Search This Blog

Monday, May 20, 2013

Misteri Danau Tolire


Dari hotel, saya hendak keliling Pulau Ternate. Demi menjaga stamina, maka saya putuskan untuk makan siang terlebih dulu. Saya minta tolong Zul untuk memilih restaurant yang makanannya enak dan pemandangannya bagus. Kami melaju kurang lebih lima belas menit, akhirnya sampai ke restaurant Floridas. Dari namanya, kukira restaurant ini menyajikan menu western. Tapi kata Zul, disini isinya masakan Indonesia. Waktu saya tanya kenapa tidak ke restaurant yang menyajikan masakan Ternate saja? Zul bilang disini masakannya diadaptasi dari masakan Sulawesi. Jadi paling adanya ikan bakar, gulai, dan menu umum lainnya. Baiklah...nggak masalah. 

Begitu saya masuk, langsung terlihat kalau restaurant ini besar. Meja dan kursi makannya banyak. Meskipun saat saya kesitu, restaurant dalam kondisi sepi. Baru bubaran makan siang. Padahal jam baru menunjukkan pukul 11.30 WIB. Hei...saya lupa sesuatu. Ternate masuk kawasan Waktu Indonesia Timur. Berarti beda dua jam. Dan sekarang jam 13.30. Pantesan sepi.

Sungguh saya kagum ketika waitress mengantarkan saya ke balkon restaurant. Kami menghadap langsung ke Pulau Tidore dan Murotai. Selama ini hanya kudengar dan kubaca dari liputan wisata. Hari ini, kulihat ciptaanNya yang indah dengan mata kepalaku sendiri.

 Keindahan Pulau Tidore dan Maitara

Ngeliat indahnya kayak gitu, nggak disia-siakan dong momentnya...apalagi kalau bukan buat berpose :D


Itu saya lagi pilih-pilih menu. Pilihan dijatuhkan pada gulai ikan baronang, cah kangkung udang, dan sayur pahit (bunga pepaya), dan nasi putih. Minumnya Juice alpukat untuk Zul, dan Es kelapa muda gula merah untuk saya. Total makanan dan minumannya IDR 72ribu. Soal rasa, biasa saja. Kalau dalam skala 1 sampai 5, nilainya 2,5 lah. Ini penampakan minuman saya :


Nah, kalau minumannya, enak banget. Es kelapa muda gula merah yang saya pesan rasanya nikmat dan menyegarkan. Dari skala 1-5, saya kasih nilai 5. Makanya saya abadikan dengan kamera saya. Lihat tuh, eksotis kan fotonya? Kayak lagi menyemburkan uap, dan uap dari gelas saya sampai ke gunung. Maksa :D

Selesai makan kami melanjutkan perjalanan. Saya kasih uang parkir ke Zul. Malah diketawain. "Disini nggak ada yang mau jadi tukang parkir, mbak." gitu katanya. Hehe...beda budaya. Baiklah...lanjutt...

Kekagumanku kembali mencuat ketika mobil kami melewati perkebunan pala dan cengkih. Sebuah harta karun yang dimiliki pulau Ternate, yang justru membawa malapetaka buat masyarakatnya di masa lalu. Bangsa portugis yang semula membeli bijinya, kemudian membeli buahnya, daunnya, hingga seterusnya justru menginginkan pulau Ternate dan Tidore untuk mereka kuasai. Memang manusia yang serakah. Keramahan masyarakat Indonesia timur disalahgunakan. Pohon cengkih dibabat habis, sehingga hanya satu pohon yang tersisa saat itu. Hingga saat ini, pohon tersebut masih berdiri tegak, meskipun usianya sudah tiga setengah abad. Sayangnya saya nggak sempat melihat pohon yang menurut Zul, besarnya bisa sepuluh kali pelukan orang dewasa. Kebayang kan, besarnya?

Kami menuju Danau Tolire. Sebuah danau yang terletak di kaki Gunung Gamalama. Danau ini jauh berada di bawah lereng, airnya berwarna hijau tua. Konon katanya, danau tersebut sangat dalam, berkilo-kilometer dalamnya dan berakhir di lautan. Meskipun hingga saat ini tak seorangpun pernah mengukur kedalaman Danau Tolire. Konon juga, danau ini banyak ikannya. Tapi tidak pernah ada yang berani turun ke danau selain juru kunci, karena masyarakat yakin kalau di bawah danau sana banyak buaya silumannya.



