paham banget pertanyaan model gitu. Pertanyaan yang bukan ingin tahu materinya, tapi pengen tahu jawaban dosennya bener apa nggak. *Salahnya, dia justru bertanya soal hal yang bener2 saya hapal sampe ngelotok dari A-Z. Hal yang saya tahu benar baik praktek dan aplikasi di dunia sebenarnya seperti apa. Akhirnya saya beberkan semua jawaban beserta contoh di lapangan. Runut. Detil. Lugas. Sehingga beberapa mengangguk setuju dan matanya nggak lagi mengejek saya. Berujung anak itu nggak beres2 nanyanya. Tapi pertanyaannya beda, jadi pertanyaan ingin tahu. Belum selesai, ada satu anak yang sepertinya masih belum puas ngetest saya. Sehingga akhirnya selama setengah jam lebih cuma terjadi dialog antara saya sama tuh anak doang. Bikin teman-temannya gelisah. Ckckck...dasar darah muda yaah...sepertinya dia nggak peduli sama teman-temannya. Lama-lama anak ini ingin memojokkan saya, tapi caranya justru membelokkan pikiran teman-temannya kepada hal-hal yang jauuuuh sekali diluar konten perkuliahan yang saya berikan. Sehingga saya tersenyum dan tercetuslah kalimat santun dari mulut saya. “Begini ya, baca dulu yang banyak, telaah dulu yang dalam, baru bicara sama saya lagi.” anak itu, langsung diam.

Tapi serius, saya justru menganggap dia itu anak yang cerdas. Kenapa? Karena dia ngerti kalimat implisit khas saya. Padahal saya sering lho ngomong gitu ke lawan bicara saya, dan mereka nggak ngerti. Dia, langsung menangkap. Dan sepertinya tersinggung saya ngomong gitu. Selanjutnya, dia tidak lagi mencecar, tapi mengemukakan ide-ide yang bagus. Bikin saya respek sama kecerdasannya. Hmm...sayangnya anak secerdas ini tidak diiringi attitude yang bagus. Menurut saya, dia masih menganut hal, “Belum tua, belum boleh bicara”. Sayangnya lagi, di UTS dan UAS kelas ini justru mendapatkan nilai yang membuat saya mengelus dada sambil bolak-balik ngecek, jangan-jangan saya keliru memeriksanya. Padahal soal yang saya buat sungguh-sungguh mudah. Ada beberapa bahkan kelihatan banget saling mencontek. Astaghfirullah...

Belajar dari situ, maka di angkatan selanjutnya setiap mata kuliah saya, para mahasiswa seringkali (bahkan selalu) saya bekali dengan pembangunan karakter, atau attitude. Saya maklum di angkatan sebelumnya banyak yang attitudenya belum cukup baik, karena tidak ada pembekalan khusus buat itu. Beda sama angkatan saya dulu yang full pisaaann sama yang namanya pendidikan karakter. Di kelas, di jurusan, di kegiatan himpunan mahasiswa, di BEM, di pusat, di Job Placement Center, Semuaaaa belajarnya adalah Character building. Saya sampe punya banyak sertifikat soal hal ini. pokoknya attitude is everything dehh. Jauh lebih penting daripada IPK. Dan itu terbukti sodara-sodara! Sangat-sangat ampuh! Karena buat apa otak pinter tapi nggak bisa kasih contoh yang baik? Ujungnya dia hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri. Padahal manusia adalah makhluk sosial yang sejatinya saling membutuhkan. Saling memberi, saling menerima, saling menghargai satu sama lain. Karena kita nggak tinggal di hutan yang tak berpenghuni, nggak bisa lahh kita bersikap seenaknya sendiri.

Hmm...itu sharing saya buat anda para pengajar muda. Segala sesuatu, yang pertama pastilah jauh dari sempurna. Tapi percayalah, hal itu yang bakal membuat anda teringat sampai mati. Bahkan bagi kaum yang berpikir, hal tersebut adalah pelajaran berharga untuk bahan perbaikan di masa yang akan datang. Ada baiknya juga biarkan para mahasiswa mengutarakan ide dan ekspresinya. Seringkali ide mereka bagus-bagus lho...bikin kita terinspirasi. Bisa belajar sekaligus mengajar. Satu lagi, dengarkan ketika mereka curhat. Menandakan kalau kita ada untuk mereka. Dan itu gunanya seorang pengajar, kan? Selagi kita bisa meluruskan sesuatu, kenapa tidak?

Buat anda yang masih mahasiswa, cobalah untuk melihat pengajar dari “isi” bukan tampilan. Karena bisa jadi seseorang yang masih muda justru kapabilitasnya jauh jauh melebihi yang sudah senior sekalipun.

Oke dehh...sekian dulu, sekarang saatnya ngimel bahan kuliah buat mahasiswa belajar besok...

