Search This Blog

Sunday, June 28, 2015

Karena Jogja selalu punya cerita

Gara-gara kondangan Februari lalu, tercetuslah trip dadakan ini. Tadinya kami mau ngadem di Baturraden, Purwokerto. Sebelum nantinya akan lanjut perjalanan ke Pekalongan menghadiri pernikahan Bagus. Setelah nelpon sana-sini ngecek penginapan di Baturraden juga transportasi di Purwokerto, hasil analsisis SWOT bikinan saya Purwokerto berada di Kuadran 3. Dimana Weaknessnya nya lebih gede daripada Opportunity nya. Sehingga strateginya harus diubah. Kenapa?

Tanpa saya duga, harga sewa mobil di Purwokerto ternyata mahal banget. Jauh jika dibandingkan sama harga sewa di Jakarta, Bandung, apalagi Yogyakarta. Bahkan harganya mendekati kata “nggak masuk sama akal saya yang seneng backpackeran.” Padahal I know Purwokerto so well ya...kemana-mana deket gitu loh...Terus kalau dikelilingin, Kota Purwokerto nggak nyampe 3 jam selesai kok. 

Pertimbangan lain adalah, Bandung - Purwokerto itu harus pake bus atau travel. Nggak bisa pakai kereta. Karena Kereta Api dari Bandung (Jalur selatan) cuma berhenti di stasiun Kroya, which is about 1,5 - 2 hours to reach Purwokerto. So far kan?

Akhirnya, saya tebarkan racun warna-warni semanis madu ke genggong Bandoengers. “Ayo kita ke Jogja aja!” dan jawaban mereka pun langsung “IYESS!!!”

Mulailah pesen tiket. Kami berniat naik kereta ekonomi Pasundan (ini asli ekonomi ya, berangkatnya dari Stasiun Kiaracondong Bandung). Karena terhitungnya hari itu lagi IMLEK, maka harga tiket pun lumayan. Kiaracondong – Lempuyangan per orangnya kena Rp. 120 ribu. Nggak apa-apa lah ya, yang penting Jogja :D 

Meskipun konsekuensinya kata Teh Ade adalah : Naik Kereta Ekonomi ini, jangankan bobo cantik, bobo jelekpun susah....

Teh Ade (Kiri), Mbak Deasy (Kanan)
Kondisi kereta api juga penuh, baru agak lowong ketika kami sampai di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
Tapi tetep happy kok karena perginya bareng sahabat-sahabat tercinta. Bisa ngerumpi sambil melepas kangen (perlu diketahui, meskipun tempat kerja kami deketan, mau ketemuan tuh susahnya minta ampun karena kesibukan masing-masing). 

Stasiun Kiaracondong tempat kami meet-up sudah sangat ramai malam itu. Meskipun agak lebih kecil jika dibandingkan dengan Stasiun Bandung, tapi stasiun ini tetap bersih. Penumpang antri dengan tertib. Kereta Pasundan pun datang dan pergi tepat waktu. 

Sedikit insiden terjadi karena teh Ade salah masuk gerbang. Tapi akhirnya kami semua bisa duduk di kereta tepat waktu. Di kereta itu ada penumpang lucu-lucu yang bangga banget deh nyebut dirinya bencong. Tingkah mereka lumayan buat hiburan akibat terserang syndrome #BoboJelekAjaSusah. Apalagi moment disaat tengah malam, salah satu dari mereka kejatuhan tasnya sendiri pas kereta melewati tikungan. Di tengah keheningan tiba-tiba kedengaran bunyi “Aaaaaaaaaww...” yang lebai banget sehingga membuat kami terpingkal-pingkal.

Buat saya dan teman-teman, ini pertama kalinya kami mendarat di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Stasiun khusus untuk persinggahan kereta ekonomi yang melintasi jalur Yogyakarta. Shubuh itu, suasana yang tenang menyambut kami bersahabat. Menarik kami ke dalam kenangan dan makna yang dalam tentang sebuah rasa rindu. Kumandang adzan mengiringi langkah kami ke mushalla untuk bersimpuh, hingga akhirnya perlahan langit yang hitam kelam berubah menjadi jingga. Menerangi bumi Yogyakarta dengan sinar hangatnya. #mulai puitis ala-ala Kla Project.