Waktu baru sampai sini, Zul bilang danau ini mistis. Setiap kita melempar sesuatu ke danau, bagaimanapun kuatnya lemparan kita dengan menggunakan batu atau benda apapun, maka tidak akan pernah menyentuh air danau. Benda yang kita lemparkan akan menghilang, sebelum menyentuh permukaan air danau. Saya nggak percaya sebelumnya. Terus Zul ngambil satu batu, dan melemparnya ke danau itu. Wusss!!!

Tiba-tiba hilang! Batunya hilang!

Wahh...amazing! Setengah hati saya bilang amazing, setengah sisanya bilang nonsense. Masa iya, sih? Saya coba deh melempar batu. Saya lempar sekeras-kerasnya. Eehhh hilang! Batunya hilang tak berbekas sebelum menyentuh permukaan air. Saya melongo beberapa saat. Saya jalan ke tubir tebing, hendak melihat apa yang terjadi. Tapi Zul keburu memperingatkan saya, jangan sampai terlalu dekat dengan tebing karena tebing itu rapuh. Kalau terperosok nggak ada yang mau nolongin, selorohnya. Zul cerita, waktu itu pernah ada turis asing penasaran, mencoba membidik air danau dengan senapan. Dan hasilnya, peluru itu juga tidak sampai menyentuh permukaan air Danau Tolire.

Melempar batu ini nggak gratis lho...satu batunya dihargai IDR 2 ribu. Karena melempar 3 batu, maka kami harusnya bayar IDR 6 ribu. Tapi Zul korupsi, jadinya kita suruh bayar IDR 4 ribu saja ke bapak-bapak yang di bawah ini :

Para penunggu batu :D

Usut punya usut, Danau Tolire ada dua lho...Danau Tolire Besar, dan Danau Tolire kecil. Nah yang saya kunjungi ini adalah Danau Tolire Besar. Menurut sumber yang saya baca dari Wikipedia, ceritanya begini : 

Danau Tolire Besar dan Tolire Kecil, menurut cerita masyarakat setempat, dulunya adalah sebuah kampung yang masyarakatnya hidup sejahtera. Kampung ini kemudian dikutuk menjadi danau oleh penguasa alam semesta, karena salah seorang ayah di kampung itu menghamili anak gadisnya sendiri.

Saat ayah dan anak gadisnya yang dihamilinya itu akan melarikan diri ke luar kampung, tiba-tiba tanah tempat mereka berdiri anjlok dan berubah menjadi danau. Danau Tolire Besar dipercaya sebagai tempat si ayah. Sedangkan Danau Tolire Kecil diyakini sebagai tempat si gadis. 

Dihubungkan dengan cerita saat ini, begitu banyak ayah yang tega menghamili anak gadisnya. Kalau mereka dikutuk seperti cerita Danau Tolire, berapa danau yang akan terbentuk di Indonesia ini? Hiyyyy nggak kebayang deh. Nggak dikutuk saja sering banjir. Terlepas dari misteri Danau Tolire, tentu saja saya lebih menikmati suasana sejuk dan asri di sekeliling danau. Zul membantu saya mengabadikan moment tersebut. *Makasih Zul...


Karena saya berdiri dengan dilatarbelakangi Gunung Gamalama, maka saya namai foto ini sebagai "Arum Gamalama" :D jangan dikaitkan sama Dorce Gamalama, ya. Jelas-jelas nggak sodaraan. Di sekitar danau Tolire besar, ada pepohonan yang rimbun. Setelah saya perhatikan, pohon itu adalah pohon cermai. Buah kecil-kecil khas Indonesia. Rasanya manis kalau sudah merah, namun kalau masih hijau rasanya asam dan sepet. Begini nih pohonnya :



Lanjut perjalanan lagi. Kami keluar dari lokasi Danau Tolire besar. Hanya bayar IDR 5 ribu untuk biaya parkir. Sayangnya disini nggak ada pedagang yang berjualan es kelapa muda atau apa gitu, supaya bisa betah duduk sambil menikmati pemandangan lereng Gunung Gamalama dan hijaunya air danau yang eksotis. Satu-satunya tempat duduk ya seperti foto bapak penunggu batu tadi. 

