Begitu dengar Aceh, biasanya
orang akan langsung teringat : GAM, Tsunami, Masyarakat yang anarkis, dan
Tentara Syariah. Banyak banget berita tentang hal-hal tersebut. Media juga
seringkali membesar-besarkan hingga akhirnya muncullah “cap buruk” tentang Aceh
yang di-overgeneralization. Artinya, memandang Aceh dengan persepsi buruk.
Makanya, di artikel ini saya pengin kasih tahu ke pembaca, Aceh dalam nuansa
yang berbeda. Aceh yang aman dan kini tengah berbenah.
Suatu hari di penghujung
Desember, untuk pertama kalinya saya terbang ke Banda Aceh. Bersama beberapa
kolega, kami memilih penerbangan Garuda Indonesia dari Bandara Soekarno-Hatta.
Penerbangan ini singgah di Medan selama kurang lebih 30 menit, dan melanjutkan
perjalanan ke Bandar Udara Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh.
Banda Aceh siang itu berawan,
dengan suhu sekitar 33 derajat celcius. Jarak pandang dan landasan pacu yang
panjang pun turut mendukung hingga pendaratan berlangsung mulus.
Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda |
Kesan pertama mendarat di bandara
ini : Bersih dan teratur. Juga tidak terlalu padat seperti bandara sibuk
lainnya. Kami pun turun dari pesawat dengan menggunakan garbarata yang
dilengkapi penyejuk udara. Padahal biasanya, bandara di daerah banyak yang tidak
mempunyai fasilitas ini. Seringkali saya harus jalan kaki di atas landasan
aspal bersuhu di atas 40 derajat celcius untuk menuju terminal kedatangan. Dengan
perbandingan demikian, dapat saya katakan bahwa Bandara Sultan Iskandar Muda
sudah layak disebut bandara internasional seperti nama yang disandangnya.
Kondisi sesaat setelah pendaratan |
Begitu sampai ke terminal
kedatangan, kami disambut oleh rekan-rekan dosen dari Universitas Syiah Kuala.
Rencananya memang kami akan silaturahmi ke Universitas terbesar di Banda Aceh
ini. Kami pun langsung menuju kampus Unsyiah. Dalam perjalanan, kami melewati
pemakaman massal korban Tsunami. Tidak ada nisan disana. Hanya ada tanah lapang
dengan rerumputan yang hijau membentang.
Pemandangan lainnya adalah tanah
kosong dengan rimbunnya pepohonan serta rumah penduduk yang tertata rapi. Informasi
yang saya dapatkan dari supir, dulu daerah ini sangat tidak diminati sebagai
tempat permukiman warga. Namun semenjak Tsunami menghantam pusat kota Banda
Aceh dan menguras habis perumahan di tepian pantai, daerah ini menjadi tempat
favorit untuk rumah tinggal. Karena selain tergolong dataran tinggi, tempat ini
jauh dari pantai. Saya memaklumi sikap masyarakat yang demikian. Bencana
sedahsyat itu tentunya meninggalkan trauma yang tak mudah untuk dihilangkan.
Kondisi jalan pun sangat baik.
Lebar dan mulus. Hingga masuk ke kota Banda Aceh, kondisi jalan tetap mulus.
Geliat pesatnya ekonomi kentara jelas. Ruko-ruko yang menjual aneka kebutuhan
masyarakat seperti pakaian, bahan makanan pokok, bahkan mainan anak-anak pun
berjajar disini. Artinya, Persaingan bisnis sudah berjalan seperti halnya di kota
yang sedang berkembang.
Kekhasan kota ini pun dapat
dilihat dengan banyaknya jajaran warung kopi. Seperti yang sering kita dengar,
warung kopi adalah icon sejati Ujung Banda. Jokesnya, setiap meter ada warung
kopi. Meskipun demikian, sepanjang hari dan malam warung kopi tersebut tak
pernah sepi pengunjung.
