Gara-gara kondangan Februari
lalu, tercetuslah trip dadakan ini. Tadinya kami mau ngadem di Baturraden,
Purwokerto. Sebelum nantinya akan lanjut perjalanan ke Pekalongan menghadiri
pernikahan Bagus. Setelah nelpon sana-sini ngecek penginapan di Baturraden juga
transportasi di Purwokerto, hasil analsisis SWOT bikinan saya Purwokerto berada
di Kuadran 3. Dimana Weaknessnya nya lebih gede daripada Opportunity nya. Sehingga
strateginya harus diubah. Kenapa?
Tanpa saya duga, harga sewa mobil
di Purwokerto ternyata mahal banget. Jauh jika dibandingkan sama harga sewa di
Jakarta, Bandung, apalagi Yogyakarta. Bahkan harganya mendekati kata “nggak
masuk sama akal saya yang seneng backpackeran.” Padahal I know Purwokerto so
well ya...kemana-mana deket gitu loh...Terus kalau dikelilingin, Kota
Purwokerto nggak nyampe 3 jam selesai kok.
Pertimbangan lain adalah, Bandung
- Purwokerto itu harus pake bus atau travel. Nggak bisa pakai kereta. Karena
Kereta Api dari Bandung (Jalur selatan) cuma berhenti di stasiun Kroya, which
is about 1,5 - 2 hours to reach Purwokerto. So far kan?
Akhirnya, saya tebarkan racun
warna-warni semanis madu ke genggong Bandoengers. “Ayo kita ke Jogja aja!” dan
jawaban mereka pun langsung “IYESS!!!”
Mulailah pesen tiket. Kami
berniat naik kereta ekonomi Pasundan (ini asli ekonomi ya, berangkatnya dari
Stasiun Kiaracondong Bandung). Karena terhitungnya hari itu lagi IMLEK, maka
harga tiket pun lumayan. Kiaracondong – Lempuyangan per orangnya kena Rp. 120
ribu. Nggak apa-apa lah ya, yang penting Jogja :D
Meskipun konsekuensinya kata Teh
Ade adalah : Naik Kereta Ekonomi ini, jangankan bobo cantik, bobo jelekpun
susah....
Teh Ade (Kiri), Mbak Deasy (Kanan) |
Kondisi kereta api juga penuh,
baru agak lowong ketika kami sampai di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
Tapi tetep happy kok karena
perginya bareng sahabat-sahabat tercinta. Bisa ngerumpi sambil melepas kangen
(perlu diketahui, meskipun tempat kerja kami deketan, mau ketemuan tuh susahnya
minta ampun karena kesibukan masing-masing).
Stasiun Kiaracondong tempat kami
meet-up sudah sangat ramai malam itu. Meskipun agak lebih kecil jika dibandingkan
dengan Stasiun Bandung, tapi stasiun ini tetap bersih. Penumpang antri dengan
tertib. Kereta Pasundan pun datang dan pergi tepat waktu.
Sedikit insiden terjadi karena
teh Ade salah masuk gerbang. Tapi akhirnya kami semua bisa duduk di kereta
tepat waktu. Di kereta itu ada penumpang lucu-lucu yang bangga banget deh
nyebut dirinya bencong. Tingkah mereka lumayan buat hiburan akibat terserang
syndrome #BoboJelekAjaSusah. Apalagi moment disaat tengah malam, salah satu
dari mereka kejatuhan tasnya sendiri pas kereta melewati tikungan. Di tengah
keheningan tiba-tiba kedengaran bunyi “Aaaaaaaaaww...” yang lebai banget
sehingga membuat kami terpingkal-pingkal.
Buat saya dan teman-teman, ini
pertama kalinya kami mendarat di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Stasiun khusus
untuk persinggahan kereta ekonomi yang melintasi jalur Yogyakarta. Shubuh itu,
suasana yang tenang menyambut kami bersahabat. Menarik kami ke dalam kenangan
dan makna yang dalam tentang sebuah rasa rindu. Kumandang adzan mengiringi
langkah kami ke mushalla untuk bersimpuh, hingga akhirnya perlahan langit yang
hitam kelam berubah menjadi jingga. Menerangi bumi Yogyakarta dengan sinar
hangatnya. #mulai puitis ala-ala Kla Project.