Stasiun Kereta Api Lempuyangan, Yogyakarta
Damainya hati, sudah nyampe Jogja. Meskipun belum dapet penginapan. Hehehe...

Dari Stasiun Lempuyangan, kami nyewa mobil ke Malioboro dengan Tarif Rp. 30.000. Tarif tersebut dibagi 5, jadi jatuhnya per orang adalah 6000an. Kami nurutin Mas Yudi yang lagi pengen nostalgia makan pecel yang pagi-pagi suka mangkal di depan Malioboro Mall. Hanya butuh sekitar 10 menit, kami berhenti persis di depan pedagang pecel tersebut. Kami langsung pesan pecel, tapi kasihannya, teh Iva langsung melotot. “Mas Yudi nggak boleh makan pecel. Asem urat!” hahaha...jadi deh yang kepengen berat justru memilih makan nasi rames aja, sambil ngeliatin kami makan pecel dengan nikmat.

Makan Pecel di depan Malioboro Mall
Per orang, kami menghabiskan Rp. 13 ribu rupiah (nasi pecel + telur + teh manis hangat). 

Hal-hal sederhana kayak gini nih yang selalu bikin saya kangen sama Jogja. Bebas makan enak dan murah di pinggir jalan, menikmati suasana pagi Malioboro yang minim polusi (jika dibandingkan dengan pasar simpang dago ya), dan orang-orang yang berlalu lalang dengan santai. Nggak dikejar target kayak di kota tempat kami tinggal. Di Yogya, orang bebas hidup apa adanya dengan mengikuti alur, alon-alon asal kelakon. Ngangenin banget deh. 

Perjalanan dilanjutkan ke Jalan Dagen. Kami memutuskan untuk go show aja nyari penginapan. Beberapa penginapan yang kami singgahi ternyata penuh. 

Tapi kami nggak putus asa. Jalan saja terus menyusuri Jalan Dagen, sampai akhirnya ketemu bapak-bapak yang menawarkan ke kami, “mau nginep di rumah penduduk nggak? Biasa disewakan kalau peak season begini.” Tanpa banyak bicara, kami pun mengikuti bapak tersebut. Tapi ternyata jaringan kamar yang dikoordinir si bapak ini penuh semua. Jadi bapak tersebut ngoper kami ke Mas Agung, hingga akhirnya kami dapat penginapan di rumah ibu..siapa ya namanya...lupa :D rumahnya masuk gang sih, tapi cukup bersih dan kondisi kamarnya juga bersih. 

Ada 3 kamar yang disewakan. Satu kamar muat buat bertiga. Saya, Mbak Deasy dan Teh Ade gabung jadi satu kamar, teh Iva dan Mas Yudi satu kamar, dan satu kamar lagi buat Bhekti dan kawan-kawan yang masih dalam perjalanan dari Bandung menuju Jogja. Per kamarnya dibanderol Rp. 120 ribu. Bebas mau berapa orang yang masuk, asal dengan mahromnya. Untuk setiap penambahan orang dalam satu kamar, nggak ada tambahan biaya lagi. Fasilitas kamarnya cuma ada kipas angin sama kasur. Sederhana, tapi bersih.
Kamar mandinya ada 2, juga dalam kondisi bersih. Airnya juga bersih. Terus Mas Agung (yang nganterin kami ke penginapan) nawarin sewa mobil. Tadinya kami sudah disewakan mobil lewat Bagus dengan harga 450 ribu perhari, belum sama bahan bakar. Tapi karena kami nginepnya di penginapan jaringan Mas Agung (jaringan boo...) maka kami ditawari sewa mobil seharian 300ribu saja, sudah sama bensin dan supir. Asik kan? Murah-meriah. Langsung iyess deh. 

