Search This Blog

Wednesday, April 30, 2014

Sebuah Cerita dari Ujung Banda #Part 2



Hari kedua #Banda Aceh City Tour
Di selat Malaka, di Ujung Sumatera....
Saat saya kecil, Selat Malaka hanyalah sebatas angan dan bagian dari syair lagu yang sering saya nyanyikan. Tak pernah terbayangkan bisa melihat langsung dan menjejakkan kaki disini. Namun kini, saya benar-benar berdiri diatas gundukan pasir putih di tepian Selat Malaka. Memandang beningnya air laut dan merasakan kelembutan pasirnya. Indah sekali pantai ini. Sepi, seolah pantai milik pribadi. Salah satu kolega saya malah dengan asyiknya berfoto ria. Kapan lagi bisa ke Selat Malaka? Demikian ujarnya.

Ada tulisan ini juga lhoo...
Undang-Undang Setempat

Nah...perjalanan menuju Selat Malaka ini melewati perumahan yang tidak berpenghuni. Sisa-sisa bencana Tsunami masih terlihat jelas. Namun yang mencengangkan, ada satu musholla yang masih berdiri dengan anggunnya. Konon kabarnya, musholla ini tetap bertahan di tengah kerasnya hempasan bencana yang melanda. Sungguh Kuasa Tuhan tak berbatas.
Makam Syiah Kuala
Teuku Syiah Kuala, berasal dari bahasa Aceh, yang artinya Syekh Ulama di Kuala. Nama aslinya adalah Aminuddin Abdul Rauf bin Al-Jawi Tsumal Fansuri, seorang ulama besar dari Singkil yang terkenal dan memiliki pengaruh besar dalam penyebaran agama islam di Sumatera dan Nusantara.
Disinilah kami sekarang. Melihat secara langsung makam ulama besar tersebut. 
Plang di depan Makam Syiah Kuala
Ada kejadian konyol di tempat ini. Saya, diomeli oleh seorang kakek penjaga makam karena saya mengenakan celana. Saya pun dikasih sarung, disuruh pakai. Meskipun dengan berat hati, saya pun memakainya. Namun selanjutnya, saya diomeli lagi. Dibilang bukan muhrim karena pergi dengan para bapak-bapak. Perasaan larangannya cuma buat pasangan non muhrim deh. Dan saya kesitu bukan dengan pasangan saya. Ah, daripada ribet, lebih baik saya tidak berlama-lama disini. Sarung pun saya kembalikan, dan langsung masuk mobil. Saat itu saya agak sebal juga sih, saya berpakaian sopan dan tidak ketat saja masih diperlakukan seperti ini. Ditolak karena pakai celana. Bagaimana yang tidak menggunakan jilbab?
Tapi mungkin sudah budaya. Persepsi orang jaman dulu tentu jauh berbeda dengan hari ini. Di tempat lain kota Banda Aceh saya aman-aman saja. Artinya, kini orang-orang sudah fleksibel. Sorry to say, buat saya tempat ini kurang recommended ya...
Tergantung preference sih...Hanya saja buat saya, kalau kita berkunjung ke suatu tempat, kita butuh adanya rasa “aman” dan “diterima”.
Boat di atas rumah
Cuma numpang foto-foto disini. Karena ajaib, boat itu “bertengger” di atap rumah warga. 
Boat di atas Rumah
Tampak dari atas
Bagi pengunjung, disediakan tangga untuk menuju ke boat tersebut. Boatnya sendiri tidak boleh dinaiki, karena mungkin sudah rapuh. Namun kita dapat melihatnya secara jelas, serta mendapatkan satu buah buku kisah nyata warga yang selamat dalam boat yang tersangkut di atas rumah H. Misbah Lampulo. Boat tersebut tersangkut di atas rumah akibat bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004 silam. Kini ditetapkan sebagai monumen Tsunami dan dijadikan sebagai salah satu objek dan daya tarik wisata dengan nama objek wisata Peringatan Allah. Penamaan objek wisata ini dimaksudkan agar setiap pengunjung yang menyaksikan boat tersebut tidak hanya sekedar sebagai pertanda telah berkunjung ke Kampung Lampulo Banda Aceh, tetapi menjadi renungan akan peringatan Allah terhadap ketakwaan manusia kepada Allah SWT. Betapa atas kuasaNya, manusia dapat bertahan di tengah bencana mahadahsyat sekalipun.