Thursday, March 14, 2013

Awal Mula Sebuah Cita-Cita




Lagi pengen Flashback. Mengenang sejarah kenapa saya sampai disini saat ini. Sejarah lho yaa...bukan masa lalu. Kalau sejarah itu patut dikenang, diingat, diresapi. Sedangkan masa lalu hanya pantas dijadikan spion. Alias sebagai bahan pelajaran kalau mau mengambil keputusan di masa kini, dan masa depan. Berat amir ya bahasanya...oke dehh cekidott:

Mungkin sekitar tahun 2000, saat saya SMA ada yang namanya penyuluhan siswa. Maklum, SMA saya adalah sebuah SMA Khatolik yang peraturannya super ketat. Hampir 70 persen gurunya killer. Tapi yang kacau, saya dan kawan-kawan masihhh aja berani-beraninya dateng telat dan bandel. Mungkin itulah yang membuat pihak yayasan mengadakan acara penyuluhan dan pembenahan siswa di setiap awal caturwulan (dulu masih caturwulan). Sekarang namanya semesteran ya???

Nah, biasanya tuhh...saat penyuluhan siswa adalah saat terindah saya buat tidur. Toh nggak kelihatan. Hampir 300 siswa dikumpulkan di Aula sekolah yang bergaya Gereja Vatikan gitu deeh. Gede banget. Dengan langit-langit yang tinggi, pepohonan rindang di sekitarnya, dan angin sepoi-sepoi.  Nggak salah dong kalau otak saya “memerintahkan” sang mata buat terpejam.

Tapi tidak untuk penyuluhan hari itu. Saya nggak pengen tidur. Kenapa? Bahasan penyuluhannya tak lagi soal disiplin, hukuman buat yang melanggar aturan, soal seragam yang harus rapi, anti narkoba dan lain sebagainya. Hari itu, di jam itu, narasumbernya adalah guru kami sendiri. Dia guru bahasa Inggris yang bijaksanaaa banget. Namanya Bapak FX. Muridno. Bahasannya soal...

CITA-CITA.

Saya memang orang yang bercita-cita yang setinggi langit. Meskipun dilahirkan bukan dari keluarga yang kaya, otak dan hati saya kaya raya akan mimpi. Saya nggak mau sama dengan yang lain. Selalu nggak mau sama. Pemikiran saya juga nggak mau sama kayak temen-temen saya. Pokoknya, saya menetapkan dalam diri saya, kalau sepuluh tahun lagi, saya harus jadi SESUATU dan menghasilkan SESUATU.

Oke, kembali lagi ke acara penyuluhan. Pak Guru bertanya siapa yang mau jadi Polisi? Tentara? Pedagang? Dokter? PNS?
Seru banget lah. Teman-temanku mengacungkan jarinya di “post cita-cita” mereka. Sedangkan saya, tidak satupun dari pilihan yang diberikan Pak Guru, sesuai dengan cita-cita yang saya inginkan. Terakhir, Pak Guru memberikan pilihan. “Siapa yang mau jadi Guru?”
Tiba saatnya saya tersenyum, lalu dengan tinggi saya mengacungkan tangan.
Ya. Saya ingin jadi seorang Guru.



Sebuah cita-cita, yang ada dalam alam bawah sadar sejak saya masih duduk di kelas dua SD. Kala itu, hampir tiap hari saya main guru-guruan, dan saya jadi gurunya. Dan cita-cita tersebut saya sadari penuh begitu saya duduk di bangku SMP.

Ternyata, saat itu...saya jadi satu-satunya siswa yang mengangkat tangan. Hanya saya satu-satunya yang bercita-cita jadi guru. Beberapa kawan tertawa melihat saya. Lho, kenapa? Tidak ada yang salah dengan profesi guru. Sebuah profesi yang sangat mulia, bahkan jadi ladang amal buat saya. Kalau saya jadi seorang guru, maka kelak jika umur saya habis, ilmu yang saya sebarkan akan terus memberikan syafa’at buat saya di alam sana. Hal yang tentunya tidak bisa saya dapatkan jika berprofesi bukan Guru. Pemahaman saya saat itu, saya hanya bisa mencapai posisi sebagai Guru. Karena ketidak-familiar-an saya dengan bahasa. Belakangan saat saya kuliah saya baru tahu, lebih tepatnya, cita-cita saya adalah jadi pengajar. Artinya, saya nggak hanya mengajar anak-anak yang duduk di sekolah SD, SMP, atau SMA. Saya juga bisa mengajar dimanapun, dengan audiens yang beragam.


Saya juga nggak peduli tuh waktu diejek, “Jadi guru itu harus siap miskin.”
Saya jawab, “Nggak apa-apa miskin, yang penting hatinya kaya.”
“Kamu siap miskin?”
“Kata siapa saya akan miskin? Namanya rejeki kan bisa datang darimana saja. Kan banyak guru yang kaya.”

