Hari kedua #Banda Aceh City Tour
Di selat Malaka, di Ujung
Sumatera....
Saat saya kecil, Selat Malaka hanyalah sebatas angan dan bagian dari
syair lagu yang sering saya nyanyikan. Tak pernah terbayangkan bisa melihat
langsung dan menjejakkan kaki disini. Namun kini, saya benar-benar berdiri
diatas gundukan pasir putih di tepian Selat Malaka. Memandang beningnya air
laut dan merasakan kelembutan pasirnya. Indah sekali pantai ini. Sepi, seolah
pantai milik pribadi. Salah satu kolega saya malah dengan asyiknya berfoto ria.
Kapan lagi bisa ke Selat Malaka? Demikian ujarnya.
Ada tulisan ini juga lhoo...
Undang-Undang Setempat |
Nah...perjalanan menuju Selat Malaka ini melewati perumahan yang tidak
berpenghuni. Sisa-sisa bencana Tsunami masih terlihat jelas. Namun yang
mencengangkan, ada satu musholla yang masih berdiri dengan anggunnya. Konon
kabarnya, musholla ini tetap bertahan di tengah kerasnya hempasan bencana yang
melanda. Sungguh Kuasa Tuhan tak berbatas.
Makam Syiah Kuala
Teuku Syiah Kuala, berasal dari bahasa Aceh, yang artinya Syekh Ulama
di Kuala. Nama aslinya adalah Aminuddin Abdul Rauf bin Al-Jawi Tsumal Fansuri,
seorang ulama besar dari Singkil yang terkenal dan memiliki pengaruh besar
dalam penyebaran agama islam di Sumatera dan Nusantara.
Disinilah kami sekarang. Melihat secara langsung makam ulama besar tersebut.
Plang di depan Makam Syiah Kuala |
Ada kejadian konyol di tempat ini. Saya, diomeli oleh seorang kakek
penjaga makam karena saya mengenakan celana. Saya pun dikasih sarung, disuruh
pakai. Meskipun dengan berat hati, saya pun memakainya. Namun selanjutnya, saya
diomeli lagi. Dibilang bukan muhrim karena pergi dengan para bapak-bapak. Perasaan larangannya cuma buat pasangan non muhrim deh. Dan saya kesitu bukan dengan pasangan saya. Ah,
daripada ribet, lebih baik saya tidak berlama-lama disini. Sarung pun saya
kembalikan, dan langsung masuk mobil. Saat itu saya agak sebal juga sih, saya
berpakaian sopan dan tidak ketat saja masih diperlakukan seperti ini. Ditolak karena pakai
celana. Bagaimana yang tidak menggunakan jilbab?
Tapi mungkin sudah budaya. Persepsi orang jaman dulu tentu jauh berbeda
dengan hari ini. Di tempat lain kota Banda Aceh saya aman-aman saja. Artinya,
kini orang-orang sudah fleksibel. Sorry to say, buat saya tempat ini kurang
recommended ya...
Tergantung preference sih...Hanya saja buat saya, kalau kita berkunjung
ke suatu tempat, kita butuh adanya rasa “aman” dan “diterima”.
Boat di atas rumah
Cuma numpang foto-foto disini. Karena ajaib, boat itu “bertengger” di
atap rumah warga.
Boat di atas Rumah |
Tampak dari atas |
Bagi pengunjung, disediakan tangga untuk menuju ke boat tersebut.
Boatnya sendiri tidak boleh dinaiki, karena mungkin sudah rapuh. Namun kita
dapat melihatnya secara jelas, serta mendapatkan satu buah buku kisah nyata
warga yang selamat dalam boat yang tersangkut di atas rumah H. Misbah Lampulo.
Boat tersebut tersangkut di atas rumah akibat bencana alam berupa gempa bumi
dan tsunami yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004 silam. Kini ditetapkan
sebagai monumen Tsunami dan dijadikan sebagai salah satu objek dan daya tarik
wisata dengan nama objek wisata Peringatan Allah. Penamaan objek wisata ini
dimaksudkan agar setiap pengunjung yang menyaksikan boat tersebut tidak hanya
sekedar sebagai pertanda telah berkunjung ke Kampung Lampulo Banda Aceh, tetapi
menjadi renungan akan peringatan Allah terhadap ketakwaan manusia kepada Allah
SWT. Betapa atas kuasaNya, manusia dapat bertahan di tengah bencana mahadahsyat
sekalipun.
Museum Tsunami
Museum ini dirancang oleh Ridwan Kamil, dosen Arsitektur Institut
Teknologi Bandung yang kini menjabat sebagai Walikota Bandung. Jika dilihat dari
atas, museum ini merefleksikan gelombang tsunami. Namun kalau kita melihat dari
bawah, nampak seperti kapal penyelamat dengan geladak yang luas.
Begitu masuk ke dalam, saya serasa memasuki lorong gelap dan berliku.
