Memang sih,
perjalanannya tahun lalu, tapi karena berkesan banget, baru saya tulis
sekarang. hehehe....kata lain dari males nulis. Rencananya sudah matang sekali
(baca: dadakan), bulan Mei 2012. Saya sama Bhekti dan Mbak Yanti akhirnya
jalan-jalan ke Solo. Solo gitu looh... (*mulai norak). Ya, saya memang cinta
sama kota yang satu ini (Hayoh we...bilang cinta ke semua kota di Indonesia).
Kami memutuskan naik kereta. Karena saat itu saya awam naik kereta, di pikiran
saya kelas-kelas dalam kereta api ya kayak di pesawat gitu. Ada kelas bisnis
dan ekonomi. Berhubung mencari kenyamanan dan keamanan, akhirnya saya pilih
kelas bisnis. Bhekti menatap saya takjub waktu saya bilang mau naik di kelas
bisnis. Dia bilang gini,
“Teteh yakin, beli
tiket kelas bisnis?”
“Iya
dongg...yakin banget. Kapan lagi coba bisa nyobain kelas bisnis?” Kata saya penuh
percaya diri sambil ngitung duit di dompet, terus bayar deh ke loket. Tiketnya
murah banget, cuma IDR 140ribu. Bhekti hanya manggut-manggut. Setelah itu, kami
masuk stasiun, melewati kereta Malabar. Terus saya nowel lengan si Bhekti,
Saya : Bhek,
nanti tempat duduk kita kayak gitu kan? (Tanya saya antusias tentunya).
Bhekti :
(*mengernyitkan kening) bukan lah, itu kelas eksekutif teh. Kita tuh, yang
kayak gerbong di belakang. Yang kursinya nggak bisa diapa-apain, nggak ada ACnya,
tapi pake kipas angin.
Saya :
Haaaaahhh??? Yang bener aja bek? (*shock)
Karena saya
nggak berniat jadi backpacker super ngirit kali ini. Saya juga nggak berniat
untuk jajan sepanjang jalan karena banyak tukang dagang berseliweran (waktu itu
PT. KAI belum melakukan perbaikan layanan).
Bhekti : Makanya
tadi aku tanya teteh, beneran mau naik bisnis? Orang biasanya rewel gitu.
Saya hanya bisa menelan ludah. Menatap tiket di tangan sambil berucap “Ouch....” (si Bhekti puas banget mandangin wajah saya yang shock).
Baiklah, singkat kata kami sudah di kereta Bisnis Lodaya, dengan saya diketawain sama Mbak Yanti dan Bhekti. Saya hanya bisa meringis. Nggak bisa komen apa-apa lagi.
Saya hanya bisa menelan ludah. Menatap tiket di tangan sambil berucap “Ouch....” (si Bhekti puas banget mandangin wajah saya yang shock).
Baiklah, singkat kata kami sudah di kereta Bisnis Lodaya, dengan saya diketawain sama Mbak Yanti dan Bhekti. Saya hanya bisa meringis. Nggak bisa komen apa-apa lagi.
Kereta Api Lodaya, Kelas Bisnis Mei 2012 |
And the nightmare begun. Masuk Stasiun Kiaracondong, masih aman lah ya...cuma ada satu cowok duduk di sebelah saya. Masuk Stasiun Cipeundeuy, Innalillahi...itu pedagang menyerbu masuk. So, apa bedanya kelas bisnis dan ekonomi? Nggak ada bedanya! Wuidiiihh...mana pedagangnya galak pula. Saya sampai bingung nolaknya. “MIJON MIJON!!! AQUAAA!!! KOPI SUSU ABC!!! POP MIE POP MIEEE! PECEL-PECEEL! MIJOOON!”
Ya, mereka menyebut minuman berenergi Mizone dengan Mijon.
“TAHU TAHU! GEHU ANGEETT!!!”
“Neng, bade? Gehu anget?!”
Ini orang mau dagang apa nyekokin gue, ya? Pikir saya waktu itu. Habisnya, galak banget.
Saya sampai pengin bilang ke si mamang Gehu, Mang, sabar mang...keluarga menunggu dirumah. #Halah.
