Search This Blog

Tuesday, November 24, 2015

Pagi kedua di Belitong, Kuliner pagi, Pelabuhan Tanjung Pandan, dan Pantai Batu Berahu



Rangkaian Solo Traveling ke Belitong.

Sarapan pagi sudah diantarkan jam 5.30. Seperti hari sebelumnya, saya pun menikmati sarapan saya di kamar sambil mendengarkan live concert Burung Walet. Mereka tak bosannya mendendangkan nyanyian pagi, menandakan aktifitas segera dimulai seiring dengan terbitnya matahari.

Secarik kertas sudah saya corat-coret sejak kemarin malam. Seluruhnya berisi rangkaian rencana petualangan saya hari ini. Saya hendak nonton Festival Laskar Pelangi. Hanya saja, informasi yang saya dapatkan sungguh tidak jelas. Tidak ada di web kapan dan dimana tempat dilangsungkan acara tersebut. Bahkan ketika saya cek di website dinas pariwisata pun sama sekali tidak ada informasinya. Biasanya, kalau ada event besar seperti itu, minimal ada plang atau billboard yang memasang iklannya. Namun untuk Festival Laskar Pelangi, tidak ada informasi yang jelas meskipun saya sudah bertanya ke guide saya, ke pihak hotel, ke orang setempat, dan juga ke Museum Kata Andrea Hirata. Malah mereka baru tahu ketika saya sampaikan saya hendak nonton festival.

Anyway...waktu terus berjalan, sehingga saya pun akan mencoba menyusuri pantai-pantai di sekitaran Tanjung Pandan. Karena jaraknya lumayan dekat, saya pun membatalkan sewa mobil saya hari itu. sebagai gantinya, saya diantarkan oleh Pak Hasmin, Ojek yang mengantarkan saya jalan-jalan ke Tanjung Pendam di hari pertama ke Belitong. 

Saya janjian dengan Pak Hasmin jam 08.00. Sehingga saya masih punya waktu kurang lebih satu setengah jam untuk jalan-jalan di sekitaran pasar Tanjung Pandan. Sekitar jam 6.30 saya keluar penginapan. Saya memotret beberapa gedung yang unik, yang mungkin megah di jamannya. 

Rumah Tua di depan Penginapan Surya
Kondisi Pasar Tanjung Pandan
Areal sekitar Pelabuhan Tanjung Pandan
Pasar Tanjung Pandan sendiri sudah lumayan ramai pagi itu. Kesibukan orang membuka toko menjadi pemandangan yang membuat saya tersenyum. Lihatlah, banyak orang yang mengeluh segalanya mahal, kondisi ekonomi tidak stabil, dollar membubung tinggi, dan lain sebagainya. Tapi saya melihat masyarakat disini tetap tersenyum. Perdagangan tradisional tetap berjalan sebagaimana biasa. Ketika saya tanya seorang bapak apakah mereka merasakan dampak dollar naik, merekapun menjawab,

“Dollar naik? Oh iya. Katanya naik ya? Tapi kami disini biasa saja, karena kami belanja pakai rupiah.”

Nah loh....simpel kan jawabannya? Kalau nggak mau dipusingkan dollar naik, belanjalah pakai rupiah. dan juga kalau mau ekonomi kita terus berputar, belanjalah di pasar tradisional. 

Pelabuhan Tanjung Pandan

Langkah kaki saya membawa saya ke Pelabuhan Tanjung Pandan, yang terletak tak jauh dari pasar. Berbeda dengan pasar yang ramai, pelabuhan ini cenderung sepi. Kata masyarakat setempat, pelabuhan ini akan ramai kalau ada kapal berlabuh dari pulau Bangka, atau kapal barang yang bongkar muat. Selebihnya, pelabuhan ini ya seperti pagi itu. Sepi.

Berbekal informasi yang diberikan Pak Hasmin di hari pertama, saya pun hendak mencoba Mie Ayam Gang Kim Ting yang katanya enak itu. Sudah buka sejak pagi, dan ramai. Kata Pak Hasmin, meskipun kita makan Mie ayam tersebut pagi-pagi, tapi tidak akan sakit perut. Karena mienya dibuat sendiri dengan bahan baku yang fresh, bumbu yang diracik baik, juga kebersihannya yang terjaga. 

Saya memesan satu porsi mie dan segelas kopi Belitong. Pagi tak lengkap tanpa kopi yang belakangan jadi vavorit saya ini. Saat saya mendengar penjualnya bicara, saya jadi tersenyum sendiri. Jauh-jauh saya ke Belitung, yang jual mie ayam orang Jawa juga. 

Tak sampai lima menit, pesanan saya pun datang. 
Mie Ayam Vs Kopi Belitong
Review :

Mie ayamnya memang enak banget. Mienya lembut, kenyal, dan fresh. Bumbunya meresap sempurna di lidah, tapi terasa alami. Tidak kebanyakan vetsin seperti yang sering saya temukan di penjual mie ayam di Bandung. Rasanya Juara!

Kopinya juga enak sekali. Kopi asli Belitong yang rasanya ringan, namun memanjakan lidah si pecinta kopi seperti saya. 

Pokoknya pagi itu Maknyuss!!!

Seporsi Mie Ayam IDR 10.000, dan Segelas Kopi Belitung IDR 3000 saja. Murah banget kann? Enak dan mengenyangkan. Highly Recommended (rate : 5*/5).

Selesai makan, Pak Hasmin pun sudah menjemput saya di kedai Mie Ayam ini. Saat saya tawari sarapan, si bapaknya malah sudah sarapan. Sudah siap cuss katanya. hehe...

