Pertama kali ke Bandung, tahun 2002. Kala itu saya masih main-main di sekitaran Unpad Jatinangor, tempat sepupu saya kuliah. Bandung menawarkan udara yang sejuk, bersih, dengan banyak kuliner yang lezat serta keramahan orang-orangnya yang luar biasa. Bahkan jauh lebih ramah dari orang Jawa Tengah. Begitu saya berpikir.
Tahun 2003, saya ke Bandung lagi. Kali ini memang niatannya buat nerusin kuliah. Saya mendaftar di Politeknik Negeri Bandung, Jurusan Administrasi Niaga.
Kalau sebelumnya saya menikmati Bandung di kawasan Jatinangor yang bersuhu lumayan panas, kini saya kuliah di Kota Bandung. Dimana udaranya sangat sejuk, bahkan sangat dingin dan bersih. Kondisi jalannya juga baik. Pokoknya Bandung perfect lah buat belajar. Meskipun kampus saya strict banget soal aturan, semuanya jadi nggak terasa karena di Bandung tuh asyik. Suasananya bikin belajar jadi menyenangkan, buat main pun menyenangkan. Selain itu teman-teman juga kompak. Toleransi dan pengertian terbangun dengan kokohnya. Karena kami merasa, kami ini berasal dari berbagai macam suku yang berbeda, namun memiliki visi yang sama. Yaitu lulus kuliah dengan selamat sentosa. Setelah itu dapet kerjaan yang baik.
Tahun 2006, saya lulus kuliah. Bandung pun masih menyenangkan. Meskipun kalau weekend mulai dipadati para pelancong dari Jakarta. Hal ini nggak lepas dari peranan Tol Cipularang yang memudahkan perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Saya pun memilih untuk meniti karier di Bandung. Karena saat itu, buat saya nggak ada kota di Indonesia yang senyaman Bandung.
Tahun demi tahun kian merambat...Bandung pun tak seindah dulu. Awalnya saya sih nggak begitu kerasa Bandung mulai berubah karena saya sering ditugaskan ke luar kota. Namun ketika di tahun 2013 saya mulai sering menetap di Bandung, semuanya jadi terasa. Mau tidak mau, saya pun mulai membandingkan. Dari setiap kota yang saya kelilingi di seluruh Indonesia, yang paling bikin nggak nyaman dan kotor, juga transportasinya buruk adalah kota Bandung. Nggak ada lagi bunga-bunga yang menghiasi kota. Yang ada justru tumpukan sampah. Predikat Bandung Kota Kembang tak lagi pantas disandang. Sampah. Sampah dan Sampah dimana-mana. Bahkan di sekitaran kampus, bau sampah pun tercium dari radius 200 meter. Luar biasa, kan?
Belum lagi tata kota yang amburadul. Muter-muter nggak jelas. Buat orang yang nggak biasa dengan jalanan kota Bandung, pasti nyasar. Pasti! Gimana nggak, banyak jalan satu arah! Banyak bangunan liar, PKL dimana-mana. Jorok pula.
Makanya, waktu Inna Savova nulis artikel
"Bandung the city of Pig" di blog pribadinya, saya sih hanya bisa
mengangguk, setuju. Memang bener kan, kenyataannya? Dia hanya bicara
barang nyata. Bandung tuh jorok. Itu realitasnya. Dan sebagai warga Bandung, semestinya ikut tergerak hatinya untuk menjaga Bandung, bukannya malah menghujat orang yang ngomong barang nyata. Sadar dong ah!
Hal lain, Ruas jalan di Bandung tuh sempit banget, dengan jumlah kendaraan yang banyak. Jadi bisa dipastikan macet dimana-mana. Kalau normal, jarak dari tempat kost saya di Dago ke Lembang hanya sekitar 1 jam. Tapi seringnya, kalau weekend justru bisa sampai 4 jam. Macet total. Dari Dago ke Polban di Ciwaruga, normalnya juga paling hanya sekitar 30 menit. Namun dengan layanan transportasi umum yang buruk, dimana-mana angkotnya ngetem, dan kondisi jalan banyak yang menganga, walhasil perjalanannya pun bisa sampai 2 jam. Keren, kan?
Padahal kota-kota besar di Indonesia sedang berlomba-lomba untuk meningkatkan transportasi publiknya. Bandung? Wallahualam bisshowab. Fasilitas umum saja banyak dirusak. Lihat saja tuh di Dago. Kawasan dekat Bank BCA Dago. Baru saja dibikin tempat dengan tulisan DAGO dengan desain yang cantik, hanya tahan beberapa hari. Setelahnya, dicorat-coret nggak jelas. Terus lagi soal keamanan. Kalau dulu kita pulang malam di Bandung tuh aman. Bahkan preman-premannya pun masih mau nunjukin rute angkot. Tapi sekarang? Ngeri mamen...geng motor dimana-mana. Jam 9 malam pun bisa jadi berbahaya. Padahal nggak jarang kan lembur di kantor?
Bandung juga sudah dianiaya sedemikian rupa oleh para developer. Lihat saja yang nyata-nyata kawasan resapan air di daerah Cisitu. Orang nggak sekolah juga tahu tempat itu resapan air. Karena sejak jaman dahulu kala, disitu adalah dataran tinggi tempat bernaungnya aneka pohon besar yang akarnya mengikat dan memperkokoh struktur tanah. Apalagi di bawahnya ada sungai Cikapundung yang kualitas airnya sangat baik. Tapi apa sekarang? Sudah ada bangunan besar dan tinggi nangkring disana. Buat Apartemen, katanya.
Dengan Pak Ridwan Kamil yang kini menjabat sebagai Walikota Bandung, saya berharap banyak. Mudah-mudahan Pak Emil dikasih kekuatan, kesehatan, dan kesabaran buat membenahi Bandung. Sekarang yang sangat terasa buat saya adalah pemfungsian kembali trotoar. Jadi seneng jalan kaki di Bandung, tanpa harus diklaksonin sama pemilik mobil yang nyebelin. Jadi berasa dikembalikan hak saya sebagai pejalan kaki.
Namanya mengubah sesuatu yang sudah mendarah daging memang nggak gampang. Apalagi soal manner manusia. Tapi saya yakin, Pak Emil dan jajarannya bisa kok bikin Bandung jadi bersih. Bikin Bandung kembali pantas menyandang gelarnya sebagai Kota Kembang. Biar saja banyak orang yang menghujat, toh yang dilakukan walikota sekarang adalah benar. Mari, kita jaga dan kita pelihara kota Bandung. Menjaga kebersihan tuh bukan tugasnya walikota, tapi tugas kita semua yang tinggal di Bandung. Baik itu warga kota Bandung, maupun pendatang. Baik itu penduduk asli, maupun turis yang cuma numpang lewat di Bandung.