Zul membawa saya menyusuri jalanan sepi. Di sepanjang perjalanan mengitari pulau, saya melihat banyak motor terparkir di pinggir jalan. Okelah kalau jalanan yang ramai, saya bisa mengerti. Tapi di jalan menuju hutan? Saat saya tanya Zul, dia hanya tersenyum. Akhirnya cerita deh...kalau yang punya motor itu biasanya adalah pemuda-pemudi yang lagi pacaran. Masuk ke dalam hutan. Ckckck...aneh-aneh saja. Ngapain coba? Mau sowan sama sodaranya kali ya? Hehe...

Zul nanya ke saya, "Mbak kok percaya sama saya sih? Kita kan belum kenal betul. Di daerah yang nggak dikenal, sepi, kok berani hanya jalan berdua dengan supir?"
Saya jawab, "Saya berani karena selalu ada yang jaga saya. Di pundak kanan, pundak kiri, depan, dan belakang. Selain penjagaan itu, masih ada kekuatan Maha besar yang menjaga saya. Saya sudah minta izin sama si pemilik kekuatan besar itu, kalau saya mau menginjakkan kaki ke belahan bumiNya yang lain. Jadi, apa yang harus saya takutkan?"

"Tapi kenapa mbak percaya sama saya? Kalau saya bukan orang baik bagaimana?" tanya Zul lagi. Saya sampai ketawa lihat mimiknya Zul. Wajah baik hati yang selalu menebarkan senyum. Halus tutur katanya, dan menganggap saya sebagai teman barunya yang perlu dia antarkan kemana-mana. Siapa yang bakal bilang kalau dia orang nggak bener? Tapi saya jawab,

"Feeling saya yang bilang kalau kamu orang baik. Lain halnya kalau feeling ini bilang kamu orang nggak bener. Mana mau saya minta kamu nganterin saya keliling Ternate?"

Zul menyeringai. Nyeletuk. "Kirain mbak jago silat. Jadi berani. Tadi aja pas di Bandara, tampangnya pede banget. Mana barengan rombongan polisi. Ternyata orang nyasar lagi jaga gengsi." 

Hahahaha...si Zul kurang ajar juga. Dia sejak awal sudah lihat saya mendarat, tapi nggak berani menawarkan taksi karena dikiranya saya ini anggota Brimob. Tepuk jidat deh. Nggak ketampangan kali...

Tak jauh dari Danau Tolire, kami melewati pantai Sulamadaha. Kata Zul itu pantai berpasir putih. Tapi saya lagi nggak berminat. Kondisinya ramai begitu. Saya lebih suka pantai yang sepi, tapi eksotis. Daan...saya menemukan ini:


Masyarakat Ternate bisa menikmati hiburan gratis di pantai tersebut. Saya hanya berhenti sebentar untuk mengambil gambar. Lanjut perjalanan lagi, melewati hutan-hutan, dan ketemu lagi pantai tersembunyi.



Di pantai tersembunyi ini nampak beberapa bapak-bapak sedang berkumpul. Bersembunyi kali yaa...segelintir dari mereka punya kebiasaan buruk mengkonsumsi minuman beralkohol yang mereka sebut sebagai minuman cap tikus. Yaitu sebuah minuman yang dihasilkan dari nira kelapa yang dimasak sebelum menjadi gula merah. Uap nira inilah yang mengandung alkohol. Para kaum lelaki meminumnya ketika mentari bersinar terik, di tepi pantai. Aku sempat terheran-heran, bukankah orang minum alkohol untuk menghangatkan badan? Kalau suhu udara sudah terik untuk apa pula mereka minum? Ah sudahlah. Lanjut lagi perjalananku. Eh...ketemu lagi sama si Cantik Gamalama.


Di balik pepohonan itu ada Danau Tolire kecil.

Bersambung...