Sebelumnya,
perjalanan dari Bandung Solo saya tuliskan disini
Anyway, setelah mandi dan
bersih-bersih, kami capcus nyari sarapan. Ada yang jualan nasi ayam di depan
gang. Nasi ini berisi suwiran ayam dan telur, tapi nasinya mirip nasi uduk.
Disajikan di pincuk daun pisang. Rasanya lezaat...dan melihat harganya, jadi
tambah lezat. Hehe...hanya IDR 5ribu saja. Selesai urusan mengisi perut, kami
langsung dong...nanya-nanya jalan, dan memutuskan naik angkot ke stasiun. Beli
tiket pulang. Berbekal pengalaman kemarin, akhirnya kami membeli tiket kelas
eksekutif IDR 180ribu. Demi kenyamanan...
# Keraton Surakarta Hadiningrat
Urusan tiket
sudah beres, selanjutnya tujuan kami adalah...KERATON SURAKARTA HADININGRAT!
Eng ing
eng....nanya-nanya lagi deh. Gengsi mau naik taksi, kan ceritanya
backpacker...:D
Ternyata...pasar
klewer dekat dengan keraton Surakarta. Dan kedua obyek tersebut dekat sekali
dengan Homestay kami! Hanya saja kami ambil arah berlawanan, ke Stasiun dulu.
Hihi...dasar manusia-manusia disoriented. Kami naik bus, bertarif IDR 2ribu.
Terus turun di Jalan Slamet Riyadi, dan mengikuti saran kondektur bus dengan
mencoba naik BST (Batik Solo Trans). Wah...mbak-mbaknya ramah banget deh. Jadi
seneng naik bus ini. Kondisi busnya masih mulus. Pelayanannya juga memuaskan.
Kami bayar IDR 3ribu saja. Turun di depan PGS (Pusat Grosir Solo), lalu jalan
kaki ke keraton. Buat tukang jalan seperti kami bertiga, jalan kaki adalah
pilihan yang paling menyenangkan. Disambut gerbang pohon besar di sisi kanan
dan kiri jalan, membuat sejuk dan panasnya udara sekitar jadi agak
ternetralisir. Kami memang datang saat Solo sedang panas-panasnya.
|
Gerbang Masuk Kawasan Keraton |
|
Wringin Kurung Jayadaru |
Sepanjang jalan
kami melewati aneka tukang jajanan yang kelihatannya lezat (Maklum, tukang
makan), pasar barang-barang antik, parkiran sepeda ontel, dan puluhan tukang becak
yang menawarkan mengantar ke pasar Klewer. Kami bertiga menggeleng. Memasuki
kawasan keraton. Memotret pohon beringin besar, dengan sebuah prasasti di
dekatnya. Prasasti tersebut bertuliskan “Waringin Kurung Jayadaru”. Sebagai
orang Jawa tulen, saya hanya menebak, artinya Pohon Beringin yang dikurung :D.
Jayadaru berasal dari kata Jaya=berjaya, dan Ndaru=Anugrah...Jayadaru mungkin
berarti anugrah yang besar (Ngarang banget ya?). Begitu meninggalkan
Sang Jayadaru, seketika panas menyambut. Saya yang tadinya menertawakan dan
mengejek Bhekti karena bawa-bawa payung pink, kini menyerah. Memilih nebeng
payungnya si Bhekti. Sedangkan Mbak Yanti, asyik foto-fotoin kambing. Saya
curiga, bukan bener-bener foto tuh dia, tapi lagi membayangkan jika
kambing-kambing tersebut disulap jadi tengkleng. Hehe...
|
Bhekti dengan payung pinkynya |
Lanjut masuk ke
kawasan Keraton, saya lihat gerbang berdiri megah. Bercat putih, dengan pintu
besi biru yang catnya sudah memudar di sana-sini. Meskipun demikian, tak
mengurangi pesona keraton Surakarta. Kami masuk ke pendopo yang besar, dengan
lantai tegel jaman dulu. Padahal ada tulisannya, “Dilarang Main di Pendopo”,
tapi dasar turis domestik pada bandel, tetep saja masuk. Bahkan dengan pedenya
foto-foto. Saya sih mikirnya, kalau pendopo ini nggak boleh dimasuki, lantas
apa yang bisa kami lihat? Lha wong istana Maemun di Medan saja boleh kami
masuki, asal wilayah privasi raja dan ratu nggak diusik.
|
Keraton Surakarta Hadiningrat |
|
Pendopo Keraton |
Kembali lagi ke
Keraton Solo, disitu ada banyak meriam. Entah dulunya untuk apa. Mungkin
sebagai perlindungan bagi keluarga kerajaan jikalau tiba-tiba Belanda
menyerang. Tiaraaaaappp!!! BOOMMM!!! (#tsaahh). Jalan lagi ke tengah pendopo,
kini ada penjaganya. Dia mesam-mesem saja, tapi tidak menegur kami bertiga :D.
Kami sih, asyik foto-foto karena ada biduk catur raksasa di tengah pendopo.
Wuiihhh...saya sampai geleng-geleng kepala saking kagumnya. Langsung norak
peluk-peluk si kuda, si raja, si ratu, bahkan pion-pionnya pun saya peluk tuh
(Ya, saya melakukannya!). Saya teringat satu moment. Dulu waktu masih kecil di
TV ada iklan keramik. Ada orang dibalut topeng warna hitam, mengelilingi biduk
catur raksasa. Dulu saya memimpikan, gimana ya kalau saya mengelilingi biduk
catur sebesar itu? Daaan...sebagai akibat impian masa kecil, saya pun
muter-muter mengelilingi biduk catur. Sok dorong-dorong itu biduk, tapi nggak
gerak sama sekali. Saya rasa Bhekti pun sama noraknya dengan saya. Hanya mbak
Yanti yang waras diantara kami bertiga. Dia hanya geleng-geleng kepala sambil
fotoin saya dan si Bhekti.
|
Biduk Catur Raksasa |
Nah, saat kami
mau masuk ke gerbang kedua, barulah kami disuruh bayar tiket sama bapak-bapak
yang mesem-mesem melihat keanehan kami tadi. Hanya IDR 5ribu, kami masuk.
