Pintu Masuk Museum Brawijaya |
Gagah. Itu kesan pertama saat
saya menginjakkan kaki di pelataran Museum Brawijaya. Museum yang terletak di
Jalan Ijen No. 25 Malang ini diresmikan tanggal 4 Mei 1968 oleh Kolonel Pur.
Dr. Sewondo. Dengan mengusung semboyan “Citra Uthapana Cakra” yang artinya
“sinar yang membangkitkan kekuatan”, saya rasa museum ini memang demikian
adanya. Tepat di tengah pintu masuk, terpampang patung Sang Panglima besar yang
terkenal gagah berani dengan strategi gerilyanya yang brilian, Jenderal
Soedirman. Saya tersenyum sejenak. Bangga juga kalau saya satu kampung halaman
dengan Sang Panglima ini.
Tanpa buang waktu, saya menaiki
tangga, lalu masuk lewat pintu utama. Membeli tiket seharga 3 ribu rupiah saja.
Tepat di atas meja resepsionis ini, saya melihat jajaran foto Para Pangdam
Brawijaya dari periode ke periode. Selanjutnya, saya melangkah ke sisi kanan
gedung, dimana terdapat sebuah mobil kuno berwarna hitam, serta deretan senjata
laras panjang aneka tipe, granat, meriam hasil rampasan arek-arek Suroboyo dari
musuh. Galeri foto dan lukisan juga menghiasi ruangan ini. Foto disusun
berdasarkan urutan sejarah, yang menggambarkan betapa gagah beraninya Tentara
Nasional Indonesia pada saat itu. Meskipun dengan keterbatasan, semangat mereka
tetap berkobar demi mempertahankan ibu pertiwi.
Koleksi Senjata |
Selanjutnya saya melangkah ke
sayap kiri gedung. Disini terpajang aneka senjata, piagam penghargaan, juga
foto-foto yang memuat operasi pemberantasan pemberontakan yang pernah ada di
negara Indonesia. Entahlah, ketika saya melihat foto-foto itu, saya justru
bertanya-tanya, apakah sungguh mereka pelakunya? Mungkin diantaranya ada yang
benar-benar terlibat, terpancar dari sorot mata yang cerdas juga licik. Namun
ada beberapa orang yang ekspresi wajah juga sorot matanya memancarkan
ketidaktahuannya, ketakutan, kepasrahan yang mendalam, dan meminta pertolongan.
Terus terang, untuk di bagian ini, saya agak kurang suka, terlebih ketika
foto-foto tersebut menampilkan mayat “sang pemberontak” yang mengenaskan.
Sungguh membuat nyali ciut. Sehingga saya pun buru-buru menyingkir dari tempat
ini.
Saya melangkah ke taman belakang.
Disitulah terdapat salah satu dari tiga gerbong maut yang melegenda. Yang
kisahnya bisa membuat siapapun trenyuh, pilu, juga berpikir, betapa jahatnya
manusia. Perbuatannya justru jauh lebih kejam dibandingkan dengan hantu-hantu
yang katanya sih suka mengganggu. Gerbong ini merupakan saksi bisu sepenggal
kisah sejarah para pejuang bangsa. Pada tanggal 23 September 1947 pukul 01.00
WIB para pejuang kemerdekaan yang ditawan di penjara Bondowoso (sekitar 100
orang) diangkut dengan menggunakan gerbong barang untuk dipindahkan ke Penjara
Bubutan Surabaya. Kondisi yang berdesak-desakan dalam gerbong sempit, ditambah
pintu dan jendela yang ditutup rapat selama perjalanan membuat udara dalam
gerbong sangat panas. Sehingga ketika sampai di Stasiun Wonokromo Surabaya, 46
orang meninggal, 11 orang sakit parah, 31 orang sakit, dan yang sehat hanya 12
orang. Itulah awal mula kenapa gerbong ini disebut gerbong maut.
Gerbong Maut (Tampak Samping) |
Gerbong Maut (Tampak Depan) |
Puas melihat-lihat, saya pun naik
ke rooftop gedung museum ini. Ternyata...pemandangan dari rooftop sangatlah menawan.
Kita bisa melihat Jalan Ijen yang terkenal dan bersejarah terbentang cantik di
bawah sana. Di kanan kirinya terdapat pohon Palem raksasa yang tinggi
menjulang. Gedung-gedung kuno pun berjajar anggun, memberikan suasana hangat
saat menatapnya.
Pemandangan dari Rooftop Museum Brawijaya |
Penilaian saya, untuk harga tiket 3 ribu rupiah saja, worthed
lah ya...kita bisa melihat benda-benda bersejarah yang dapat memberikan
pengetahuan tambahan dan membuka cakrawala tentang dunia kemiliteran.
Recommended (3,5/5)
No comments:
Post a Comment