Perjalanan ke Tangkuban Parahu
berawal dari keisengan saya dan Fitri (teman sekampus sekaligus tetangga depan
kamar) merayakan keramaian liburan panjang. Alasan lainnya adalah, nggak pengen
ngabisin liburan di Kota Bandung saja, meskipun saat itu kami lagi terpenjara
di Bandung. Yang satu mau ngerjain tesis, yang satunya mau ada meeting di hari
Sabtu. Maka, hari itu Jumat, 25 Desember 2015, kami memulai pendakian dari Dago
menuju Tangkuban Parahu melalui rute Cigadung – Dago - Dago Giri – Maribaya – Lembang – Tangkuban
Parahu.
Dari Dago sampai Maribaya sih
oke-oke saja jalannya. Nggak ada kemacetan yang berarti. Tapi pas sampai di
Lembang. Ooww...stuck. Saya dan Fitri terpaksa (sengaja sih) masuk gang demi
bisa potong jalan. Untungnya nggak banyak orang Jakarta yang tahu keberadaan
gang kecil di depan pasar Lembang ini hehehe...
Terus waktu kami mulai mendaki ke
Tangkuban Parahu, itu yang namanya mobil menuju Bandung banyaknya luar biasa.
Kayaknya sih mereka keluar tol Sadang, terus masuk Subang. Berharap bisa cepat
sampai Lembang. Tapi ternyata...sama saja. Macet parah. Sedangkan saya dan
Fitri melawan arah, sehingga nggak ada macet sama sekali. Malah kami berdua
sangat menikmati perjalanan dengan udara yang segar, hingga akhirnya kami masuk
gerbang Tangkuban Parahu.
Jarak dari Lembang ke Tangkuban
Parahu adalah 9 Km. Dengan motor dan jalannya santai, kurang lebih 30 menit
kami sampai di parkiran Tangkuban Parahu. Kalau ditotal, perjalanan dari
Bandung (Jl. Tubagus Ismail) ke Tangkuban Parahu ditempuh kurang lebih 1 jam 30
menit.
Harga tiket masuk ke Tangkuban
Parahu per orang Rp. 30.000 (wisatawan domestik), dan Rp. 300.000 (wisatawan
mancanegara). Karena kami bawa motor, maka kena lagi Rp. 17.000. Jadi Total Rp.
77.000 Kalau mobil nggak tahu berapa harga tiket masuknya.
Ternyata, pendakian ke kawah
super macet! Sehingga kami parkir di parkiran bawah, dan berjalan ke puncak
kawah kurang lebih 3,5 km. Lumayan kan? Namanya juga hiking. Capek sih...namun
saat kami naik dan melihat antrian kendaraan yang mengular di jalan terjal,
rasanya inilah keputusan terbaik. Biar kaki pegel, tapi aman dan bahagia. Nggak
stress menghadapi macet.
Kawah Gunung Tangkuban Parahu |
Tak terasa, kaki sudah sampai ke
puncak Gunung Tangkuban Parahu. Kawah Ratu membentang di bawah sana.
Mengepulkan asap yang menebarkan bau belerang, khas pegunungan berapi.
Pemandangan di depan kami indah dan eksotis, meskipun seringnya sih ketutup
manusia yang mau foto selfie. Penuh sekali keadaan Tangkuban Parahu siang itu.
Tempat Parkirpun sangat penuh, padahal tak sedikit mobil yang mengantri masuk
sejak gerbang utama hingga ke puncaknya.
Saat saya dan Fitri berjalan
melewati pusat oleh-oleh dan souvenir, di dekat Kawah Ratu kami menemukan
sesuatu yang unik disini. Ada banyak sekali penjual souvenir yang menjajakan
craft berupa tempat pinsil dari kayu ukiran bermotif unik seperti batik. Ya,
semula saya kira itu ukiran. Tapi ternyata, saat kami melaju lebih jauh, saya
melihat ada seorang bapak yang sedang menguliti kayu. Kayu tersebut langsung
membentuk motif batik seperti craft yang dijajakan. Jadi ternyata, motif itu
terbentuk alami, asli dari alam. Makanya saat wisatawan asing melintas, si
bapak penjual souvenir tersebut bertutur, “Batik Wood! From Natur!” bahasa
Inggrisnya membuat saya tersenyum. Aksen sunda sangat kental terdengar.
Before (Kiri), After (Kanan) |
Di belakang bapak ini, ada
penjual bandrek. Saat saya foto si ibu penjual bandrek belum sadar. Namun waktu
disuruh akting, dia langsung pasang wajah sumringah. Biar bandreknya cepet laku
katanya. kalau anda ke Tangkuban Parahu, anda dapat menemukan kedai souvenir
dan bandrek tepat di plang yang bertuliskan “Kawah Ratu”. Disini, anda bisa
menikmati minuman tradisional sambil menikmati pemandangan Kawah Ratu yang
menawan.
Sebenarnya, di Tangkuban Parahu
ada satu lagi kawah, yaitu Kawah Domas. Tapi karena cuaca sepertinya sudah
mulai mendung, dan kaki super pegel, akhirnya saya dan Fitri memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan ke Kebun Teh Sukawana, yang terletak tepat di sebelah
gerbang Tangkuban Parahu.
Dan pemandangan ini menjadi latar belakang kami untuk narsis :
Tidak ada tempat penjual tiket resmi di Perkebunan ini. Namun kita diharuskan membayar parkir Rp15.000/motor. Kami dikasih tiket yang nggak tahu tuh bener apa nggaknya. Mungkin kalau dikelola dengan baik, perkebunan ini bisa lebih rapi ya tempat parkirnya. Nggak dipinggir jalan sehingga seringkali mengganggu pengguna jalan lainnya.
Anyway...itulah liburan sederhana a'la saya dan Fitri. Nggak mahal, yang penting happy. Beruntung kami tinggal di kota Bandung, jadi kalau mau traveling nggak harus yang jauh, nggak harus mahal juga. Karena menurut teman-teman traveling saya, "Liburan itu nggak penting mau kemananya...tapi sama siapa kita jalan."
No comments:
Post a Comment