Berharap ada kejutan aneh lagi di dalam sana. Secara...meriam-meriam banyak
banget. Tapi begitu masuk...lho??? kok kosong? Cuma ada satu pendopo kecil, dan
ruang teater (baca : layar tancep). Saya mengikuti jalan, ternyata tembus ke
keraton satunya lagi. Namun bangunan tersebut terpisahkan oleh sebuah jalan.
Kondisi jalan tersebut sempit, namun padat. Sepertinya kategori jalan utama
nih. Ternyata benar sodara-sodara! Ini jalan menuju pasar Klewer. Pantesan
banyak becak, gerobak, sepeda, motor, dan mobil pick-up yang bawa
bundelan-bundelan besar berisi batik! :D
|
Jalan yang memisahkan Bangunan Keraton |
Bangunan tua
menyambut kami. Namun bangunan ini kondisinya lebih bersih daripada bangunan yang
kami singgahi tadi. Hanya saja pintunya tertutup. Saya membatin, apa rajanya
tinggal disini, ya? Kebayang dong risihnya jadi raja kalau tinggal di keraton.
Jadi tontonan orang! Hihihi...
Saya juga sempat berpose di beranda depan. Jadi ingat,
mirip-mirip beranda rumah nenek saya jaman duluuu banget. Ada gebyok, lampu
cantel, lampu gantung, dan kursi-kursi kayu.
|
Keraton Surakarta, by : Yanti Suprianti |
Terus di sebelah
beranda itu ada semacam garasi yang memajang mobil tua. Tulisannya sih mobil
pertamanya Bung Karno dulu. Kalau kita mau berpose di depan mobil tua itu,
harus bayar IDR 15ribu. Padahal pakai kamera pribadi lho! Kalau kita nggak
bayar, itu mobil ditutupin sama badannya anak kecil yang jagain. Ah, nggak
tertarik. Kalau cuma mau foto mobil tua, di Kota Tua Jakarta banyak. Atau
bahkan kalau mau koleksi lebih lengkap, di Sabuga sering tuh ada pameran mobil
tua. Gratis mau berpose dengan model apapun. Dari mulai nyengir sampai nungging
pun bisa (asal nggak malu aja pose nungging).
|
Meriam Keramat |
So, kami
lanjutkan perjalanan kami ke Pasar Klewer. Ada cerita, saya disuruh mbak yanti
pose di depan meriam. Alasannya simpel. Englenya bagus. Saya pun berpose di
depan meriam itu. tapi...setelah berpose, Mbak Yanti menemukan satu fakta.
Meriam itu meriam keramat! Ada tulisannya dilarang foto di depan meriam dan
dekat pohon melinjo. Waaaaa.....padahal saya sudah aneka gaya tuh foto-foto di
tempat terlarang. Mengabaikan pembatas pula. Daripada kualat, kami bertiga
langsung ngibrit keluar areal keraton. Ngos-ngosan menuju gerbang yang tembus ke
pasar Klewer.
Huuufffttt...legaa...kalaupun
ada kutukan, sudah mabur tuh kutukannya. Amiiiinn...Ya Allah...
|
Pasar Klewer |
Sampai di
gerbang Pasar Klewer, kami rasanya benar-benar kena kutukan itu. Perut
lapeeerrr!!! (*Kutukan atau kebutuhan coba???). Langsung browsing, (sempet-sempetnya
kami browsing padahal panas menyengat, dan orang-orang berseliweran). Demi apa?
Demi tengkleng pasar Klewer yang terkenal itu! Ya sodara-sodara! Kami mengejar
kuliner yang katanya wuenaaaak tenan. Tapi sudah muter-muter nggak nemu juga.
Akhirnya kami memutuskan makan tengkleng kambing di warung yang terletak di persimpangan
pasar Klewer. Nama warungnya lupa. Kami memilih tempat itu dengan alasan
sederhana. Tempatnya penuh. Banyak pelanggannya. Jadi asumsinya enak. Dan
ternyata memang enak! Meskipun di hati masih penasaran tengklengnya Bu Edi. Kami
bahkan sampai kekenyangan makan disini. Tiba saatnya kami keluar area pasar
Klewer, kami bertiga tercengang. Di gapura pasar Klewer, banyak sekali orang
yang antri membeli tengkleng. Ternyata...disitulah letak sesungguhnya Tengkleng
Bu Edi. Waaaa...berarti kami browsing tepat di depan Tengklengnya bu Edi.
Saking seriusnya jadi nggak melihat kalau tengkleng tersebut ada di depan mata.
Lagipula, kami berasumsi kalau tempat kuliner Solo yang terkenal enak itu ada
di sebuah warung makan. Ternyata...tempat itu bahkan tidak bisa disebut warung.
Hanya lesehan dengan kursi-kursi yang berjajar dan ditutupi terpal sebagai
atapnya. Menempel seadanya ke dinding gapura. Haiyya...tertipu deh. Gara-gara
imajinasi kami bertiga, malah nggak jadi mencicipi tengkleng Bu Edi. Kami pun
sudah tidak berminat lagi mencobanya, karena perut sudah kekenyangan.
Hmm...mungkin lain kali ya...