Pantai Batu Berahu

Resort di Pantai Batu Berahu

Tepat jam 08.00 saya cuss menyusuri pantai. Pertama, saya diajak menyusuri pantai Batu Berahu. Pantai ini merupakan kawasan resort yang berlokasi di Desa Tanjung Binga, dan berjarak sekitar 18 Km dari Tanjung Pandan. Untuk dapat menikmati pantai ini, kita harus menuruni anak tangga yang lumayan banyak. Saya nggak menghitung pastinya, tapi mungkin sekitar 100 anak tangga kali ya...

Cottage


Resortnya sendiri cocok buat menyepi sambil menikmati suasana pantai yang tenang. Udaranya sejuk karena banyak pohon rindang yang mengelilinginya. Pantai Bukit Berahu juga memiliki garis pantai yang panjang dan berpasir putih serta dihiasi bebatuan granit. 

  
Saat saya datang, ada seorang ibu sedang menyapu dedaunan yang jatuh dari pohon. Dia pun tersenyum menyapa, yang saya balas dengan senyuman juga. Sepertinya dia menanyakan sesuatu ke saya, tapi menggunakan bahasa Melayu yang saya tidak  mengerti. Lagi-lagi, saya hanya tersenyum.

Senyum bahasa paling universal di seluruh dunia kan? Kita nggak bakal dikatakan sombong meskipun tidak merespon dengan bahasa verbal jika kita tersenyum. that’s it. Hehe...

Biasanya untuk masuk sini kita dikenakan tarif IDR 2000, Tapi entahlah, lagi-lagi saya disuruh masuk saja, nggak usah bayar :D
 

Saturday, November 21, 2015

Menikmati sore di Manggar, kota seribu warung Kopi



Selain Aceh, ternyata Manggar juga mendapatkan julukan Kota Seribu Warung Kopi. Rasanya memang pantas kota ini mendapat julukan tersebut. Warung-warung kopi berjajar, dari mulai warung kopi yang kecil, hingga yang berukuran besar dengan banyak meja dan kursi di dalamnya. Di jalan masuk warung kopi, berdiri monumen megah yang berbentuk Teko, dengan cangkirnya. Melambangkan kalau disini memang pusatnya kopi Manggar.

Monumen Kota Manggar
Setelah puas mengelilingi Belitung Timur, dalam perjalanan pulang saya pun singgah di salah satu warung Kopi. Kami memesan satu porsi pisang goreng, segelas kopi Manggar, dan segelas teh tarik. Namanya warkop Millenium, terletak di depan bangunan hotel apa gitu saya lupa.

Namanya Warkop Millenium
Kopi Manggar memang punya citarasa tersendiri. Harumnya tidak begitu menyengat, dan rasanya cocok sekali buat saya. Berbeda dengan kopi Aceh atau Makassar yang keras dan berat, Kopi Manggar menawarkan rasa yang ringan, namun khas sekali. Kalau buat saya, Kopi Manggar merupakan kopi terenak di Indonesia. No offense ya, kembali lagi ke selera. Karena meskipun saya pecinta kopi, saya nggak sanggup minum kopi yang terlalu berat seperti kopi Toraja, Takengon, atau Ulee Kareng. Bahkan kopi Lampung dan kopi AAA dari Jambi pun masih terkesan berat buat saya.

Ini dia tampilan Kopi Manggar :

Kopi Hitam khas Manggar dan Pisang Goreng
Harga untuk satu cangkir kopi Manggar, Satu Porsi Pisang Goreng, dan Satu gelas teh tarik dibanderol IDR 30.000. 
 
Saat ngopi-ngopi, saya mendapat BBM dari teman lama, Bisma. Dia teman kuliah saya dulu. Gara-gara saya update status, dia tahu saya sedang berada di Manggar. Terus teman saya ini bilang kalau di Manggar juga ada Kiki, teman saya satu jurusan. Sekarang bekerja di Dinas PU Belitung Timur. OMG...tadi padahal kantornya kelewatan. Tak berapa lama, Kiki mengontak saya. Duh sayang banget nggak bisa ketemuan karena Kiki masih di Kantor, dan masih lama pulangnya. Sementara saya juga takut kemalaman tiba di Tanjung Pandan. Akhirnya kami hanya bisa ngobrol via BBM deh.

Nggak apa-apa lah ya...yang penting tahu Kiki ada di Manggar. Jadi lain waktu, saya akan atur pertemuan dengannya.

Menghirup udara segar di Vihara Dewi Kwan Im, Belitung Timur




Berarti ini kota ketiga dimana saya berkeliling Vihara. Pertama di Vihara Ekayana Tomohon, lalu di Sam Poo Kong Semarang, dan Vihara Dewi Kwan Im Manggar. 


Ciri khasnya adalah bangunan merah menyala yang berdiri megah dengan ornamen-ornamen khas Tionghoa yang berjajar cantik. Saat saya datang, lagi-lagi saya adalah satu-satunya pengunjung disini. Saya minta izin sama penjaganya untuk memotret, dan beliau pun memperbolehkan. Nggak ada tampang antipati sama sekali meski saya mengenakan jilbab. 

Tempat Sembahyang
Di dekat tempat sembahyang mereka terdapat dupa yang mengeluarkan bau khas. Juga terdengar musik yang mungkin puji-pujian. Nggak terlalu banyak yang bisa dilihat, hanya bangunan vihara saja. Juga tidak ada spot foto yang bisa mengenakan kostum seperti yang saya lakukan di Sam Poo Kong. Enaknya, disini tempatnya sangat bersih dan terawat. Juga karena berada di dataran tinggi, udaranya juga segar sehingga membuat kita tenang.
 
Pemandangan dari Vihara

Untuk masuk kesini, kita tidak dikenakan biaya retribusi maupun biaya parkir. Bebas saja. Asal datang dengan pakaian dan sikap yang sopan ya...