Stasiun Kereta Api Lempuyangan, Yogyakarta |
Damainya hati, sudah nyampe
Jogja. Meskipun belum dapet penginapan. Hehehe...
Dari Stasiun Lempuyangan, kami
nyewa mobil ke Malioboro dengan Tarif Rp. 30.000. Tarif tersebut dibagi 5, jadi
jatuhnya per orang adalah 6000an. Kami nurutin Mas Yudi yang lagi pengen
nostalgia makan pecel yang pagi-pagi suka mangkal di depan Malioboro Mall.
Hanya butuh sekitar 10 menit, kami berhenti persis di depan pedagang pecel
tersebut. Kami langsung pesan pecel, tapi kasihannya, teh Iva langsung melotot.
“Mas Yudi nggak boleh makan pecel. Asem urat!” hahaha...jadi deh yang kepengen
berat justru memilih makan nasi rames aja, sambil ngeliatin kami makan pecel
dengan nikmat.
Makan Pecel di depan Malioboro Mall |
Per orang, kami menghabiskan Rp.
13 ribu rupiah (nasi pecel + telur + teh manis hangat).
Hal-hal sederhana kayak gini nih
yang selalu bikin saya kangen sama Jogja. Bebas makan enak dan murah di pinggir
jalan, menikmati suasana pagi Malioboro yang minim polusi (jika dibandingkan
dengan pasar simpang dago ya), dan orang-orang yang berlalu lalang dengan
santai. Nggak dikejar target kayak di kota tempat kami tinggal. Di Yogya, orang
bebas hidup apa adanya dengan mengikuti alur, alon-alon asal kelakon. Ngangenin
banget deh.
Perjalanan dilanjutkan ke Jalan
Dagen. Kami memutuskan untuk go show aja nyari penginapan. Beberapa penginapan
yang kami singgahi ternyata penuh.
Tapi kami nggak putus asa. Jalan
saja terus menyusuri Jalan Dagen, sampai akhirnya ketemu bapak-bapak yang
menawarkan ke kami, “mau nginep di rumah
penduduk nggak? Biasa disewakan kalau peak season begini.” Tanpa banyak
bicara, kami pun mengikuti bapak tersebut. Tapi ternyata jaringan kamar yang
dikoordinir si bapak ini penuh semua. Jadi bapak tersebut ngoper kami ke Mas
Agung, hingga akhirnya kami dapat penginapan di rumah ibu..siapa ya
namanya...lupa :D rumahnya masuk gang sih, tapi cukup bersih dan kondisi
kamarnya juga bersih.
Ada 3 kamar yang disewakan. Satu
kamar muat buat bertiga. Saya, Mbak Deasy dan Teh Ade gabung jadi satu kamar,
teh Iva dan Mas Yudi satu kamar, dan satu kamar lagi buat Bhekti dan
kawan-kawan yang masih dalam perjalanan dari Bandung menuju Jogja. Per kamarnya
dibanderol Rp. 120 ribu. Bebas mau berapa orang yang masuk, asal dengan
mahromnya. Untuk setiap penambahan orang dalam satu kamar, nggak ada tambahan
biaya lagi. Fasilitas kamarnya cuma ada kipas angin sama kasur. Sederhana, tapi
bersih.
Kamar mandinya ada 2, juga dalam
kondisi bersih. Airnya juga bersih. Terus Mas Agung (yang nganterin kami ke
penginapan) nawarin sewa mobil. Tadinya kami sudah disewakan mobil lewat Bagus
dengan harga 450 ribu perhari, belum sama bahan bakar. Tapi karena kami
nginepnya di penginapan jaringan Mas Agung (jaringan boo...) maka kami ditawari
sewa mobil seharian 300ribu saja, sudah sama bensin dan supir. Asik kan?
Murah-meriah. Langsung iyess deh.
Candi Borobudur
Kami istirahat sebentar,
ngopi-ngopi sambil gantian mandi. Hari pertama ini tujuan kami adalah Candi
Borobudur di Magelang sono. Jam 09.00 teng, kami mulai perjalanan ke Magelang.
