Boleh dibilang, perjalanan ini
luar biasa! 16 Jam dari Bandung-Malang. Sampai di Stasiun Kota Malang hampir
jam 10 pagi. Kami memutuskan untuk mengisi perut dulu di warung makan yang
terletak di depan Stasiun. Menunya sederhana, namun tempatnya bersih. Setelah
itu kami jalan lagi ke hotel Camelia. Nggak jauh dari stasiun memang, tapi
ternyata hotel sudah penuh. Sehingga rencana kembali ke semula. Menginap di
hotel Helios Malang di hari ketiga.
Dari stasiun, kami naik angkutan
umum ke Terminal Arjosari, dan menyambung dengan bus Patas AC ke Probolinggo.
Perjalanannya terbilang nyaman, karena supir bus mengemudi dengan hati-hati,
juga full musik sepanjang jalan.
Sekitar jam 12.30 kami sampai di
Terminal Bayuangga, Probolinggo. Bergegas menghampiri Bison (Elf) yang sedang
menunggu penumpang penuh. Disitu kami bertemu dengan pasangan yang ternyata
dari Bandung. Tiara dan Uje. Karena mereka masih terkatung-katung, belum dapat
penginapan dan jeep untuk ke Bromo, maka akhirnya kami sepakat mengajak mereka
join.
Kurang lebih satu jam menunggu di
depan terminal Bayuangga, supir bison siap mengantarkan kami. Ada beberapa
wisatawan asing, kemudian rombongan keluarga dari Jakarta, dan rombongan kami.
Total ada 18 orang yang masuk ke dalam Bison tersebut. Kebayang kan
dempet-dempetan nggak karuan? Sama sekali tidak nyaman lah. Belum lagi tingkah
laku supir Bison yang ugal-ugalan. Hmm..nggak dimana-mana ya...semua supir Elf
memang seperti menyandang 9 nyawa. Kebut-kebutan, padahal apa coba yang mau
dikejar?
Namun rasa tidak nyaman itu
terbayar ketika kami sudah memasuki kawasan kaki Gunung Bromo. Luar biasa
Indah! Bahkan menurut saya, pemandangan di sepanjang desa yang dilalui sebelum
mencapai Bromo lebih indah daripada Gunung Bromo itu sendiri.
Ditunjang udara yang bersih dan
segar, tanpa polusi, membuat saya serasa sedang duduk di kendaraan yang nyaman.
Begitupula dengan penumpang Bison lainnya. Para wisatawan asing bahkan
berkali-kali berdecak kagum, bilang kalau “Wooooww...Wonderful!”
Hal yang membuat saya tersenyum
simpul. This is only a part of wonderful
Indonesia. Demikian saya membatin.
Sayangnya...karena ulah Sopir Bison yang ugal-ugalan, tak satupun gambar yang
berhasil saya abadikan. Hmm...cukup diabadikan dalam memori saya saja.
Satu jam melaju, sampailah kami
di Cemoro Lawang. Disitu dijemput Mas Adi (pemandu kami) yang kemudian
mengantarkan kami ke penginapan.
Penginapan di Bromo
Penginapan ini sebenarnya rumah
penduduk yang disewakan. Tidak ada plang atau papan nama di depannya. Namun
sepertinya, setiap orang yang tinggal di kawasan Bromo ini memang sudah saling
mengenal. Menurut saya, rumah sewaan kami sangatlah nyaman dan bersih. Dengan
fasilitas dua kamar, satu ruang tamu dan satu kamar mandi, rasanya sudah sangat
cukup untuk mengusir lelah dan mengistirahatkan raga setelah menempuh
perjalanan jauh. Lingkungannya juga nyaman, dengan latar belakang kebun sayur
dan rumah penduduk yang berdinding anyaman bambu.
Pemandangan di belakang penginapan
Baru beberapa saat kami masuk
penginapan, saya melihat ada seorang gadis kecil menjajakan bunga edelweis.
Saya tanya, apakah bunga tersebut dijualnya. Gadis kecil itu mengangguk, dan
mengiyakan. Dia menawarkan harga 15 ribu rupiah untuk seikat bunga edelweis.
Wooow....amazing!
Di daerah lain, bunga edelweis
termasuk bunga yang dilindungi. Tidak boleh dipetik. Bahkan di beberapa tempat,
kalau kita baru turun gunung akan diperiksa petugas. Jika kedapatan membawa
bunga ini, maka kita bisa dikenai tindakan hukum.
Saya, mbak wian, dan Mbak Yanti
juga kedua teman baru kita Uje dan Tiara, masing-masing membeli satu ikat untuk
dibawa pulang. Mbak wian bahkan membeli satu ikat lagi untuk dibagikan ke
teman-temannya di Bandung. Selanjutnya, karena lapar kami jalan-jalan mencari
makanan. Tidak ada warung yang menyediakan nasi dan lauk pauknya disini. Semua
warung yang ada hanya menyediakan mie instant. Akhirnya kami pun makan ala
kadarnya. Baru belakangan kami tahu, ternyata ibu-ibu di sekitar penginapan
bisa dimintai tolong untuk memasak. Hmm...lain kali kalau berkunjung kesini
lagi, kami akan membawa bekal makanan yang cukup. supaya bisa dimasak dan
dinikmati di kaki Bromo. Karena udara dingin, makan apapun terasa enak. Dan
kita pun cepat lapar rasanya.
Ketika ke kamar mandi, airnya
dingiiiin....seperti di kawasan Lembang, Bandung. Air hangat pun tak terasa rasanya. yang terasa hanya...dingiin...tapi
sejuk.
Sore harinya kami berjalan-jalan
ke Cemoro Lawang. Tidak jauh dari penginapan kami. Disitu ada spot yang
digunakan untuk fotografi. Dimana sejauh mata memandang, kita bisa melihat Gunung
Batok dan lautan Pasir, bak kabut di sore hari. Dari spot ini saya juga bisa
melihat ada jeep yang sedang melaju kencang di bawah sana. Saya berpikir, kok
bisa ya rutenya kelihatan? Padahal kan di atas Gurun Pasir. Jejak pun mudah
terhapus karena tersapu angin.
Spot Fotografi diatas Lautan Pasir
Setelah puas mengabadikan moment
indah tersebut, kami kembali ke penginapan. Sebelumnya kami memesan makanan
dulu, agar bisa diantarkan ke penginapan. Pemilik warung yang ternyata tinggal
di belakang rumah sewaan kami pun dengan senang hati memenuhi permintaan kami.
Sambil menunggu ngantuk, kami
ngobrol kesana-kemari. Hingga makin malam, dingin mulai menusuk. Saya merepet
ke Mbak Yanti. Apapun lah saya lakukan demi menghangatkan diri. Kaos kaki
dipasang, jaket, selimut, semua lengkap. Tapi tetap saja dingin. Ketiduran, dan
bangun lagi jam 2 pagi. Sudah nggak bisa lanjut tidur tuh, saking dinginnya.
Akhirnya kami bertiga ngobrol-ngobrol lagi. di depan penginapan, sudah mulai
terdengar suara mobil yang hendak ke Pananjakan 2. Dini hari mereka
berangkatnya, demi mencapai spot terbaik untuk melihat matahari terbit. Sedangkan kami, baru akan dijemput jam 03.30.
membeli bunga eidelweis berarti turut menyumbang kepunahan bunga tsb
ReplyDelete