Sekitar sepuluh menit berhenti, kereta kembali melaju. Daaan...saya melihat Mbak Yanti dengan bahagianya lagi makan jagung rebus! Dan si Bhekti lagi senyum-senyum sambil makan pop mie. Aduh, dua orang itu. Si hobby makan. Padahal di stasiun Bandung tadi sudah makan *-*
Anyway...saya sama sekali nggak enjoy di jalan. Serangan-serangan pedagang makin membabi-buta. Belum lagi kipas angin yang bikin masuk angin, dan angin menembus lewat kaca jendela kereta yang pecah. Udah gitu, cowok di sebelah saya ini nggak asyik banget. Boro-boro bisa ngobrol. Wajahnya malah galau tingkat dewa. Setiap saya gerak sedikit, dia seolah mau makan saya. Wuaaa....ampun mas...ampuuun...
Walhasil, sepanjang perjalanan Bandung-Solo, saya nggak tidur sama sekali. Melalui kaca jendela, saya menikmati lampu-lampu, jalanan, dan berkhayal, andai aku bisa terbang...
Sampai Stasiun Tugu Yogyakarta jam setengah empat pagi. Nah, ini baru mulai bisa tenang. Hampir semua penumpang turun. Termasuk mas-mas yang duduk di sebelah saya tadi. Bahkan di gerbong ini hanya ada kami bertiga dan beberapa awak Kereta. Adrenalin mulai tumbuh. Wuih...Solo...I’m coming baby!!!
Norak? Bodo amat.
Jam lima...
Stasiun Solo Balapan. Langsung deh terngiang-ngiang lagunya Didi Kempot. Ning setasiun Balapan, Kutho Solo sing dadi kenangan, kowe karo aku...naliko ngeterke lungomu...
Hafal ya saya? Hehe...maklum, lagu itu kesukaan almarhum eyang kakung. Tiaaaap hari nyetel VCD campursari dulu.
Kami bersih-bersih di stasiun Solo Balapan, dimana kondisi toiletnya Kotor! Haduh, toiletnya sih sepertinya baru dibangun dan baru direnovasi. Tapi kayaknya nggak pernah dipel deh tuh.
Terus kami bertiga shalat shubuh di mushalla stasiun...sujud syukur sudah dikasih kesempatan ke Solo dengan agenda full vacation (*biasanya full kerja).
Ya, mereka menyebut minuman berenergi Mizone dengan Mijon.
“TAHU TAHU! GEHU ANGEETT!!!”
“Neng, bade? Gehu anget?!”
Ini orang mau dagang apa nyekokin gue, ya? Pikir saya waktu itu. Habisnya, galak banget.
Saya sampai pengin bilang ke si mamang Gehu, Mang, sabar mang...keluarga menunggu dirumah. #Halah.
Sekitar sepuluh menit berhenti, kereta kembali melaju. Daaan...saya melihat Mbak Yanti dengan bahagianya lagi makan jagung rebus! Dan si Bhekti lagi senyum-senyum sambil makan pop mie. Aduh, dua orang itu. Si hobby makan. Padahal di stasiun Bandung tadi sudah makan *-*
Anyway...saya sama sekali nggak enjoy di jalan. Serangan-serangan pedagang makin membabi-buta. Belum lagi kipas angin yang bikin masuk angin, dan angin menembus lewat kaca jendela kereta yang pecah. Udah gitu, cowok di sebelah saya ini nggak asyik banget. Boro-boro bisa ngobrol. Wajahnya malah galau tingkat dewa. Setiap saya gerak sedikit, dia seolah mau makan saya. Wuaaa....ampun mas...ampuuun...
Walhasil, sepanjang perjalanan Bandung-Solo, saya nggak tidur sama sekali. Melalui kaca jendela, saya menikmati lampu-lampu, jalanan, dan berkhayal, andai aku bisa terbang...
Sampai Stasiun Tugu Yogyakarta jam setengah empat pagi. Nah, ini baru mulai bisa tenang. Hampir semua penumpang turun. Termasuk mas-mas yang duduk di sebelah saya tadi. Bahkan di gerbong ini hanya ada kami bertiga dan beberapa awak Kereta. Adrenalin mulai tumbuh. Wuih...Solo...I’m coming baby!!!
Norak? Bodo amat.
Jam lima...
Stasiun Solo Balapan. Langsung deh terngiang-ngiang lagunya Didi Kempot. Ning setasiun Balapan, Kutho Solo sing dadi kenangan, kowe karo aku...naliko ngeterke lungomu...
Hafal ya saya? Hehe...maklum, lagu itu kesukaan almarhum eyang kakung. Tiaaaap hari nyetel VCD campursari dulu.
Kami bersih-bersih di stasiun Solo Balapan, dimana kondisi toiletnya Kotor! Haduh, toiletnya sih sepertinya baru dibangun dan baru direnovasi. Tapi kayaknya nggak pernah dipel deh tuh.
