Search This Blog

Thursday, March 14, 2013

Awal Mula Sebuah Cita-Cita




Lagi pengen Flashback. Mengenang sejarah kenapa saya sampai disini saat ini. Sejarah lho yaa...bukan masa lalu. Kalau sejarah itu patut dikenang, diingat, diresapi. Sedangkan masa lalu hanya pantas dijadikan spion. Alias sebagai bahan pelajaran kalau mau mengambil keputusan di masa kini, dan masa depan. Berat amir ya bahasanya...oke dehh cekidott:

Mungkin sekitar tahun 2000, saat saya SMA ada yang namanya penyuluhan siswa. Maklum, SMA saya adalah sebuah SMA Khatolik yang peraturannya super ketat. Hampir 70 persen gurunya killer. Tapi yang kacau, saya dan kawan-kawan masihhh aja berani-beraninya dateng telat dan bandel. Mungkin itulah yang membuat pihak yayasan mengadakan acara penyuluhan dan pembenahan siswa di setiap awal caturwulan (dulu masih caturwulan). Sekarang namanya semesteran ya???

Nah, biasanya tuhh...saat penyuluhan siswa adalah saat terindah saya buat tidur. Toh nggak kelihatan. Hampir 300 siswa dikumpulkan di Aula sekolah yang bergaya Gereja Vatikan gitu deeh. Gede banget. Dengan langit-langit yang tinggi, pepohonan rindang di sekitarnya, dan angin sepoi-sepoi.  Nggak salah dong kalau otak saya “memerintahkan” sang mata buat terpejam.

Tapi tidak untuk penyuluhan hari itu. Saya nggak pengen tidur. Kenapa? Bahasan penyuluhannya tak lagi soal disiplin, hukuman buat yang melanggar aturan, soal seragam yang harus rapi, anti narkoba dan lain sebagainya. Hari itu, di jam itu, narasumbernya adalah guru kami sendiri. Dia guru bahasa Inggris yang bijaksanaaa banget. Namanya Bapak FX. Muridno. Bahasannya soal...

CITA-CITA.

Saya memang orang yang bercita-cita yang setinggi langit. Meskipun dilahirkan bukan dari keluarga yang kaya, otak dan hati saya kaya raya akan mimpi. Saya nggak mau sama dengan yang lain. Selalu nggak mau sama. Pemikiran saya juga nggak mau sama kayak temen-temen saya. Pokoknya, saya menetapkan dalam diri saya, kalau sepuluh tahun lagi, saya harus jadi SESUATU dan menghasilkan SESUATU.

Oke, kembali lagi ke acara penyuluhan. Pak Guru bertanya siapa yang mau jadi Polisi? Tentara? Pedagang? Dokter? PNS?
Seru banget lah. Teman-temanku mengacungkan jarinya di “post cita-cita” mereka. Sedangkan saya, tidak satupun dari pilihan yang diberikan Pak Guru, sesuai dengan cita-cita yang saya inginkan. Terakhir, Pak Guru memberikan pilihan. “Siapa yang mau jadi Guru?”
Tiba saatnya saya tersenyum, lalu dengan tinggi saya mengacungkan tangan.
Ya. Saya ingin jadi seorang Guru.



Sebuah cita-cita, yang ada dalam alam bawah sadar sejak saya masih duduk di kelas dua SD. Kala itu, hampir tiap hari saya main guru-guruan, dan saya jadi gurunya. Dan cita-cita tersebut saya sadari penuh begitu saya duduk di bangku SMP.

Ternyata, saat itu...saya jadi satu-satunya siswa yang mengangkat tangan. Hanya saya satu-satunya yang bercita-cita jadi guru. Beberapa kawan tertawa melihat saya. Lho, kenapa? Tidak ada yang salah dengan profesi guru. Sebuah profesi yang sangat mulia, bahkan jadi ladang amal buat saya. Kalau saya jadi seorang guru, maka kelak jika umur saya habis, ilmu yang saya sebarkan akan terus memberikan syafa’at buat saya di alam sana. Hal yang tentunya tidak bisa saya dapatkan jika berprofesi bukan Guru. Pemahaman saya saat itu, saya hanya bisa mencapai posisi sebagai Guru. Karena ketidak-familiar-an saya dengan bahasa. Belakangan saat saya kuliah saya baru tahu, lebih tepatnya, cita-cita saya adalah jadi pengajar. Artinya, saya nggak hanya mengajar anak-anak yang duduk di sekolah SD, SMP, atau SMA. Saya juga bisa mengajar dimanapun, dengan audiens yang beragam.


Saya juga nggak peduli tuh waktu diejek, “Jadi guru itu harus siap miskin.”
Saya jawab, “Nggak apa-apa miskin, yang penting hatinya kaya.”
“Kamu siap miskin?”
“Kata siapa saya akan miskin? Namanya rejeki kan bisa datang darimana saja. Kan banyak guru yang kaya.”

Pede banget ya saya?

Lebih pede lagi, ketika saya kuliah. Di saat jeda pergantian mata kuliah, saya tuh hobby banget duduk di kursi dosen. Saking hobbynya, hampir semua dosen tahu kebiasaan saya itu. Bahkan ada satu dosen yang memergoki saya lagi sok mengajar di depan kelas. Ngajarin temen-temen saya gitu. Terus si bapak ini ngasih sebundel materi ke saya. Judulnya saya masih ingeet banget. “Bersikap Asertif dalam Bekerja”. Besok paginya saya disms, “kamu kasih materi itu di jam mata kuliah saya.” Suruh presentasi dengan persiapan minim? Saya melotot kaget. Tapi seneng. Tantangan doong disuruh ngasih materi dan ngajarin temen-temen saya.  Meskipun temen-temen saya juga hampir setiap hari "saya paksa" dengerin “mata kuliah” saya. Selalu saya bilang,  “teman-teman...nanti kalau anak kalian kuliah disini, saya yang ngajar yaa...” dan teman-teman saya, entah kasihan atau malas meladeni, mereka menjawab. “Aaaamiiiiiinnn....” hihihi...lucu ya mereka.Tuh foto-foto mereka :



Gaya kan mereka? Kelas 3 Marketing A yang selalu kompak dengerin ibu dosen gadungan macam saya. Nah, kalau lagi di kelas, tingkahnya tuh gini nih :



Lihat deh, itu ibu dosen benerannya (Ibu Amalia, justru ada di belakang). Sementara kita-kita, asyik sendiri main dosen-dosenan sama main sekretaris-sekretarisan. Itu lagi nyoba mesin ketik elektronik. jaman dulu keren banget tuh...meskipun sekarang juga masih sering dipake buat ngisi SPT.

Itulah awal mula kenapa saya bercita-cita jadi pengajar. Ceritanya sampai disini dulu, dilanjut dengan materi : Karena Mengajar itu Indah. Pada jam, tempat, dan waktu berikutnya.