Pede banget ya saya?

Lebih pede lagi, ketika saya kuliah. Di saat jeda pergantian mata kuliah, saya tuh hobby banget duduk di kursi dosen. Saking hobbynya, hampir semua dosen tahu kebiasaan saya itu. Bahkan ada satu dosen yang memergoki saya lagi sok mengajar di depan kelas. Ngajarin temen-temen saya gitu. Terus si bapak ini ngasih sebundel materi ke saya. Judulnya saya masih ingeet banget. “Bersikap Asertif dalam Bekerja”. Besok paginya saya disms, “kamu kasih materi itu di jam mata kuliah saya.” Suruh presentasi dengan persiapan minim? Saya melotot kaget. Tapi seneng. Tantangan doong disuruh ngasih materi dan ngajarin temen-temen saya.  Meskipun temen-temen saya juga hampir setiap hari "saya paksa" dengerin “mata kuliah” saya. Selalu saya bilang,  “teman-teman...nanti kalau anak kalian kuliah disini, saya yang ngajar yaa...” dan teman-teman saya, entah kasihan atau malas meladeni, mereka menjawab. “Aaaamiiiiiinnn....” hihihi...lucu ya mereka.Tuh foto-foto mereka :



Gaya kan mereka? Kelas 3 Marketing A yang selalu kompak dengerin ibu dosen gadungan macam saya. Nah, kalau lagi di kelas, tingkahnya tuh gini nih :



Lihat deh, itu ibu dosen benerannya (Ibu Amalia, justru ada di belakang). Sementara kita-kita, asyik sendiri main dosen-dosenan sama main sekretaris-sekretarisan. Itu lagi nyoba mesin ketik elektronik. jaman dulu keren banget tuh...meskipun sekarang juga masih sering dipake buat ngisi SPT.

Itulah awal mula kenapa saya bercita-cita jadi pengajar. Ceritanya sampai disini dulu, dilanjut dengan materi : Karena Mengajar itu Indah. Pada jam, tempat, dan waktu berikutnya.




Wednesday, March 13, 2013

Aurat oh Aurat!


Nggak bisa ditawar. Seorang wanita, kalau dia mau selamat dunia akhirat, silakan jaga penampilan. Agama memerintahkan agar para wanita menjaga aurat dan kehormatannya. Kenapa sih? Ya iyalah, seorang wanita yang penampilannya sederhana saja sudah menarik perhatian. Apalagi kalau diumbar? Berapa banyak tuh mata yang “belanja” akibat ulahnya?

Nggak usahlah lihat artis, sekarang anak-anak abege yang entahlah dia dapat inspirasi darimana, pakai hot pants dua jengkal di atas lutut, dipadu padankan dengan tank top tali lidi yang sebenernya difungsikan buat kaos dalem, terus rambut panjang disambung, bulu mata dikeriting, bibir dimaju2in terutama saat difoto, dann...giginya dipagar pula. (no offense ya, bukan maksud menyinggung anda2 yang berbehel). Oke lah kalau pake behel dari dokter gigi. Lha ini, beli behelnya aja di abang2 tukang aksesoris yang biasanya mangkal di depan sekolahan. Kalo bibirnya kejepit saat makan gorengan apa nggak bahaya tuh? Atau bahkan, di suatu saat kelupaan lantas tertelan bagaimana?

Ouch...sungguh tren yang sangat keliru. Parahnya lagi, dengan penampilan seperti itu mereka banyak mejeng di mall, di saat car free day, bahkan naik angkot! Hallo...saya aja sebagai cewek lihatnya malu, ngelus dada. Kok ya mereka nggak risih dilihat begitu banyak cowok. Termasuk disini adalah mamang supir angkot, abang becak, mamang tukang sayur, mamang tukang ojek, dan mamang2 lainnya. Terus nantinya, apa nggak rugi tuh cowok yang dapetin cewek model beginian? Hiiyy....bekas diliatin orang.

Last but not least, bagaimana pertanggungjawaban di hadapan Tuhan nanti? Tubuh ini kan sejatinya bukan punya kita. Jiwa, raga, dan nyawa ini barang titipan, yang kelak pasti kembali pada pemiliknya. Kalau dirusak dan tidak dijaga, bagaimana reaksi pemiliknya nanti? Kita saja yang menitipkan barang di swalayan, kalau kreseknya kusut sedikit atau barang kita ditaruh dengan asal-asalan sudah ngomel. Kalau sampai tercabik-cabik bagaimana?

Silakan dipikirkan dan diresapi dengan baik. Buat para wanita, buat anda yang punya saudara perempuan, buat para orang tua yang punya anak gadis, dan tentunya, buat diri saya sendiri.

Arum Silviani