Terus kami bertiga shalat shubuh di mushalla stasiun...sujud syukur sudah dikasih kesempatan ke Solo dengan agenda full vacation (*biasanya full kerja).
Stasiun Solo Balapan |
Di depan stasiun, kami disambut supir taksi dan becak. Tapi kami menolak. Meskipun belum tahu letak Cakra Homestay, tempat kami akan menginap, namun kami memilih untuk jalan kaki dulu. beli jajan di minimarket, lalu duduk-duduk di depan minimarket tersebut sambil menikmati pagi. Indahnya...
Satu jam duduk-duduk, kami memutuskan naik becak. Bertiga! Tuh tukang becak pede banget ya? Dia bilang, “nggak usah dua becak, mbak. Sayang. Mendingan bertiga sekalian”. Haiyyah...challenge accepted! Berhubung saya paling kecil dan paling ringan badannya, maka saya yang dipangku. Alohaaa...paling tinggi deh posisi saya :D
Kami melewati jalanan yang masih sepi. Kelewat sepi malah. Maklum, kota kecil. Tapi saya seneng dengan nuansa kota ini. Ditambah naik becak dengan posisi tinggi seperti ini, bawaannya pengen dadah-dadah ala Kate Middleton.
Sekitar lima belas menit naik becak, sampailah kami di Cakra Homestay. Letaknya memang tidak jauh dari Jl. Slamet Riyadi. Tapi masuk gang gitu. Bayar becak cuma IDR 15ribu. Enaknya, Homestay ini tepat berada di kampung batik Kauman. Jadi kalau mau belanja batik tinggal melangkahkan kaki saja. Penjaganya juga ramah. Pak Wisnu namanya. Dia menyambut kami, lalu meminta kami untuk menunggu di sebuah pendopo kecil, di tepi kolam renang. Waaah...sejuk...
Di tepi kolam renang Cakra Homestay |
Pendopo Tempat Latihan Gamelan, Photo By : Yanti Suprianti |
Saya nggak menyangka, dengan harga hanya IDR 150rb/malam untuk kamar non AC, homestay ini punya kolam renang gede. Oleh Pak Wisnu, kami diminta untuk tidak berenang. Mungkin karena jarang dikuras kali ya? Saya lihat air kolam agak keruh. Atau mungkin juga karena kolam ini sering dipergunakan oleh bule-bule. Sedangkan kami bertiga berjilbab.
Apapun, saya cukup puas kok menikmati kolam renang hanya dengan memandangnya (*alasan buat orang yang nggak bisa renang).
Fasilitas kamarnya ada kipas angin dan kamar mandi dalam. Karena kami cuma bertiga, maka kami memutuskan untuk extra bed. Hanya saja kondisi kamar agak spooky sih menurut saya. Kami kebagian kamar di lantai 2, tidak disinari matahari, namun tertutup pepohonan nan rimbun. Nggak terlalu panas tapi agak pengap. Keadaan kamar juga agak kotor. Banyak sarang laba-labanya. Tapi...kamarnya luas. Tempat tidurnya juga bersih. Satu-satunya yang saya nggak suka adalah sarang laba-laba yang bertengger hampir di setiap sudut ruangan. Curiga, kamar yang kami pesan ini jarang dihuni. Soalnya kamar lain terlihat bersih. (*warning : rumput tetangga selalu lebih hijau, tapi hati-hati, Sintetis).
Apapun, saya cukup puas kok menikmati kolam renang hanya dengan memandangnya (*alasan buat orang yang nggak bisa renang).
Fasilitas kamarnya ada kipas angin dan kamar mandi dalam. Karena kami cuma bertiga, maka kami memutuskan untuk extra bed. Hanya saja kondisi kamar agak spooky sih menurut saya. Kami kebagian kamar di lantai 2, tidak disinari matahari, namun tertutup pepohonan nan rimbun. Nggak terlalu panas tapi agak pengap. Keadaan kamar juga agak kotor. Banyak sarang laba-labanya. Tapi...kamarnya luas. Tempat tidurnya juga bersih. Satu-satunya yang saya nggak suka adalah sarang laba-laba yang bertengger hampir di setiap sudut ruangan. Curiga, kamar yang kami pesan ini jarang dihuni. Soalnya kamar lain terlihat bersih. (*warning : rumput tetangga selalu lebih hijau, tapi hati-hati, Sintetis).
To be continue...
No comments:
Post a Comment