Hmm...Banda Aceh kini benar-benar
sudah berbenah. Demikian saya membenak.
Setelah urusan kami di Unsyiah selesai, kami pun menemui hulubalang
saya waktu di Bandung. Apalagi kalau bukan minta dianter jalan-jalan? Hehe...
Hal pertama yang saya lakukan
tentunya nyobain nongkrong di warung kopi. Menikmati kopi sanger (ulasannya
sudah saya tulis disini) dan aneka cemilan khas Aceh. Tidak hanya kopi. Banda
Aceh juga menawarkan kuliner yang tak kalah lezatnya. Menu khas daerah ini yang
saya coba adalah ayam tangkap, gulai kambing, sate matang, dan tentu saja...Mie
Kepiting Aceh.
Semua masakah khas Aceh mempunyai
citarasa yang otentik, dengan aneka rempah yang menggelitik lidah anda.
Untuk akomodasi, kami menginap Hotel Madinah, Jl. Teuku Daud Bereuh.
Hotel ini terletak di pusat kota Banda Aceh. Di seberangnya terdapat rumah
sakit yang dibangun atas kerjasama Program kemitraan Australia Indonesia.
Menurut pelayan hotel, rumah sakit tersebut memang dibangun untuk menanggulangi
korban bencana tsunami Aceh 2004 lalu.
Sekilas tentang kondisi hotel : Kamarnya luas dan lumayan bersih, namun
dasar saya yang suka parno, terasanya malah agak spooky. Fasilitasnya juga
minim. Mirip losmen gitu. Padahal kalau tidak salah, ini hotel bintang 3. Hal
menyenangkan menginap di hotel ini adalah aksesnya, karena dekat kemana-mana.
Selain itu, meskipun tampilan restaurant dan menunya teramat sangat sederhana, namun
breakfastnya lumayan enak. Memang cuma nasi goreng, tapi dimasaknya secara baik
dan benar. Jadi citarasanya seperti masakan rumah.
Setelah istirahat sejenak, malam
harinya berlanjut lagi mencoba Mie kepiting Aceh di warung Mie Razali. Kepiting
dan mienya fresh. Hanya saja bumbunya terlalu pekat di lidah saya yang orang
Jawa. Rempah-rempahnya sangat terasa.
Masih belum puas, kami pun jalan-jalan ke Ulee Lheue Port, Banda Aceh.
Disini pelabuhan tempat bersandarnya Kapal Ferry dan Speedboat ke Pulau Weh.
Waaa....saya mupeng banget. Pulau Weh adalah salah satu Destinasi yang wajib
dan harus saya kunjungi. Saya kan punya cita-cita : See Weh Island before married. Hehehe...Sayangnya...belum
kesampaian kesana. Kini, saya harus berpuas diri menikmati jagung bakar di atas
jembatan Ulee Lheue, dengan mata terus memandang ke
lautan...(*Lebay ya?)
Bismillah...suatu saat nanti....
Destinasi berikutnya, kami mengunjungi PLTD Apung. Sebuah kapal
tongkang berukuran raksasa yang membangkitkan listrik dengan tenaga diesel.
Sebelum Tsunami melanda, Kapal ini mengapung di tengah laut Malaka hingga disebut sebagai PLTD Apung.
Pada saat bencana, kapal pun tersapu hingga akhirnya terseret ke daratan. Kini, kapal
tersebut digunakan sebagai salah satu tempat wisata Banda Aceh.
Sayangnya, di malam hari kami tidak boleh mengeksplore PLTD apung. Kebetulan,
saat itu sedang ada maintenance. Akan dibuat jalur koridor untuk pengunjung
untuk kenyamanan berwisata. Nggak apa-apa lah, yang penting sudah lihat dengan
mata kepala sendiri.
Well...itu petualangan saya hari pertama di Ujung Banda. Next post adalah petualangan keliling Banda Aceh City Tour.
No comments:
Post a Comment