Sampai di pelataran Candi Borobudur jam 10.30. Jajan-jajan topi dulu sebelum
masuk gerbang (Mba Deas doang denk yang jajan topi. Kami-kami tugasnya ngomporin
nyuruh beli)
Oh iya, tips ke Candi Borobudur :
jangan lupa bawa payung sendiri dan kacamata hitam ya, karena kondisi Candi
Borobudur tuh panasnya minta ampun. Pantulan matahari ke bebatuan candi itu
loh, yang bikin panasnya spesial banget. Cukup mengoyak kulit kamu meskipun
udah nempelin sunblock dengan SPF 30.
Shuttle Train (Baca : Odong-odong) |
Harga tiket masuk untuk wisatawan
lokal Rp 30 ribu/orang, anak-anak Rp 12.500/anak, wisatawan asing $ 20/orang.
Terus kami juga memutuskan untuk naik odong-odong yang nganter sampai ke pintu
gerbang candi. Bayar lagi Rp. 7500/orang, sudah dikasih air minum cap Candi
Borobudur ukuran 130ml.
Candi Borobudur |
Stupa Cantik yang menghadap ke Gunung Sindoro Sumbing |
Teh Ade, Saya, Mbak Deasy, Teh Iva, Mas Yudi |
And this is it...Candi Borobudur!
The biggest Buddha Temple in Indonesia (or in Asia?). A long time ago, this temple is one of 7
world wonders. Sekarang sudah nggak lagi. Tapi buat saya, tempat ini masih
ajaib kok. Masih keren, masih menyimpan pesonanya sendiri. Apalagi kalau kita
perhatikan pahatan-pahatan pada setiap dindingnya. Penuh makna juga punya
cerita yang saling berkaitan dan bersambung antara dinding yang satu dengan
dinding lainnya. Bayangkan, jaman dulu manusia sudah sedemikian hebatnya
memahat. Pahatannya begitu detil dan rapi. Tanpa mesin pastinya. Itu berarti,
di masa lalu peradaban manusia sudah sangat tinggi.
Berpose dengan mengandalkan tripod |
Hari sudah semakin panas, kami
juga sudah selesai mengelilingi arca-arca di Candi Borobudur. Saatnya
menunaikan ibadah shalat dzuhur dan ibadah ngisi perut. Kalau tadi berangkatnya
ada odong-odong yang mengantar, sekarang kami harus kembali ke gerbang keluar
dengan berjalan kaki.
Cuaca luar biasa panas siang itu.
Hingga akhirnya kami pun harus ngadem dulu di museum Candi Borobudur. Ngumpulin
tenaga, baru deh lanjut lagi ke tempat mobil diparkir.
Begitu masuk mobil, Mas Ragil
(Supir kami) nganter kami ke Jejamuran. Sebuah tempat makan unik yang semua
menunya terbuat dari aneka jamur. Disitu juga ada tempat penangkaran jamurnya.
Restaurant ini penuh, dengan harga makanan yang sangat terjangkau. Sekitar Rp
7000 sampai belasan ribu saja. Sudah termasuk pajak. Disitu juga disediakan
mushalla yang cukup besar dengan tempat wudhu yang bersih. Sampai-sampai bikin
mbak Deasy terlena hingga kaos kakinya ketinggalan di mushalla.
Makanan di Jejamuran |
Untuk rasa, makanan yang
disajikan disini enak-enak semuanya, apalagi Tomyam jamurnya. Enak banget. Cuma
untuk ukuran porsi, kecil-kecil. Jadi buat kamu yang hobby makan, kayaknya
pesennya minimal 2 porsi deh setiap menunya.
Untungnya, harga yang ditawarkan disini
sangat ramah di kantong. Terus supir juga dapet ruang makan dan jatah makan khusus.
Tadinya kami sempet bingung nyariin mas Ragil yang tiba-tiba ngilang. Ternyata
dia langsung gabung sama temen-temennya.
Bersambung (Keraton Ratu Boko)
ih ada kita yg nempel di dinding candi, hahaha
ReplyDeleteAdegan jadi cicak Borobudur ya teh
ReplyDelete