Museum Tsunami
Museum ini dirancang oleh Ridwan Kamil, dosen Arsitektur Institut Teknologi Bandung yang kini menjabat sebagai Walikota Bandung. Jika dilihat dari atas, museum ini merefleksikan gelombang tsunami. Namun kalau kita melihat dari bawah, nampak seperti kapal penyelamat dengan geladak yang luas.
Begitu masuk ke dalam, saya serasa memasuki lorong gelap dan berliku. Bulu kuduk merinding seketika, apalagi saat mendengar lantunan suara Al-Quran yang syahdu. Lorong ini memiliki ketinggian kurang lebih 40 meter, dan ternyata...ada air berjatuhan. Baju dan kerudung saya pun basah terkena percikan air itu.
Tips buat anda yang hendak mengunjungi museum tsunami Banda Aceh: Siapkan topi berukuran lebar sehingga baju dan kepala anda tidak kebasahan. 
Fighting Room
Selanjutnya, ujung dari ruangan ini adalah “Ruang Penentuan Nasib” atau “Fighting Room”, banyak juga yang menyebutnya The Light of God. Lagi-lagi, saya merinding di tempat ini. Ruangan yang berbentuk seperti cerobong dan gelap ini ternyata punya arti tersendiri. Dindingnya penuh dengan nama-nama korban Tsunami, dan di atapnya ada tulisan Allah dalam aksara Arab, yang menyala terang. Seolah memberikan harapan pada kita, untuk tidak menyerah pada nasib. Jika kita berdoa dan tak putus asa, maka pertolongan Tuhan teramat dekat.
Aksara Allah di Cerobong Museum Tsunami
Selanjutnya, kami keluar dari ruangan ini. Lagi-lagi dengan jalan yang berliku. Seolah menggambarkan gelombang tsunami yang tak berujung. Di depan sana, ada “Hope Bridge”, yaitu jembatan harapan yang di atapnya terpajang bendera 52 Negara. Artinya, 52 negara ini seolah siap mengulurkan bantuan pada para korban bencana.
Nah...disinilah tempat saya narsis :D
Hope Bridge Museum Tsunami
Selanjutnya, kami menyusuri scientific room (nama benerannya lupa). Disini terpampang alat-alat simulasi bencana gempa dan tsunami 4D. Amazing! Seumur-umur saya keliling museum, inilah museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Sungguh mengagumkan dan jauh dari kata membosankan. Karena selain dapat pengalaman baru, pengunjung bisa sekalian belajar dengan alat-alat canggih ini. 
Miniatur PLTD Apung
Ruangan berikutnya memajang foto-foto sebelum dan setelah bencana, juga bagaimana penanggulangan korban yang terkena bencana. Mujurnya saya, saat kesitu tepat teater dibuka. Teater ini memutar film tsunami selama 15 menit. Dari mulai gempa, tsunami, hingga saat pertolongan. Waa...bikin saya nangis. Untung ruangan gelap. Sebelum keluar, saya buru-buru mengelap mata dengan tissue. Malu kalau kelihatan orang. 

Nah...buat anda yang berkunjung ke Banda Aceh, highly recommended deh ke tempat ini. Berikut informasi yang mungkin bermanfaat buat anda:
Jam buka museum Tsunami Banda Aceh :
Selasa-Kamis dan Sabtu-Minggu buka pukul  09.00 – 12.00 WIB. Tutup pukul 12.00-14.00, dan buka kembali jam 14.00-16.30.
Jumat buka pukul 09.00 – 11.30, Tutup pukul 11.30-14.30. Buka kembali jam 14.30-16.30.
Alamat Museum Tsunami :
Jl. Sultan Iskandar Muda, Blang Padang, Banda Aceh.
Telp : (0651) 40571/(0651) 40572/(0651) 40572

Masjid Baiturrahman
Masjid Baiturrahman Banda Aceh
Belum lengkap rasanya ke Banda Aceh jika belum sujud di Masjid Baiturrahman. Sebuah masjid yang arsitekturnya mirip Taj Mahal di India. Sayang saya tak sempat memotret secara tepat di depannya karena kebetulan hari itu hujan deras mengguyur tanah Banda.
Setelah melepas penat di Masjid ini, kami pun melanjutkan perjalanan ke Bandara. Namun lagi, kami mampir ke toko oleh-oleh dan tentunya...minum kopi di Warung Kopi Jasa Ayah. Rasa kopinya memang berbeda. Aromanya kuat dengan rasa sangat enak. Kita juga bisa membeli kopi untuk dibawa pulang sebagai tanda mata buat keluarga di rumah.
di toko oleh-oleh
Jangan ragu untuk mengunjungi Banda Aceh. Asal anda bersikap sopan dan pandai menjaga sikap, tentunya tidak akan timbul masalah. Khusus untuk anda yang wanita, kenakan pakaian tertutup dan tidak ketat, juga siapkan pashmina. Kalaupun anda tidak berkerudung, tutuplah rambut anda dengan pashmina tersebut. Hal ini untuk menghormati budaya masyarakat setempat. Seperti halnya kata pepatah, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Salam Cinta Indonesia,
Arum Silviani

No comments:

Post a Comment