Seperti halnya teman, namanya
tempat ngetrip memang cocok-cocokan, beda-beda setiap orangnya. Mungkin saya
bilang tempat “A” bagus, tapi buat orang lain ternyata biasa saja. Atau tempat
yang saya bilang jelek, tapi buat orang lain bisa saja seindah surga.
Begitulah yang saya alami saat
saya datang ke Gili Trawangan. Ekspektasi saya yang tinggi sama sekali nggak
terpenuhi di tempat yang “katanya” menarik, tenang, dan ramah ini. Sehingga no
offense buat yang jatuh cinta dengan tempat ini.
Pada saat menepi di pelabuhan
Gili Trawangan, saya melihat bahwa sebagian besar yang berkunjung adalah
wisatawan mancanegara, sedangkan wisatawan domestik jumlahnya bisa dihitung
dengan jari. Jadi nggak heran kalau Gili Trawangan disebut sebagai surganya
wisatawan mancanegara.
Cafe dan diskotik berjajar
menjual aneka minuman keras, juga menawarkan aneka jenis hiburan malam. Musik
berdentam-dentam memekakkan telinga.
Itu nggak sesuai dengan pribadi
saya tentu saja. Nggak gue banget, si pecinta ketenangan.
Kedua, Kondisi jalan kotor dengan
kotoran kuda. Seolah hal tersebut dianggap wajar. Padahal banyak cara untuk
menaggulangi hal tersebut.
Ketiga, mungkin saya dan
teman-teman salah datang yaitu pada musim hujan, dan...banjir! Yups, jalan yang
penuh kotoran kuda itu kalau hujan turun jadi banjir, kurang lebih airnya di
atas mata kaki.
So...you know what I mean, right?
I’m coming here to holiday, but I feel nightmare!
Hasil Jepretan Kak Ina Susanty |
Pelayanan restaurantnya juga
payah. Mungkin saya dan teman-teman kebagian apes kali salah milih restaurant.
Padahal kami pilih restaurant bintang 5, dengan harga makanan dan pajak yang
juga setara dengan restaurant di hotel berbintang 5.
Para pelayannya orang Indonesia.
Tapi sikapnya jauh berbeda dengan sikapnya saat menghadapi turis mancanegara.
Padahal kami kan sama-sama bayar. Dan sama-sama customer lho. Kebetulan salah
satu teman saya adalah manajer sebuah restaurant, tahu banget dong standar
pelayanan restaurant bagus kayak apa. Apalagi restaurant mahal. Tadinya saya
mau nulis review ini berikut nama restaurantnya. Tapi dipikir-pikir, saya juga
nggak mau balik lagi kesana. Males juga. Hehe...
Anyway...terlepas dari semua itu,
yang saya suka dari tempat ini adalah setiap penginapan punya sepeda sendiri
yang bisa dipakai oleh tamunya secara gratis. Bersepeda pagi mengelilingi pulau
bersama sahabat-sahabat tercinta memberikan hiburan yang tak terlupakan. Karena
berbeda dengan kehidupan malamnya yang gemerlap, kehidupan pagi di pulau ini
justru sangat tenang. Tidak ada musik keras yang berdentam, atau aktifitas yang
bikin hati nggak sreg.
Waiting for Sunrise in Gili Trawangan |
Selain itu, kita juga bisa ketemu
dengan warga sekitar yang sudah melakukan aktifitasnya di pagi hari. Ada yang
baru pulang dari surau, ada yang hendak memancing, dan ada yang sedang
menepikan perahu sambil membawa hasil tangkapannya. Beneran kerasa deh
Indonesianya.
Dengan bersepeda, panorama sisi
lain Gili Trawangan pun bisa dieksplore maksimal. Bahkan ada suatu tempat yang menurut
teman-teman saya sih mirip di setting drama Secret Garden. Daun-daun kering
berguguran, dengan cahaya mentari mengintip dari balik pepohonan. Syahdu banget
deh pokoknya.
The Secret Garden |
Setelah berkeliling, kami pun
jadi tahu ternyata ada spot untuk menunggu sunset dan sunrise disini. Nggak
perlu nunggu di Cafe yang nyetel musik keras-keras sehingga nggak terasa
kesyahduan terbit dan tenggelamnya sang mentari.
By the way, sekali lagi saya
jelaskan bahwa tulisan saya hanyalah opini pribadi. Kesan setiap orang tentu
berbeda terhadap suatu tempat. Gili Trawangan indah kok, tapi buat saya
cukuplah dikunjungi sekali dalam hidup. Demi mengusir rasa penasaran.
No comments:
Post a Comment