Bulu kuduk merinding seketika, apalagi saat mendengar lantunan suara Al-Quran
yang syahdu. Lorong ini memiliki ketinggian kurang lebih 40 meter, dan
ternyata...ada air berjatuhan. Baju dan kerudung saya pun basah terkena
percikan air itu.
Tips buat anda yang hendak mengunjungi museum tsunami Banda Aceh: Siapkan
topi berukuran lebar sehingga baju dan kepala anda tidak kebasahan.
Fighting Room |
Selanjutnya, ujung dari ruangan ini adalah “Ruang Penentuan Nasib” atau
“Fighting Room”, banyak juga yang menyebutnya The Light of God. Lagi-lagi, saya merinding di tempat ini. Ruangan
yang berbentuk seperti cerobong dan gelap ini ternyata punya arti tersendiri.
Dindingnya penuh dengan nama-nama korban Tsunami, dan di atapnya ada tulisan
Allah dalam aksara Arab, yang menyala terang. Seolah memberikan harapan pada
kita, untuk tidak menyerah pada nasib. Jika kita berdoa dan tak putus asa, maka
pertolongan Tuhan teramat dekat.
Aksara Allah di Cerobong Museum Tsunami |
Selanjutnya, kami keluar dari ruangan ini. Lagi-lagi dengan jalan yang
berliku. Seolah menggambarkan gelombang tsunami yang tak berujung. Di depan
sana, ada “Hope Bridge”, yaitu jembatan harapan yang di atapnya terpajang
bendera 52 Negara. Artinya, 52 negara ini seolah siap mengulurkan bantuan pada
para korban bencana.
Nah...disinilah tempat saya narsis :D
Hope Bridge Museum Tsunami |
Selanjutnya, kami menyusuri scientific room (nama benerannya lupa).
Disini terpampang alat-alat simulasi bencana gempa dan tsunami 4D. Amazing!
Seumur-umur saya keliling museum, inilah museum terbaik yang pernah saya
kunjungi. Sungguh mengagumkan dan jauh dari kata membosankan. Karena selain
dapat pengalaman baru, pengunjung bisa sekalian belajar dengan alat-alat
canggih ini.
Miniatur PLTD Apung |
Ruangan berikutnya memajang foto-foto sebelum dan setelah bencana, juga
bagaimana penanggulangan korban yang terkena bencana. Mujurnya saya, saat
kesitu tepat teater dibuka. Teater ini memutar film tsunami selama 15 menit.
Dari mulai gempa, tsunami, hingga saat pertolongan. Waa...bikin saya nangis.
Untung ruangan gelap. Sebelum keluar, saya buru-buru mengelap mata dengan
tissue. Malu kalau kelihatan orang.
Nah...buat anda yang berkunjung ke Banda Aceh, highly recommended deh
ke tempat ini. Berikut informasi yang mungkin bermanfaat buat anda:
Jam buka museum Tsunami Banda Aceh :
Selasa-Kamis dan
Sabtu-Minggu buka pukul 09.00 – 12.00
WIB. Tutup pukul 12.00-14.00, dan buka kembali jam 14.00-16.30.
Jumat buka pukul 09.00 – 11.30, Tutup pukul 11.30-14.30.
Buka kembali jam 14.30-16.30.
Alamat Museum Tsunami :
Jl. Sultan Iskandar Muda, Blang Padang, Banda Aceh.
Telp : (0651) 40571/(0651) 40572/(0651) 40572
Masjid Baiturrahman
Masjid Baiturrahman Banda Aceh |
Belum lengkap rasanya ke Banda Aceh jika belum sujud di Masjid
Baiturrahman. Sebuah masjid yang arsitekturnya mirip Taj Mahal di India. Sayang
saya tak sempat memotret secara tepat di depannya karena kebetulan hari itu
hujan deras mengguyur tanah Banda.
Setelah melepas penat di Masjid ini, kami pun melanjutkan perjalanan ke
Bandara. Namun lagi, kami mampir ke toko oleh-oleh dan tentunya...minum kopi di
Warung Kopi Jasa Ayah. Rasa kopinya memang berbeda. Aromanya kuat dengan rasa
sangat enak. Kita juga bisa membeli kopi untuk dibawa pulang sebagai tanda mata
buat keluarga di rumah.
di toko oleh-oleh |
Jangan ragu untuk mengunjungi Banda Aceh. Asal anda bersikap sopan dan
pandai menjaga sikap, tentunya tidak akan timbul masalah. Khusus untuk anda
yang wanita, kenakan pakaian tertutup dan tidak ketat, juga siapkan pashmina.
Kalaupun anda tidak berkerudung, tutuplah rambut anda dengan pashmina tersebut.
Hal ini untuk menghormati budaya masyarakat setempat. Seperti halnya kata
pepatah, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Salam Cinta Indonesia,
Arum Silviani
No comments:
Post a Comment