Candi Borobudur

Kami istirahat sebentar, ngopi-ngopi sambil gantian mandi. Hari pertama ini tujuan kami adalah Candi Borobudur di Magelang sono. Jam 09.00 teng, kami mulai perjalanan ke Magelang. Sampai di pelataran Candi Borobudur jam 10.30. Jajan-jajan topi dulu sebelum masuk gerbang (Mba Deas doang denk yang jajan topi. Kami-kami tugasnya ngomporin nyuruh beli)

Oh iya, tips ke Candi Borobudur : jangan lupa bawa payung sendiri dan kacamata hitam ya, karena kondisi Candi Borobudur tuh panasnya minta ampun. Pantulan matahari ke bebatuan candi itu loh, yang bikin panasnya spesial banget. Cukup mengoyak kulit kamu meskipun udah nempelin sunblock dengan SPF 30.

Shuttle Train (Baca : Odong-odong)
Harga tiket masuk untuk wisatawan lokal Rp 30 ribu/orang, anak-anak Rp 12.500/anak, wisatawan asing $ 20/orang. Terus kami juga memutuskan untuk naik odong-odong yang nganter sampai ke pintu gerbang candi. Bayar lagi Rp. 7500/orang, sudah dikasih air minum cap Candi Borobudur ukuran 130ml.

Candi Borobudur
Stupa Cantik yang menghadap ke Gunung Sindoro Sumbing 
Teh Ade, Saya, Mbak Deasy, Teh Iva, Mas Yudi
And this is it...Candi Borobudur! The biggest Buddha Temple in Indonesia (or in Asia?).  A long time ago, this temple is one of 7 world wonders. Sekarang sudah nggak lagi. Tapi buat saya, tempat ini masih ajaib kok. Masih keren, masih menyimpan pesonanya sendiri. Apalagi kalau kita perhatikan pahatan-pahatan pada setiap dindingnya. Penuh makna juga punya cerita yang saling berkaitan dan bersambung antara dinding yang satu dengan dinding lainnya. Bayangkan, jaman dulu manusia sudah sedemikian hebatnya memahat. Pahatannya begitu detil dan rapi. Tanpa mesin pastinya. Itu berarti, di masa lalu peradaban manusia sudah sangat tinggi.

Berpose dengan mengandalkan tripod
Hari sudah semakin panas, kami juga sudah selesai mengelilingi arca-arca di Candi Borobudur. Saatnya menunaikan ibadah shalat dzuhur dan ibadah ngisi perut. Kalau tadi berangkatnya ada odong-odong yang mengantar, sekarang kami harus kembali ke gerbang keluar dengan berjalan kaki. 

Cuaca luar biasa panas siang itu. Hingga akhirnya kami pun harus ngadem dulu di museum Candi Borobudur. Ngumpulin tenaga, baru deh lanjut lagi ke tempat mobil diparkir. 

Begitu masuk mobil, Mas Ragil (Supir kami) nganter kami ke Jejamuran. Sebuah tempat makan unik yang semua menunya terbuat dari aneka jamur. Disitu juga ada tempat penangkaran jamurnya. Restaurant ini penuh, dengan harga makanan yang sangat terjangkau. Sekitar Rp 7000 sampai belasan ribu saja. Sudah termasuk pajak. Disitu juga disediakan mushalla yang cukup besar dengan tempat wudhu yang bersih. Sampai-sampai bikin mbak Deasy terlena hingga kaos kakinya ketinggalan di mushalla.

Makanan di Jejamuran
Untuk rasa, makanan yang disajikan disini enak-enak semuanya, apalagi Tomyam jamurnya. Enak banget. Cuma untuk ukuran porsi, kecil-kecil. Jadi buat kamu yang hobby makan, kayaknya pesennya minimal 2 porsi deh setiap menunya. 

Untungnya, harga yang ditawarkan disini sangat ramah di kantong. Terus supir juga dapet ruang makan dan jatah makan khusus. Tadinya kami sempet bingung nyariin mas Ragil yang tiba-tiba ngilang. Ternyata dia langsung gabung sama temen-temennya.

Bersambung (Keraton Ratu Boko)

2 comments: